Indonesia Bagian Dari Maiyah
Kalimat “Indonesia Bagian dari Desa Saya” merupakan buah pemikiran Cak Nun yang lahir di tahun ‘70an, sebuah gagasan jitu dalam menjawab realitas masyarakat Indonesia kala itu. Di mana gelombang penjajahan model baru yang diprakasai oleh kapitalisme global, digerakkan oleh semangat hubbuddunya para syaitonirrajiim dan sedang diperagakan oleh penguasa negara saat itu. Dengan selogan atas nama ‘pembangunan’ dan ‘modernisasi’ penjajahan itu memulai langkah menggulung dan memporak porandakan bangunan harmonis masyarakat Indonesia. Desa yang tata titi tentrem dalam budaya kebersamaan, kerukunan dan kebersahajaan tiba-tiba menjadi goyah dan hampir ambruk diterjang gelombang pembangunan Indonesia. Maka dengan ungkapan “Indonesia Bagian dari Desa Saya” Cak Nun mengajak masyarakat Indonesia untuk sadar kembali bahwa desa yang memiliki pola hidup bersahaja, rukun dalam kebersamaan, tidak mudah mengumbar keserakahan adalah wujud otentik masyarakat Indonesia. Oleh karena itu sesungguhnya desalah yang sanggup menampung Indonesia, bukan sebaliknya.
Pemikiran tersebut tidak lepas dari latar belakang Cak Nun sebagai orang Menturo. Satu dari karakter kuat orang-orang menturo adalah “tidak mau menjadi junior atau bawahan dari siapapun”. Meski bukan berarti kemudian berlaku menjadi senior dan menjadi atasan bagi siapapun. Dalam kamus kehidupan orang-orang Menturo memang tidak dikenal istilah atasan bawahan atau senior-junior. Meskipun dalam beberapa kasus lain ketika berhadapan dengan orang-orang yang sombong, congkak dan tinggi hati, maka orang-orang menturo mengambil sikap ‘berlagak’ sebagai atasan, ‘bersandiwara’ sebagai senior, semata untuk menundukkan kesombongan dan keangkuhan orang yang sedang dihadapi. Inilah kedaulatan orang-orang Menturo, memposisikan siapapun dalam setara kemanusiaan.
Kini, tiga puluh lima tahun kemudian, ketika Maiyah merumuskan dirinya di tengah masyarakat dan bangsa Indonesia, ungkapan ‘Indonesia Bagian dari Desa Saya’ muncul kembali, tetapi dengan tekanan tafsir atau pemahaman yang diperbaharui lagi, justru untuk meringankan langkah dan beban dalam menyikapi Indonesia dengan segala tumpukan persoalannya yang tak kunjung berkurang jumlahnya. Ia menjadi ‘Indonesia bagian dari Maiyah’, dengan cara berpikir: karena Indonesia adalah bagian dari Maiyah, maka yang menjadi perhatian bukan Maiyah menuntut bagian dari Indonesia, tapi sebaliknya bagaimana Maiyah memberikan bagian (cinta kasih, derma, dan pelayanan) kepada Indonesia.
Selanjutnya, dengan menggunakan prinsip hidup orang Menturo — yang tidak mengenal atasan-bawahan — maka Maiyah tidak memandang dan memposisikan Indonesia sebagai bawahan, akan tetapi justru memuliakan derajatnya dengan shodaqoh cinta. Wujudnya bermacam-macam sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Artinya, shodaqoh itu diberikan dengan batas amanat atau mandat yang diberikan kepada Maiyah.
Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Maiyah tidak dalam posisi ‘wajib’ memberikan jawaban atau solusi atas bertumpuk-tumpuk persoalan yang menghimpit Indonesia, karena posisi wajib ada pada pemerintah. Pemerintahlah yag secara sah diberikan mandat amanat oleh Indonesia untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Prinsipnya adalah pemerintah sebagai umara’ maka ia wajib untuk ya’muruna bil ma’ruf sementara Maiyah dalam posisi sebagai umat, da’wah bil khair. Dengan batas itu, maka semua persoalan di Indonesia tidak wajib dijawab dan diselesaikan oleh Maiyah, melainkan jika melakukannya adalah berangkat dari posisi ‘sunnah’ atau kemuliaan. Dalam batas itu pula, Maiyah belajar berendah hati melihat bobot masalah: ada yang bisa diatasi, ada yang mungkin bisa diatasi, ada yang tidak mungkin diatasi.
Karena Maiyah terdiri dari manusia-manusia maiyah di dalamnya, maka tidak ada pilihan lain bahwa nilai yang abadi dan universal ‘Indonesia Bagian dari Maiyah’ yakni pada kata kunci ‘memberi dan tidak menuntut/tidak menagih’ itu menjadi fardhu ain untuk diimplementasikan dalam praktik hidup sehari-hari. Melakukan sesuatu tidak didasari oleh motif menuntut balas. Suami dan istri dapat dan seyogyanya menjalankan semangat ini yang justru dengan begitu besar peluangnya mampu meraih suasana kebahagiaan. Juga orangtua menyekolahkan anak tidak didorong oleh motif kapitalistik. Ringkasnya, kata kunci tersebut mengajak kita melahirkan dan memiliki motif yang semurni mungkin, sebersih mungkin, seterdistilasi mungkin, dan seakurat mungkin.
Shodaqoh yang diberikan oleh Maiyah kepada Indonesia beragam bentuk dan berderet-deret jumlahnya. Majelis Masyarakat Maiyah sejak 22 tahun yang lalu dimulai dengan Majelis Masyarakat Maiyah Padhang Mbulan, di desa Menturo, Sumobito, Jombang sampai dengan hari ini masih terus setia menyejukkan hati dan menjernihkan pikiran masyarakat Indonesia, bahkan seiringnya waktu Majelis-majelis ilmu serupa semakin banyak tumbuh diberbagai belahan Nusantara bagai jamur di musim hujan bahkan pada tahun terakhir sampai ke manca negara. Majelis Masyarakat Maiyah secara kontinyu berkala terus menerus membangun kesadaran hidup baru dan melahirkan manusia baru yang semakin tangguh menghadapi berbagai persoalan.
Bukan hanya itu, anak-anak muda yang setia melingkar di majelis-majelis itu, kini mulai belajar menyusun shaf merapikan lingkaran melakukan aksi-aksi nyata, uji materi atas ilmu yang diperoleh dari Maiyah. Dimulai dari belajar mengatasi persoalan keluarga, kemudian persoalan-persoalan di lingkungan kerja dan sekitarnya, dengan harapan lingkaran terus meluas dan menjangkau berbagai sudut ruang kehidupan bersama. Dan semua itu dilakukan dengan satu pedoman dalam rangka cinta segitiga, Allah, Rasulullah, dan Makhluk ciptaanNya. Belumkah ini shodaqoh Maiyah kepada Indonesia.
Belum lagi dalam kasus-kasus tertentu yang mengharuskan Maiyah hadir sebagai penengah konflik antar warga, pertikaian antar kampung hinga perang antar suku. Penanganan evakuasi korban bencana hingga berdiplomasi dengan alam agar menunda bencana. Bersama buruh-buruh pabrik dalam negri menuntut kelayakan haknya hingga TKI di luar negeri memperoleh kebaikan hidupnya. Dan masih banyak lagi. Semua shodaqoh itu diberikan sebagai bentuk Indonesia Bagian dari Maiyah.
Kalaulah ini harus diungapkan bukan berarti Maiyah ingin pamer atau riya’ kebaikan, bukan pula berarti Maiyah menganggap dirinya unggul dan mampu berbuat banyak, akan tetapi sebagai perwujudan rasa syukur dan takjub atas karunia yang begitu berharga yang diberikan Allah kepada Indonesia berupa Maiyah. Dan sekali lagi ini bukan pula berarti Maiyah menuntut balas imbal kepada Indonesia.
Dalam putaran satu bulan, terhitung sejak Padhangmbulan (28 Oktober 2015) dan Bangbang Wetan (29 Oktober 2015), tema “Indonesia Bagian dari Maiyah” akan bergulir untuk didalami bersama pada setiap Majelis Masyarakat Maiyah: Kenduri Cinta (13 November 2015), Mocopat Syafaat (17 November 2015), Gambang Syafaat (25 November 2015). Para penggiat maupun jamaah pada Maiyahan reguler tersebut, serta pada simpul-simpul Maiyahan lainnya di pelbagai daerah dapat mengeksplorasi tema tersebut dari berbagai sudut dan kedalaman.