CakNun.com

“Mikul Dhuwur” Sanad dan Nasab Kesenian, Menuju “Kelahiran”

Liputan Sarasehan Mikul Dhuwur Bapak Tertib Suratmo, 22 April 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 6 menit

Mbah Nun memang juga menyampaikan poin-poin soal sejarah kesenimanan utamanya teater. Menurut Mbah Nun, kalau dalam musik ada revolusi The Beatles, maka dalam teater negeri ini revolusi itu adalah yang dibawa almarhum WS Rendra dengan Bengkel Teater. Era sebelum itu adalah era permulaan tahun 50-an, Kirdjomuljo, Teguh Karya dkk. Kemudian seiring zaman, transformasi terjadi. Lulusan Bengkel ada yang menjadi Teater Alam, juga Teater Dipo (merujuk pada nama Ds Dipowinatan) yang jadi cikal bakal Dinasti dan Perdikan. Dan tentu kemudian adalah cikal-bakal benih KiaiKanjeng seperti yang kita kenal sekarang.

Semua proses itu tidak baku padat. Prosesnya cair mengalir. Ada intrik sedikit konflik tapi semua lumrah. Melihat Rendra pun bisa kita zoom in lagi pada sifat karyanya dari awal yang sangat estetis seperti Rambate Rate Ra Ta (Bip Bop juga sepertinya masuk) sampai karena dipaksa sejarah menjadi sangat kritikus politik dan kebudayaan seperti “Mastodon Dan Burung-Burung Kondor”.

Fenomena zaman “Arisan Teater” juga diberi perhatian khusus oleh Mbah Nun. Dan beliau sangat berharap bahwa hal seperti itu bisa terjadi kembali pada era sekarang. Era Arisan Teater di Yogya adalah ketika suasana desa yang srawung, dan saling nyengkuyung masih bertahan. Terjadi perubahan ketika teater bergeser ke kampus, walau itu juga mungkin bukan faktor satu-satunya.

Kalau boleh penulis tambahkan, bergesernya tradisi teater dari kampung ke kampus juga memunculkan padatan senior-junior. Memang Bengkel terkenal dengan metode latihan yang disiplin semi militer, namun bila Rendra keras itu bukan soal senioritas. Ada kualitas yang sedang dijaga di situ. Sekarang eranya malah, teatrawan kampus hanya mempertahankan senioritas namun kualitasnya belum teruji. Ini perlu dibenahi.

Pergeseran desa ke kota ini jugalah sesungguhnya yang melatarbelakangi Pak Tertib Suratmo mendukuni naskah “KELAHIRAN”. Namun karena naskah itu dibuat tahun 1976, maka oleh Mbah Nun kemudian diberi sapuan warna, sedikit gubahan dan penyesuaian. Menurut Pak Tertib Suratmo, dengan sentuhan Mbah Nun naskahnya jadi lebih filosofis dan beliau sendiri tidak membayangkan bisa jadi seperti itu.

Tak disangka, sedang asyiknya membahas Rendra dan kenangan masa lalu, Bu Sito juga datang. Makin penuh kemesraan. Bu Sitoresmi mengapresiasi, “Luar biasa temanya Mikul Dhuwur. Mudah-mudahan generasi muda bisa berkaca dari pendahulunya bukan sekedar meniru. Tapi juga tentu saja mewarisi semangat berkaryanya.” Nostalgia tak sekadar kisah, aroma wewangian masa lalu meruap. Bu Sitor sampai usia sesepuh ini, nampak betul-betul primadona panggung.

Diskusi yang dimoderatori Pak Purwadmadi Admadipurwa itu mengalir dengan asik. Selain Mbah Azwar dan Mbah Nun, hadirin memperoleh sudut pandang lain dari Prof. Faruk HT dan Mbah Fajar Suharno.

Prof Faruk yang lebih memiliki jarak pandang terhadap aktivitas teater membeberkan pergeseran dalam tradisi teater. Menurut beliau, dulu teater sangat tabu untuk berunsur politis dan mengundang sponsor. Dulu teater bisa hidup tanpa sponsorship, pokoknya ada ide, ada naskah ya pentas. Namun sekarang, ketika kondisi masyarakat menjadi sangat individual, tak ada lagi modal sosial sehingga justru yang pertama harus ada adalah sponsornya dulu. Danais juga membawa pergeseran lagi, tapi tidak diperpanjang ke arah sana pembahasannya.

Dialog pun terjadi dengan hadirin, pertanyaan yang muncul misal Mas Yoga dari Godean bertanya bagaimana melahirkan karya monumental. Oleh Mbah Azwar diberi jawaban, “Saya nggak tahu. Menciptakan itu kita ciptakan saja sesudah kita bergaul sehari-hari. Tapi bagaimana bisa ada itu? Nah itu yang mengerti Emha”.

Persoalannya menurut Mbah Nun kita berada pada situasi politik dan kebudayaan di mana orang tidak mengerti kaliber dan kualitas sehingga seringkali yang tidak berharga dibela mati-matian sedang yang mestinya berharga malah tidak dihargai sama sekali. Tapi kita mesti tetap berkarya, tak kenal lelah.

Mbah Nun tidak sekadar bicara soal ini. Mbah Nun sendiri tanpa henti menemani warga dan masyarakat di berbagai wilayah dan berbagai bidang. Maka kalau sedulur-sedulur JM tidak gumun kalau cuma lihat seonggok presiden blusukan, itu bukan karena mereka haters. Hanya karena sudah biasa melihat yang kaliber kualitasnya lebih mumpuni sehingga melihat yang sepele kayak gitu ya biasa. Tapi jangan terlampau menyepelekan juga, biasa saja.

Mas Dani dari Bantul pun menyampaikan bahwa memang kultur desa banyak yang hilang. Di perkotaan manusia makin mengurusi hidup sendiri-sendiri, individualis dan materialistis. Budaya kita tergerus, komunalitas dianggap tuntutan yang memberatkan manusia.

Ini memang tantangan zaman kita. Kita yang muda ini yang mesti bisa mengkhalifahi zaman, maka kita mesti menyelami “KELAHIRAN” kita sendiri. (MZ Fadil)

Lainnya

Kenduri Cinta: 25 Tahun dan Terus Berjalan

Kenduri Cinta: 25 Tahun dan Terus Berjalan

DUA PULUH LIMA tahun adalah waktu yang tidak sebentar. Dalam perhitungan manusia, usia itu biasa disebut sebagai titik awal kedewasaan—masa di mana seseorang mulai menentukan arah hidupnya.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version