CakNun.com

Instalasi Fithrah

Muhammad Humaidi
Waktu baca ± 4 menit

Saat Ramadhan menjelang akhir, banyak sekali acara dan iklan di televisi mengatakan “menyambut kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa”. Pernyataan ini seakan-akan membawa kita pada sebuah pemahaman bahwa puasa adalah sesuatu yang harus ditaklukkan, sesuatu yang harus “dikalahkan”. Sehingga, kita merayakan kemenangan pada tanggal 1 Syawal. Euforia Idul Fitri yang sedemikian meriahnya terkadang tidak disadari. Apa yang sebenarnya dirayakan?

Ramadhan, Tak Sekadar Ra Madhang

Ramadhan adalah bulan ketika kita diwajibkan melaksanakan puasa. Sayangnya, selama ini kita kurang mau menggali mengapa bulan puasa diwajibkan pada bulan ini. Bukan bulan-bulan yang lain. Kita juga masih belum banyak menyadari tentang keistimewaan bulan ini. Bahkan mengapa ia sampai memiliki gelar Sayyidus Syuhur. Mungkin, kita bisa mencari sendiri tentang hal ini. Dan tentu bab ini tidak akan selesai dibahas hanya pada satu dua halaman saja. Namun yang jelas, Ramadhan memang bulan sangat istimewa.

Menilik nama bulan Ramadhan, konon Ramadhan adalah bulan musim panas di Jazirah Arab. Di sisi lain, beberapa ulama bahasa Arab mengartikan Ramadhan dengan panas, karena berasal dari kata ramadhiyu. Ramadhiyu bisa juga diartikan dengan terbakar (sehingga menjadi panas). Sehingga Ramadhan adalah sebutan untuk kejadian terbakarnya sesuatu yang akhirnya semakin panas (boleh jadi sampai habis). Mungkin ini bisa juga dijadikan analogi untuk terbakar habisnya dosa-dosa kita di bulan Ramadhan.

Al-Qur`an juga mendefinisikan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur`an. Dan peristiwa itu sendiri terjadi pada 17 Ramadhan. Sehingga sudah tak asing lagi, pada setiap tanggal tersebut kita memeringatinya dengan sebutan Nuzulul Qur`an. Nah, yang harus kita cermati, ada beberapa proses atau kejadian sangat istimewa yang terjadi pada bulan ini saja. Yang pertama adalah puasa itu sendiri. Puasa, dalam surat Al-Baqarah 183 diisyaratkan dengan bahasa shiyam. Di dalan tafsir At-Thabari disebutkan definisi shiyam adalah menahan diri dari segala sesuatu yang diwajibkan Allah untuk menahannya.

Meskipun dalam istilah fiqh puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa (seperti makan dan minum) sejak terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari, nyatanya puasa tidak hanya sekadar seperti itu. Dalam urusan muamalah, Cak Nun menggambarkan harus ada hal-hal yang digas dan direm. Dalam konteks ini berpuasa juga dapat dipahami sebagai sebuah proses ngerem apa saja yang kita senang. Tidak hanya dalam urusan makan dan minum saja, tetapi juga dalam kesenangan-kesenangan duniawi lainnya.

Ironisnya, saat ini puasa seolah mengalami proses konotasi luar biasa. Hari ini puasa dimaknai sebatas menahan lapar dan minum saja. Hari ini puasa hanya sebatas selebrasi menahan sementara makan dan minum untuk akhirnya nanti diluapkan ketika adzan maghrib tiba. Tak ayal jika Rasulullah pun pernah bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga”. (HR. Ath-Thabrani). Tak pelak pula anekdot “Ramadhan is more than ramadhang” sering kita dengar dalam keseharian kita. Ya, Ramadhan tak hanya sekadar ora madhang saja.

Idul Fitri, Kembali ke fithrah(?)

Idul Fitri dirayakan ummat Islam setelah Ramadhan berakhir, tepatnya pada tanggal 1 bulan Syawal. Seperti umumnya kita ketahui, jika sudah mendekati hari itu, ummat Islam gegap gempita menyambut hari raya ini. Umumnya pada 10 hari terakhir Ramadhan sudah terasa sekali suasana penyambutan ini. Banyak dari kita mulai sibuk mencari baju baru, menghias rumah maupun jalanan. Bahkan juga sudah bukan pemandangan asing lagi, pada situasi ini bank-bank juga ramai sekali. Banyak orang menukar uang lama dengan uang baru untuk menyambut hari raya Idul Fitri.

Bersamaan dengan ini pula, di berbagai forum pengajian, acapkali kita dengar bahwa saat Idul Fitri ini semua ummat Islam akan kembali kepada fitrahnya, yaitu keadaan di mana manusia itu akan bersih dan tidak punya dosa lagi. Lalu, apakah semudah itu menjadi ummat Islam? Ibarat kata, dengan datangnya Idul Fitri dosa-dosa kita akan hilang begitu saja? Lepas dari benar atau salah tentang anggapan itu, selain bukan wilayah kita untuk menghakimi, tak ada salahnya juga sebelum menganggap itu salah atau benar untuk ukuran diri kita sendiri, sebaiknya kita sedikit-sedikit mencoba menggali apa makna di balik Idul Fitri itu sendiri.

Perlu kita ingat kembali, bahwa kata fitri satu rumpun dengan dengan Fithrah, dan juga masih satu rumpun dengan kata fathara (فطر). Secara bebas, kata ini bisa diartikan dengan tumbuhnya sesuatu dari yang semula tidak ada. Sesuatu di sini bersifat umum. Ia bisa tumbuhan, hewan, alam semesta, dan lain sebagainya. Dan kata “Id” sendiri adalah berarti hari perayaan, meski untuk kata dasarnya yaitu ‘aada (عاد) yang artinya adalah kembali.

Meskipun begitu, hal ini bukan berarti bertentangan. Karena bisa jadi para ustadz kita mengacu pada gabungan kedua kata ini, sehingga muncullah istilah kembali ke fitrah. Kembali bersih tidak ada apa-apanya, kemudian lahir menjadi manusia yang baru lagi.

Kemudian berbicara mengenai tujuan puasa, ada dua dasar rujukan yang perlu diingat. Pertama, surat Al-Baqarah 183 yang menjelaskan bahwa puasa disyariatkan supaya orang yang berpuasa menjadi orang yang bertakwa. Kedua, hadits Nabi yang menegaskan, Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan iman dan ihtisab maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. Kedua pijakan ini berjalan dalam napas yang sama. Melakukan puasa jelas pertama-tama haruslah dilandasi dengan iman kepada Allah. Bagaimana bisa kita melakukan kebaikan-kebaikan kalau tidak karena Tuhan. Dan yang kedua adalah dengan ihtisab. Banyak sekali referensi yang menyebutkan bahwa ihtisab ini berarti ikhlas. Ada juga yang mengartikannya mengharapkan pahala. Apapun penerjemahan para ulama, yang jelas ihtisab memiliki arti dasar yaitu “Menghitung-hitung”.

Dulu, Cak Nun pernah memberikan penjelasan bahwa siapa saja yang menjalankan puasa dan selama puasa dia mau menghitung-hitung segala kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya, kemudian dia menyesali dan bertaubat tidak pernah mengulanginya, maka inilah taubatan nasuha. Dan di akhir Ramadhan dia merenung, bertafakkur sambil mengucap lirih takbir serta istighfar sebanyak-banyaknya, esok paginya dialah yang berhak menyandang gelar “Idul Fithri”, yaitu Fithrah kembali. Ia kembali bersih dari segala virus dan menjadi manusia yang baru, bagaikan mauludin yuuladu ‘alal fithrah. Ibarat komputer yang di-install ulang menggunakan operating system yang baru. Atau bahkan bisa jadi di-upgrade ke OS yang lebih baru. Menjadi sejatining manungso yang mampu memegang teguh amanat Allah menjadi khalifah di bumi. Bukan merusak, menghancurkan, dan berusaha menjadi Tuhan baru dengan meniadakan Allah, Rasulullah, serta para kekasih-Nya.

Maka apa yang kita rayakan di malam Idul Fitri selama ini? Jangan-jangan kita hanya bergembira karena besok sudah tidak berpuasa lagi. Jangan-jangan, selama ini kita hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja sehingga kita memaknai Idul Fitri hanya sebatas Hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa. Bahwa kita sudah mampu mengalahkan puasa yang sebulan itu. Dan bukan memaknainya bahwa puasa tak sekadar menahan lapar dan dahaga. Bukan pula memaknai bahwa Ramadhan adalah wadah pelatihan kita untuk menjalani puasa yang sebenarnya pada 11 bulan berikutnya.

Blitar, 23 Juni 2017

Lainnya

Seribu Idul Fitri Untuk Seribu Diri

Seribu Idul Fitri Untuk Seribu Diri

Pencapaian diri-rakyatmu mungkin adalah ketangguhan untuk tidak terhina oleh pelecehan, tidak menderita oleh penindasan, tidak mati oleh pembunuhan.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version