Ketidakyakinan Atas Perubahan
Allah sedang mencabut begitu banyak rahmat dan nikmat dari kehidupan kita. Tetapi jangan lupa: Allah tidak mencabut kehadiran-Nya dari hidup kita. Allah tidak meninggalkan kita. Allah tidak menutup pintu kepada taubat dan pemohonan kasih sayang dari kita.
Rahmat shalat berjamaah, tak bisa lagi kita laksanakan. Rahmat bersilaturahmi, bersalaman, berkerumun, berkumpul, tak lagi bisa kita rasakan. Bahkan kemuliaan menerima dan menjamu tamu, sekarang kita ragukan dan khawatirkan. Rahmat Masjid, pengajian, Maiyahan, Sinau Bareng, istighatsah, shalawatan dan wiridan bersama, sampai bermain volley ball, sepakbola, riuh rendah di pasar, berjejal-jejal di bis, gerbong kereta api, di warung dan restoran, mengobrol di gardu, belajar di kelas, dan segala macam kebersamaan yang selama ini sangat menghidupi jiwa dan menghidupkan mental kita semua — sekarang tak lagi bisa kita nikmati.
Betapa murah hatinya Allah menyebut detail perkenan-perkenan-Nya atas suasana kekeluargaan manusia: “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak pula bagi orang pincang, tidak pula bagi orang sakit, dan tidak pula bagi dirimu sendiri, makan bersama-sama mereka di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki suatu rumah dari rumah-rumah ini hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya yang berarti memberi salam kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya.” (An-Nur)
Itu semua tidak bisa kita nikmati hari-hari ini. Kita me”lepra”kan satu sama lain, di antara sesama famili, tetangga, sahabat dan siapapun saja — karena manusia adalah penular Covid-19.
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzaab: 33)
Lebih 50 tulisan saya haturkan kepada Jamaah Maiyah dan Anda semua, hampir 100% dipenuhi kehadiran Tuhan. Allah sebagai Prima-Subject. Allah sebagai sangkan paran segala urusan. Allah sebagai bahan pertimbangan utama segala perjuangan. Dan saya menyiapkan ruang secukupnya untuk siapa saja yang tidak menyetujui itu, kurang menyukainya atau mungkin bahkan diam-diam memperolok-olokkannya. “Kalau semua serba Tuhan, ya sudah, mandeg diskusi kita”, mungkin demikian grundelan sejumlah orang. “Covid-19 ini sedemikian riil, nyata, wujud konkret, dan Allah itu abstrak. Mau bagaimana kalau Allah Tuhan Allah Tuhan melulu….”
Saya tidak lantas menyimpulkan grundelan itu berasal dari orang Kafir. Juga bukan orang yang tidak mengenal atau mengakui Tuhan. Itu semua adalah ungkapan normal dari mainstream kehidupan manusia sampai abad 20-21 ini. Cuma mungkin pada dirinya Tuhan bukan pemeran utama berlangsungnya kehidupan. Allah bukan Maha Aktor drama segala zaman. Allah bukan causa-prima. Allah bukan yang utama dalam urusan-urusan.
Allah bukan urutan pertama dalam skala prioritas berpikirnya. Allah ada, tapi tidak penting-penting amat. Oleh karena itu tidak berlangsung dialektika berpikir yang menemukan hubungan timbal balik antara segala sesuatu dengan Tuhan. Maka dunia dijalani tanpa akhirat. Akhirat disebut-sebut juga, tetapi tidak benar-benar dipikirkan dan dijadikan konsiderasi primer dalam menjalani hidupnya.
Saya menyebut Musyrik juga tidak. Hanya saja dirinya sendiri lebih penting dibanding Allah. Dunia lebih mempesona untuk dijadikan main-themes siang malam kehidupannya. Tuhan diakui, cuma tidak diletakkan, karena tidak ditemukan atau disadari, sebagai Maha Hulu dan Maha Hilir hidupnya manusia. Manusia dan dunia itu sendiri lebih merupakan tuhannya. Manusia berarti kepentingan yang disandangnya. Dunia berarti segala yang kasat mata yang tampak mata, yang jelas memberikan kenikmatan, kemewahan, kemegahan, kecanggihan dan keterpesonaan.
Manusia menuhankan dirinya sendiri, dipersandingkan dengan dunia. Apalagi Allah memang memanjakan manusia sedemikian rupa. “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.” (Hud).
Meskipun kemudian dikasih mapping juga: “Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat.” (Ash-Syura).
Tuhan memberikan pernyataan dan pertanyaan: “Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (Al-Qasas).
Jawaban manusia: Ya, memang tidak paham. Baik karena memang benar-benar tidak mengikhtiarkan proses untuk paham, atau karena tidak mau paham, tidak mau tahu supaya paham.
“Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini dibandingkan dengan kehidupan di akhirat hanyalah sedikit.” (At-Taubah).
Statemen-statemen Tuhan semacam itu terbukti tidak begitu menarik bagi kebanyakan manusia, kalau dilihat dari apa yang mereka lakukan dan yang mereka bangun di dunia selama berabad-abad sampai kini. “Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai (kesana) malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, lebih-lebih lagi mereka buta daripadanya.” (An-Naml).
Ya memang faktanya kebanyakan dari manusia ragu-ragu tentang akhirat. Sebagian yang lain buta, atau membutakan matanya.
Maka diam-diam saya “pekewuh” juga kepada teman-teman pahlawan dunia dan dirinya sendiri itu atas 50 lebih tulisan Corona saya yang dikit-dikit menyebut Tuhan. “Dan apabila hanya nama Allah saja disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.” (Az-Zumar).
Semestinya tulisan-tulisan saya pakai landasan ekspertasi ilmiah sehingga ada kompetensinya. Harusnya ilmiah akademis. Harusnya teknis Covid-19, jangan melebar-lebar sampai ke Nabi dan Malaikat dan jauh-jauh sampai ke Gua Kahfi segala macam.
Tidak seperti kecengengen saya, Jamaah Maiyah umumnya mungkin tidak peduli dengan itu. Mereka terbiasa melantunkan bersama; “Allah, Allah, ma lana Maulan siwallah. Kullama nadaita ya Hu, qala ya ‘abdi Anallah.”
Tiga tahun yang lalu di salah satu Maiyahan pernah diungkapkan bahwa “kita bangsa Indonesia dan ummat manusia ini akan mengalami perubahan mendasar, hanya kalau ada bencana alam besar-besaran, atau wabah penyakit yang menyebar ke seluruh tanah air dan dunia.
Sekarang ternyata saya tidak yakin dengan kemungkinan perubahan itu.
Karena Allah sendiri berfirman tentang ummat Nabi Musa: “Maka setelah Kami hilangkan adzab itu dari mereka hingga batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka mengingkarinya.”
“Kemudian apabila Dia telah menghilangkan kemudharatan itu dari pada kamu, tiba-tiba sebahagian dari pada kamu lagi-lagi mempersekutukan Tuhannya dengan yang lain.” (An-Nahl). *****