CakNun.com
Daur-I270

Solusi Dari Zamannya Sendiri

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 2 menit
Tahqiq “…Kami ini mengisi usia berpuluh-puluh tahun untuk saling mentertawakan satu sama lain. Tetapi itu tidak pernah menjadi persoalan di antara Pakde Paklik kalian, karena pada kenyataannya kami masing-masing lebih parah lagi mentertawakan diri kami masing-masing… ”

Tiba-tiba kemudian Sundusin tertawa berkepanjangan. Bukan ngakak, tetapi, karena memang semakin tua usianya: cenderung terkekeh-kekeh. Di ujungnya, ketika tertawanya semakin reda, napasnya tersengal-sengal. Kemudian terbatuk beberapa kali.

Tarmihim menatap wajah-wajah semua yang hadir. Ada yang cueg-cueg saja, ada yang agak heran, ada yang jelas tidak mengerti kenapa Ndusin tertawa.

“Pakdemu Ndusin mungkin sedang disamperin roh liar”, kata Tarmihim, “atau mungkin kangslupan, atau mendadak majdzub, atau terjadi persentuhan antara dua aliran pikiran di susunan sarafnya, atau entah apa. Tapi itu biasa. Sejak di Patangpuluhan dulu peristiwa kesurupan itu sesuatu yang rutin…”

“Pakde tidak kesurupan”, Sundusin sudah kembali tertata napasnya dan menjawab, “Pakde dalam keadaan yang justru sangat sadar. Sangat-sangat sadar. Sadar secerah-cerahnya kesadaran”

“Apa yang lucu, Pakde?”, Junit bertanya.

“Kita semua ini”, jawab Ndusin.

“Tidak semua sih. Kalian anak-anak muda hanya agak lucu. Tapi kami orang-orang tua ini benar-benar lucu, bahkan sangat lucu. Dan sudah sangat lama lucunya. Sedemikian rupa sehingga Pakde tidak mampu tidak tertawa”

“Tidak lucu bagaimana dan lucu bagaimana, Pakde?”, Jitul menyusulkan pertanyaan.

“Kalian anak-anak muda 50% mengagumkan, 40% mengharukan dan 10% agak lucu”

“Saya tidak akan menginterupsi, Pakde, tolong jelaskan sampai sejelas-jelasnya bagaimana maksud Pakde itu”, kata Toling.

Sundusin serius. Tidak ada sisa-sisa tertawanya.

“Anak-anakku semua jangan marah ya”, katanya, “mungkin saja para Pakde Paklik kalian ini sebenarnya adalah orang-orang yang frustrasi, kecewa, dan kebingungan. Kami sangat bersyukur dan bangga bergaul dan berinteraksi dengan Mbah kalian Markesot yang benar-benar sangat mengubah hidup kami. Mengubah pandangan mendasar nilai-nilai kehidupan kami. Mengubah cara berpikir, cara pandang, sikap dan keputusan-keputusan hidup kami….”

Ndusin berhenti sejenak. Mengusap-usap matanya.

“Kami sangat meyakini pilihan-pilihan hidup kami, sebagaimana kami meyakini pilihan hidup Mbah kalian Markesot. Dan ketika di luar sana situasi manusia, masyarakat, bangsa, terutama Negara, semakin rusak, semakin kehilangan peradaban kemanusiaannya – maka keyakinan kami itu juga menjadi semakin teguh dan menghunjam sangat dalam di jiwa kami…”

Tarmihim tertawa. Sundusin menoleh. “Tolong jangan remehkan apa yang sedang saya uraikan”, responsnya, “kalian juga jangan berlagak seakan-akan hidup kalian tidak seperti yang saya ceritakan kepada anak-anak muda yang mengagumkan ini”

“Bukan itu yang membuat saya tertawa”, kata Tarmihim.

“Maksudmu?”, tanya Sundusin.

“Sudah sejak di Patangpuluhan dulu saya selalu merasa geli kalau mendengarkan orang presentasi, apalagi yang ada kandungan curhat-nya…”, Tarmihim tertawa lagi.

“Jangan dengarkan apa reaksi Pakde-Pakde kalian”, kata Sundusin kepada anak-anak muda itu, “kalau mendengar Pakde Tarmihim tertawa atau seperti mentertawakan saya, pada dasarnya saya juga sedang mentertawakan Pakde kalian Tarmihim. Kami ini mengisi usia berpuluh-puluh tahun untuk saling mentertawakan satu sama lain. Tetapi itu tidak pernah menjadi persoalan di antara Pakde Paklik kalian, karena pada kenyataannya kami masing-masing lebih parah lagi mentertawakan diri kami masing-masing”

“Memang diam-diam hal itu salah satu mata kuliah yang kami pelajari dan latihkan dari Pakde Paklik”, Seger menyahut.

“Hal apa yang terutama Pakde Paklik tertawakan pada diri Pakde Paklik?”, Jitul bertanya.

Sekarang Ndusin tertawa lagi. “Tapi kalian jangan terpengaruh ya….”, katanya, “kasus generasi kami berbeda dengan generasi kalian”

“Bagaimana itu Pakde maksudnya?”, Toling mengejar.

“Zaman kami berbeda dibanding zaman kalian sekarang ini. Peta persoalannya beda, jenis tantangannya beda, ruang waktunya juga beda, sehingga formula solusinya juga tidak sama, kadar probabilitas aplikasinya juga tidak sama. Kami dan semua orang selalu yakin bahwa setiap zaman memuat tantangan hiyang berbeda kemudian memunculkan solusinya dari dirinya sendiri. Dan kami sangat tertawa oleh kalimat yang terakhir itu…”

Lainnya

Kebon Jannatunna’im

Kebon Jannatunna’im

Karena yang diuar-uarkan di banyak media kebanyakan adalah Emha karangan masyarakat, buzzer, netizen dan para penganut Agama Purbasangka, bukan Ainun Nadjib yang diciptakan dan diperjalankan oleh Allah dan yang ia sendiri mengkhalifahi dirinya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version