Mlungsungi dan “Rasan-rasan” Kebaikan


Tiga minggu menjelang 27 Mei, rumah saya menjadi tempat berkumpulnya teman-teman dari Omah Padhangmbulan dan beberapa wakil dari Paseban Mojokerto. Teman-teman datang untuk melakukan rembug awal dalam rangka persiapan Milad 72 tahun Mbah Nun. Kehadiran mereka bukan sekadar temu fisik — melainkan juga kehadiran nilai, semangat, dan cinta yang selama ini kita pelajari bersama Mbah Nun.
Bagi saya pribadi, pertemuan itu adalah kehormatan yang mendalam. Rumah saya yang masih jauh dari layak disebut “siap” untuk menjamu Mbah Nun, seolah mendapatkan kehormatan dan keberkahan lewat kehadiran teman-teman. Pertemuan itu menjadi representasi kehadiran Mbah Nun. Saya membatin: beginilah cara Allah Swt. menjawab kerinduan saya — juga kerinduan banyak orang — pada Mbah Nun.
Setiap kali berkumpul, baik hanya berdua maupun beramai-ramai, entah melalui jagongan offline maupun online, saya selalu merasakan satu hal yang sama: Mbah Nun seakan-akan hadir di tengah-tengah kami. Bukan sebagai figur fisik, tetapi sebagai nilai, kesadaran, dan cinta yang hidup di dalam obrolan, tawa, dan doa kami.
Dua hari sebelum menyelesaikan tulisan ini, saya terlibat dalam perbincangan daring bersama teman-teman dari Jombang, Blitar, dan Jember. Kami berbincang santai namun sarat makna. Di tengah obrolan, seorang teman dari Jember mengajak kami membaca surat Al-Fatihah untuk Mbah Nun. Hening sejenak, lalu bacaan surat Al-Fatihah mengalir dari lubuk hati kami.
Tak lama setelah itu, saya pamit lebih awal. Saat menutup layar live, sebuah video pendek menyambut saya. Video itu menampilkan potret hitam putih suasana Mocopat Syafaat, dengan kutipan dari Mbah Nun: “Hidup ini pinjaman. Jadi ndak usah kemaki dengan apa yang kita punya. Musibah terbesar manusia itu rasa memiliki.” Latar lagunya adalah “Sebelum Cahaya” yang dinyanyikan Mas Sabrang.
Saya tersentak. Bukan karena kata-katanya yang asing, tapi justru karena terlalu akrab. Pasalnya, dalam jagongan tadi saya menceritakan sikap Mbah Nun terhadap dunia dan konsep kepemilikan.
Pengalaman semacam ini bukan hanya saya yang mengalami. Banyak teman lain pun pernah mengalami hal serupa — hal-hal kecil namun sarat makna, yang membuat kita merasa seperti sedang dibersamai. Ini memang subjektif. Tapi bukankah cinta selalu punya ruang istimewa untuk subjektivitas?
Pengalaman batin seperti ini tidak pernah selesai diceritakan. Bisa dibahas hingga dini hari, dan tetap tidak akan menemukan titik akhir. Namun, dalam merawat dan membagikan pengalaman ini, kita perlu tetap waspada. Cinta yang tidak disertai ilmu dan kebijaksanaan bisa menuju arah yang keliru.
Kita tidak ingin terjebak dalam fanatisme buta, semacam “harga mati,” seperti NKRI harga mati, yang dipelesetkan NKRI harga nego. Kita tidak ingin terbelenggu dalam pola pikir Mbah Nun oriented: kalau bukan Mbah Nun, ogah. Kalau tidak Mbah Nun, tidak sah.
Mbah Nun selalu mendorong kita untuk berpikir secara mandiri, autentik, dan organik agar kita tumbuh bukan sebagai pengikut, tetapi sebagai penerus yang merdeka dan memerdekakan. Justru karena itulah kita tidak hanya mencintai beliau, tapi juga melanjutkan apa yang beliau cintai: kasih sayang, keadilan, dan kebijaksanaan.
Kita harus belajar membingkai setiap “rasan-rasan” tentang kebaikan beliau dengan ilmu, kesadaran sejarah, dan komitmen untuk tidak menggantikan satu fanatisme dengan fanatisme baru. Kita harus hati-hati agar tidak mengubah cinta menjadi kultus. Sebab ketika cinta kehilangan pijakan ilmu, ia tampil secara membabi buta.
Kini, menjelang Milad 72 tahun Mbah Nun, kita tidak sekadar perlu merayakannya. Lebih dari itu — kita melanjutkan apa yang sedang dan terus dilahirkan dari pemikiran, nilai, dan cita-cita beliau: generasi yang berpikir kritis dalam bingkai keseimbangan, mencintai tanpa menghakimi, dan berani menanggung rasa sepi sendiri.
Momentum milad Mbah Nun adalah momentum kelahiran kita juga, lahir kembali menjadi manusia, mlungsungi, dengan seluruh variabel kelahiran model hidup kita masing-masing.
Selamat Milad ke-72 tahun, Mbah Nun. Selamat juga atas launching buku “Cak Nun,” insya Allah pada Selasa, 27 Mei 2025. (Inilah) Kitab yang diturunkan kepadamu (Nabi Muhammad), maka janganlah engkau sesak dada karenanya supaya dengan (kitab itu) engkau memberi peringatan, dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (Q.S. Al-A’raf:2).