CakNun.com

Sinau Lelaku Urip Gun Jack

Reportase Sinau Urip Alm Gun Jack Bareng Cak Nun, 23 September 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 15 menit

Tidak banyak yang saya ketahui perihal sosok Gun Jack. Bahkan nama lengkap almarhum pun, Gunadi Agus Joko Lukito, baru saya tahu malam itu ketika Sinau Bareng Cak Nun digelar dalam rangka memperingati dan sinau urip beliau. Ini bukan acara haul kiai besar dengan nama keramat melegenda plus kisah-kisah wingit berselamur magis-magis. Ini sinau dari perjalanan hidup Gun Jack.

Saya kurang tahu banyak mengenai almarhum walau pernah dalam mencari satu-dua hal nemu nama beliau juga. Pada mainstream-nya yang selalu terdengar adalah, beliau preman. Sumpah itu bukan kata saya, saya kan harus menyelamatkan diri dari ancaman Ndan BS (Brotoseno) ketika di panggung, “Sopo sing ngarani Gun Jack preman? Rene tak pletak kemletak ndase!” Serem.

Acara Sinau Bareng digelar oleh pemuda kampung Badran, tempat di mana dulu Gun Jack berdomisili secara fisik. Di luar itu, secara ruhani almarhum Gun Jack masih sangat hadir. Itu bisa saya saksikan dari wajah para hadirin. Bahwa Mbah Nun terlibat tentu karena juga Gun Jack semasa hidup dikenal kemudian sangat dekat pada Mbah Nun. Sangat mencintai dan menta’dhimi dengan cara-cara yang khas, cara mencintai dengan pola yang liar brutal ala orang jalanan.

Mbah Nun sempat cerita ketika di Jakarta, Gun Jack mengantarkan Mbah Nun dan Bunda Novia ke pusat perbelanjaan, hampir tiap toko yang disambangi kalau ada pelayan toko yang tidak bersikap menghormati Mbah Nun dan Bunda Novia, Gun Jack langsung membentak dengan suara menggelegar. Mungkin agak risih juga Mbah Nun dengan hal itu. Tapi kita tahu, menjadi manusia ruang adalah itikad untuk menampung siapa saja dengan segala kekhasan dan keunikan masing-masing.

Mbak Fitri, istri almarhum Gun Jack juga berada di panggung malam itu. Sampai sekarang, istri dan anak turun Gun Jack masih menjalin hubungan kekeluargaan yang karib dan mesra dengan Mbah Nun. Nampaknya Gun Jack tenang mengetahui keluarganya tetap dalam pengayoman manusia yang semasa hidupnya sangat beliau hormati. Al-Fatihah untuk almarhum Gun Jack.

Sekali lagi saya katakan saya kurang punya banyak data dan informasi mengenai sosok almarhum. Tapi ada beberapa ceceran data. Saya teringat ketika beberapa tahun lalu di Yogya ada kasus yang agak menghebohkan di kalangan jalanan ketika seorang preman sepuh diserbu oleh seorang preman lain yang lebih junior. Di angkringan-angkringan atau di obrolan-obrolan lain beberapa kali saya mendengar kalimat bernada mirip kira-kira begini: “Wah, wis ora ono Gun Jack. Ora ono patoke saiki do gelut dhewe”. Patok. Tiap wilayah punya walinya. Tiap kewalian ada wali kutubnya. Tiap dua kubu ada ruang magnet pemersatunya.

Beda Preman dengan Politisi

Negara menggusur orang itu premanisme. Tapi kalau warga kere jelata membikin struktur kekuasaan berdasarkan kepentingan hajat hidup mereka masing-masing, sebentar dulu jangan langsung ambil kesimpulan dan keputusan. Pejabat membentak orang kere itu penindasan. Rakyat membentak pejabat nah sebentar dong. Masa sudah kere, awam, langsung diputus sebagai tak berakhlaq? Sial betul kita ini kalau begitu.

Mbah Nun sampaikan bahwa di dalam pergaulan antar preman, masih lumayan masih ada sisi kekeluargaan dan kemesraan. Ada kekompakan, loyalitas dan kesetiaan. Di politik nasional, malah sudah tidak ada. Orang bisa pencolotan sekenanya, ganti koalisi, ganti haluan, pindah jalur, keluar-masuk agama terserah kepentingan. Alasan bisa dicarikan, toh tinggal ganti kata “keras kepal” dengan “tegas”. Atau “tak berprinsip” dengan “fleksibel”. Bisa juga “sepele” ditalbis jadi “sederhana” atau terserah, dibolak-balik.

Kehidupan pada kaum preman juga mungkin belum ideal betul. Tapi kalau perbandingannya politisi, rasanya jauh lebih mending. Nampaknya pemahaman Mbah Nun terhadap kehidupan jalanan, kehidupan yang mungkin Mbah Nun alami sendiri juga pada tahun 70-an yang membuat sosok Gun Jack nyaman. Ini mungkin sulit kita temui pada tokoh-tokoh intelek dan agamawan zaman sekarang.

Dulu ada sih legenda-legenda seputaran waliyullah yang biasa berdakwah di lokasi pelacuran dan kubangan-kubangan tempat gelap. Tapi seiring zaman, hal itu sekadar jadi kisah berbalut mitos. Bagaimana kepekaan sang wali, bagaimana kemampuan kulturalnya sehingga bisa diterima di kalangan semacam itu jarang digali kembali. Itulah berbahayanya ketika kita memitos-kultuskan sosok. Mandeklah proses peradaban.

Lainnya

Exit mobile version