CakNun.com

Barisan Sukowati Guyub Rukun Mengayomi Negeri

Reportase Sinau Bareng CNKK dalam Hari Jadi ke-272 ab. Sragen, 24 Mei 2018
Muhammadona Setiawan
Waktu baca ± 12 menit

Sebagai catatan awal, hari jadi kabupaten Sragen jatuh sama persis dengan hari kelahiran Mbah Nun, yakni tanggal 27 Mei. Ada apa ini? Mari kita selami.

Pada tanggal 27 Mei 2018, Kab. Sragen memperingati hari jadinya yang ke-272. Sedangkan Mbah Nun tepat berusia 65 tahun. 2+7+2 hasilnya 11. Begitu juga 6+5 sama dengan 11. Cocok. Sama. Untuk keduanya, mari sama-sama kita kado Al-Fatihah 11 kali.

Sebagai momentum puncak peringatan hari jadi kabupaten yang ke-272 ini, jajaran pemerintah Kab. Sragen menggelar acara Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di Alun-alun Sasana Langen Putra Sragen, Kamis, 24 Mei 2018.

Sebetulnya, ini bukan kali pertama CNKK singgah di tlatah Sukowati. Kalau tidak salah gelaran Sinau Bareng tahun ini sudah yang keempat. Kalau teman-teman ingat, dua tahun lalu ketika ada Maiyahan di Gemolong (08 Okt 2016), Ibu Bupati Kusdinar Untung Yuni juga turut hadir. Sejak saat itulah Mbak Yuni sepertinya langsung klik dengan Maiyah. Connect dengan Simbah. Sangat nyambung dengan pola pemikiran dan keteladanan Mbah Nun. Sehingga ikatan pasedhuluran itu terus tersambung. Buktinya, sebulan kemudian (November 2016) Mbak Yuni secara khusus mengundang Mbah Nun dan KiaiKanjeng untuk Maiyahan secara internal di gedung Sasana Manggala Sukowati Sragen. Mbah Nun dimintai tolong oleh shohibul hajat (Ibu Bupati) untuk nyawuri ilmu-ilmu dan wawasan baru kepada seluruh perangkat PNS, jajaran TNI (Kodim) dan Kepolisian (Polres) yang mengabdi di Bumi Sukowati. Ahh, Sragen dan Maiyah sudah saling jatuh cintah.

Refleksi Maiyah

Ke lokasi Sinau Bareng saya datang berdua bersama seorang teman. Gara-garanya teman saya itu (Dwi) baca status WA saya beberapa waktu lalu. “Aku pengen nonton Cak Nun bro.” Nonton?? Emange Cak Nun ameh sulapan ditonton? (Batin saya). Maklum, si Dwi belum tahu benar siapa itu Cak Nun. Maiyah, apalagi. Sehari-hari ia bekerja disebuah bengkel mobil. Dan di kampung ia terkenal remaja yang badung (mbeling), suka mabok, kluyuran dan tukang ngebut di jalanan. Heran, setan mana yang tiba-tiba nemplek di tubuhnya. Kok mendadak kepengin ‘nonton’ Cak Nun.

Pukul 5 sore kami berangkat ke TKP (Alun-alun Sragen). Berboncengan naik roda dua. Jarak Gemolong-Sragen dapat ditempuh selama kurang lebih 45 menit. Belum separuh perjalanan ndilalah turun hujan. Deras tak kira-kira. Kami menepi untuk ngiup. Pas sekali di tepi jalan ada Masjid. Sebelahnya lagi warung makan. Tak berselang lama adzan maghrib berkumandang. Mesra sekali ditelinga. Kami ‘batalkan’ puasa dengan segelas lemon tea hangat dan tahu isi dicocol sambal-kecap. Mantaaap!!

Usai berbuka, hujan reda. Kami bergegas sholat maghrib dan melanjutkan perjalanan. Di atas motor si Dwi bikin ulah lagi.

“Masbro, nanti nonton Cak Nun mbayar piro?”. Mbayar ndasmu! Kali ini saya ndak batin lagi. Geli tapi juga emosi. Kamu kira Cak Nun itu artis, penyanyi, atau bintang film, kok harus mbayar segala.

Teman-teman sekalian, mohon maafkan lah sahabat saya yang satu ini. Ia memang awam. Sehingga blokosuto ngomong opo anane. Dengan nada pelan, sitik-sitik saya jelaskan ke dia tentang siapa itu Cak Nun. Model pengajiannya seperti apa, jamaahnya bagaimana dan seterusnya. Saya sengaja tak mau bicara panjang lebar kepadanya tentang Cak Nun dan Maiyah, biarkan nanti ia berproses dengan caranya sendiri dalam melihat, menangkap dan memaknai Maiyah itu seperti apa.

Tepat pukul 7 malam, kami tiba dibibir Alun-alun Sragen. “Bro, Cak Nun wis teko urung? Aku pengen salaman, pengen foto bareng karo Cak Nun.”

Seperti tersambar petir di siang hari. Bukankah sikap yang ditunjukkan Dwi tersebut juga saya alami. Dulu, awal mula nyemplung di Maiyah dan kenal Mbah Nun, saya juga suka alay. Menggebu-gebu ingin ketemu. Ingin salaman, ingin cium tangan, ingin selfi bareng dan ingin minta tanda tangan. Ya Allah, adanya Dwi menuntun saya untuk merefleksi diri. Bahwa bermaiyah itu proses. Proses pembelajaran diri. Sampai nanti, sampai mati.

Maiyah itu Kekancan, Bebrayan lan Katresnan

Sebelum merapat ke panggung, kami mlipir dulu ke warung hik (angkringan). Mengisi perut dan menikmati satu, dua batang udut. Di sana kami bertemu dengan mas Indra Agusta dan mas Hanif. Mereka berdua JM Sragentina. Diatas lincak, kami berempat langsung terlibat obrolan hangat. Akrab dan bersahabat. Saat mau bayar, mas Hanif langsung menyodorkan uang.

“Sudah ini saja mas sekalian.”

“Jangaaan, tadi kita makannya banyak je.”

“Udah gak papa santai aja.”

Alhamdulillah, kami ketiban berkah Maiyah. Makan-minum gratis. Dan tak berhenti di situ. Kami juga diantar untuk memarkir motor di area dalam kantor Pemda di sebrang Alun-alun. Kami juga diantar ke toilet, lalu ke Musholla untuk menunaikan Sholat Isya’.

Kalau teman-teman tahu, mas Indra itu seorang kristiani. Dan saya muslim. Mas Indra ternyata juga bukan perokok, sedangkan saya smoker kelas berat. Secara keyakinan dan kebiasaan kami berbeda. Sangat berbeda. Namun nyatanya itu bukan jadi penghalang kita untuk berteman. Maiyah berhasil merangkul perbedaan. Memukul kesenjangan. Sebagai kawan sekaligus tuan rumah, mas Indra dan mas Hanif telah menjalankan tugasnya dengan baik. Bukankah itu output dari nilai dan ilmu Maiyah yang diajarkan Simbah? Bukankah itu ajaran Nabi, untuk selalu memuliakan tamu? Bukankah itu yang seharusnya dilakukan sesama hamba Allah? Yakni melayani dan menyayangi. Maiyah mampu menyuburkan roso kekancan, bebrayan dan katresnan di antara kita.

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version