Hayya alal Amal
Di tengah kondisi ujian penentuan Allah atas lulusnya kualitas kita sebagai manusia, Mbah Nun menyemangati dengan “…tinggal selangkah lagi perjuangan untuk mendapat suatu yang besar dan bermakna bagi hidup dan semesta”. Melanjutkan frasa tersebut, pada Bangbang Wetan September 2020, beliau menganjurkan metode berupa “…memperbanyak shalat malam, mendekatkan diri kepada Allah dan mbrasak masa depan dengan optimisme dan kreativitas.”
Merespon anjuran di atas, maka di BangBang Wetan Oktober kami mengajukan tema Hayya alal Amal untuk kita rumuskan bersama dalam kemesraan bermaiyah on streaming maupun tatap muka. Tema itu lahir dari dua premis yakni keyakinan bahwa menyerah bukanlah sikap kemuliaan hidup kita sebagai khalifah dan melanjutkan jalan sunyi perjuangan adalah pilihan terbaik. Yang kedua, kesadaran bahwa ada porsi besar dalam diri setiap jama’ah Maiyah yang bermuatan semangat menginfakkan energi bagi sesama, lingkungan, juga negara–dalam hal ini Indonesia — yang masih tertatih-tatih di cerita panjang hidup serta pencapaian mimpi-mimpinya.
Peralihan meja kerja dan bidang garap kita dari hutan ke sebentuk lahan berbentuk kebun atau taman berimplikasi langsung pada piranti, sikap mental, metode dan energi yang relevan. Kenyataan ini membawa kita ke satu tonggak kesadaran baru — yang sejatinya adalah kontinuasi dari kesadaran-kesadaran sebelumnya. Kesadaran inilah yang harusnya menjadi sebentuk nyala agar hentak langkah senantiasa menjadi nyata. Tidak tinggal sebagai endapan angan yang kikisnya mengikuti hitungan hari.
Bertolak dari budaya “Sinoman” yang masih sering diaplikasikan dalam hidup bermasyarakat, sisi shodaqoh di dalam geliat juang kita bersama haruslah dirawat dan dijaga. Karena shodaqoh adalah satu determinan penting yang hanya dipunyai oleh Maiyah selain dua pilar lain berupa nandur dan pasa .
Pertanyaannya kemudian, bagaimana menyusun formula bagi ketepatan pembagian tenaga bagi bangunan kebutuhan dan keinginan pribadi dengan sisi kerelaan memberi tanpa hitungan ke pihak di luar diri dan keluarga inti ?. Hipotesa yang coba kami ajukan adalah tidak usah disibukkan oleh pernik kalkulasi. Sebagaimana takaran memberi dalam zakat yang 2.5% dari kepemilikan setelah dikurangi kebutuhan asasi, angka itu sekedar ambang batas minimal. Jauh lebih utama untuk memberi di atas parameter dasar. Demikian halnya dalam pengaplikasian seruan untuk hanya bekerja dan bekerja,alal amal belaka. Kerahkan saja apa yang kita bisa, curahkan segala apa yang kita punya. Gunakan adagium Mbah Nun berbunyi “Niat baik, niat baik, niat baik”, maka perjumpaan dengan katarsis luhur menjadi niscaya.
Menyangkut detail teknis, momemtum waktu dan siapa saja kawan seiring bisa kita libatkan, mari bawa itu semua sebagai materi utama obrolan kita bulan ini. Di BangBang Wetan edisi ke sekian di masa pandemi.