Memulakan Peradaban Umbu di Rumah Maiyah
Di dunia ini tentu tidak ada namanya manusia suci selain para rasul dan para nabi. Tapi kita bisa percaya selalu ada manusia sejati, manusia murni. Sosok Umbu Landu Paranggi, entah kenapa akan selalu mengingatkan kita pada padang sabana yang luas dengan terik dan angin berhembus, dengan bumi berderap di bawahnya dan kubah langit di mana sinyal dan memori berbagai peradaban antar planet hingga galaksi melintas-lintasinya. Siang dengan Sang Batara Surya dan malam dengan berbagai konstelasi bintang yang dibaca berbeda polanya oleh setiap wilayah peradaban. Umbu, pangeran pendekar yang berdiri di tengah sabana itu dan memandang konstelasi bintang itu apa adanya. Dan Sang Surya tetaplah Sang Surya, bukan sekadar sinarnya.
Terlalu luas, Umbu Landu Paranggi terlalu manusia untuk dipahami dengan klasifikasi semu, dengan keterbatasan peradaban kita yang masih terlalu kanak-kanak ini. Usia peradaban kita masih terlalu belia untuk memahami Umbu sebagai pola, kapan kita akan mengerti?
Mungkin sekitar dua milenium yang lalu, Isa As datang pada Yahya As di Sungai Jordan. Yahya manusia unik, suara alam liar, yang bahkan cara berdandan dan makanannya pun tidak mengikuti selera zamannya. Konon dia hanya memakan belalang dan madu. Yahya As tidak terklasifikasikan oleh peradaban modern Judea. Kelak, pertemuan agung antara Isa As dan Yahya As inilah yang membuat nama Yahya As abadi tanpa mungkin juga sanggup betul-betul dipahami.
Sudah berapa banyak manusia yang Yahya As sentuh? Hingga kisahnya menginspirasi cerita-cerita serupa mengenai orang suci yang berjaga, bertapa di sungai? Bahkan di Jawa mitos semacam itu juga ada. Di peradaban lain juga, banyak. Manusia murni, mungkin tidak tercatat dengan baik tapi dia bisa tersimpan dalam memori peradaban. Abadi, tanpa nama dan identitas. Bahwa sesekali disalahpahami sejarah dengan keterbatasan data dan kekeliruan memetakan pola? Memangnya kapan manusia tidak salah paham terhadap apapun? Tapi kita bisa mencegahnya, sebisa mungkin.
Kebesaran manusia dilihat dari berapa banyak manusia lain yang pernah merasakan kehadirannya. Hari ini, manusia-manusia yang telah disentuh oleh peradaban Umbu, akan berkumpul di Rumah Maiyah di gang Barokah, Kadipiro. Umbu terlalu luas dan liar untuk dirayakan, mengingat Umbu adalah meneguhkan kemurnian diri kita sendiri. Mengingat Umbu adalah meneguhkan jalur peradaban planet bumi kita, karena melupakannya adalah bencana. Umbu seluas Sabana dan mungkin adalah yang melahirkan Sabana itu sendiri.
Dia tidak bertarung pada pertarungan sempit popularitas, penghargaan sastra atau nama besar. Dia tidak mengemis pada Negara dan tidak terjebak pada formalisme agama atau pembakuan strata kewalian. Bagi Umbu semua itu semu. Tapi adalah kita yang akan tertimpa malapetaka apabila kita tidak menyadari kebesarannya.
Kalau kita membayangkan Umbu sedang berderap-derap di antara ratusan kuda liar di Sabana, Umbu sesungguhnya tidak sedang ingin mengalahkan kuda lain. Dia memcau kuda-kuda tersebut karena memang dia senang pada pacu yang laju. Dan efeknya, siapapun yang bersamanya kemudian menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri. Mata tajam dan lenguh nafas, pada pelana dan hamparan jutaan miliaran bebintang di langit. Hamparan peradaban maha luas yang mungkin tak semuanya mampu tercatat oleh sapuan kuas sejarah kita yang terlalu penuh kepentingan, heroisme dan antagonisme. Berhala pemujaan dan kejumudan yang dangkal oleh kebencian dan dendam. Kita tidak mau mewarisi dendam, kita ingin merawat ingatan. Merawat ingatan, adalah bekal untuk masa hadapan. Di Maiyah kita terbiasa berpikir pulang balik ke masa silam dan masa depan sementara kuda-kuda tetap kokoh berpijak pada masa kini.
Malam ini, Rabu 31 Juli 2019 M. Manusia-manusia yang pernah, atau sedang, dipacu oleh peradaban Umbu akan berkumpul untuk melaunching buku berjudul METIYEM: Pisungsung Adiluhung Umbu Landu Paranggi. Iya, Umbu adalah lumbung peradaban ini. Dan malam hari ini di Rumah Maiyah, kita sedang meneguhkan diri bahwa kita memiliki peradaban kita sendiri.
Dan akan sampai pesan cinta ini pada Umbu. Bahwa bayi-bayi peradaban sedang tumbuh di kandungan sabana, di rahim sang ibu bumi, disusui angin, diasuh oleh para ruh murni dari berbagai pelosok langit. Murid Yahya As tetap mengikuti Yahya dan Isa As memilih melakukan pembangkitan kesadaran, Sinau Bareng ke pelosok-pelosok. Dua jalan berbeda, namun bermuara sama pada tauhid. Kita tidak perlu menyama-nyamakan karena setiap zaman punya perbedaan walau juga mungkin ada kesamaan. Umbu memilih jalan sunyi di pulau dewata Bali sementara Mbah Nun terus berjalan membersamai kita semua di kelokan-kelokan galaksi dan semesta Maiyah.