Sepakbola Sarasehan
Orang-orang non-Jawa suka mengejek sepakbolanya orang Jawa. Misalnya pertandingan antara kesebelasan Solo melawan kesebelasan Yogya.
Ketika striker Solo berhasil bagaikan Maradona melewati beberapa pemain belakang Yogya sehingga kemudian berhadapan dengan kiper Yogya, si kiper Yogya malah minggir dari gawang sambil ngapurancang dan mempersilahkan “Monggo Mas dipun lebetaken kemawon...”
Penyerang Solo mendadak pula menghentikan laju larinya sambil menyahut, “Ah, matur nuwun! Mangke kemawon...”
Demikian pula tatkala ujung tombak Yogya berhadapan dengan kiper Solo, sebelum menendang bola ke gawang ia permisi dulu “Nyuwun sewu, kawula badhe nglebetaken bal…”
Kiper Solo pun dengan sopan santun khas, mempersilahkan “Monggo! Dipun sekecaaken! Mboten punapa-punapa...”
Tapi si Yogya merasa pakewuh juga. Jadi akhirnya bola mondar-mandir ke seantero lapangan tanpa pernah terjadi gol.
Si wasit, karena juga orang Jawa, sangat paham kenapa demikian yang berlangsung dalam pertandingan. Akhirnya di tengah permainan ia meniup peluit keras-keras dan mengumpulkan semua pemain, termasuk para ofisial.
“Saya urun rembug,” kata si wasit, “Bagaimana kalau kita selenggarakan saja sarasehan di tengah lapangan sini, semacam musyawarah mufakatlah, untuk menentukan atau merundingkan siapa sebaiknya yang menang. Dengan syarat yang menang harus menang tanpo ngasorake, juga harus memperhitungkan segala aspek siapa yang kali ini menang siapa yang kalah. Ini kan arisan!”
Seorang pemain usul, “Bagaimana kalau kita minta wakil penonton untuk ikut sarasehan. Masyarakat harus berperan serta secara aktif. Kita kan mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga. Usul saya yang lain, pemenang dan yang kalah harus digilir secara adil, demi delapan jalur pemerataan.”
Melangsungkan sarasehan di tengah lapangan, dan para penonton sibuk bertaruh untuk menebak siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Salah seorang petaruh kelas kakap diam-diam menelusup ke lapangan untuk mempengaruhi hasil sarasehan.
Gila. Pasti ini bukan Sepakbola Pancasila!
(Emha Ainun Nadjib, Bola-Bola Kultural, Prima Pustaka, Yogyakarta, 1993, hal. 104-105)