CakNun.com

Butir-Butir Substansial Mbah Nun di Margaret River

Catatan Sinau Bareng Mbah Nun dan Ibu Novia di Margaret River, 18 November 2018

18 November 2018, di Margaret River Community Resource Centre, di sebuah ruangan kecil, beberapa orang berkumpul, sekitar hitungan puluhan orang. Siang itu mereka akan Sinau Bareng bersama Mbah Nun dan Ibu Via. Di Margaret River ini adalah agenda pertama dari rangkaian Maiyah Perth. Dalam seminggu terakhir Mbah Nun dan Ibu Via berada di Perth, Australia untuk menyambangi teman-teman Maiyah di sana.

Mbah Nun dan Ibu Via berada di Perth, Australia.

Kalau kita di Indonesia, sholawatan itu sudah biasa. Apalagi kita yang sering Maiyahan, tradisi sholawatan itu bukan hal yang aneh. Lha ini, di Australia ada yang sholawatan. Masa iya Kanjeng Nabi ndak terharu? Di sebuah kota yang sangat jauh dari tradisi sholawatan, bahkan jauh dari Arab, kok ada orang sholawatan. Orang dengan sudut pandang mainstream mungkin tidak akan terharu, bagi mereka sholawatan itu ya bukan hal yang luar biasa. Tapi bagi kita orang Maiyah, peristiwa seperti ini tentu bukan sebuah peristiwa yang biasa-biasa saja.

Setelah mereka asyik bersholawat, Ibu Via kemudian membawakan satu nomor “Sayang Padaku”. Sementara, sound system tidak tersedia dengan memadai, hanya ada sound system sederhana yang terhubung dengan beberapa mic. Ibu Via kemudian mengggunakan handphone untuk memutar file digital minus one lagu “Sayang Padaku”, kemudian sebuah mic didekatkan di speaker handphone tersebut. Toh yang terpenting bukan seperti apa sebuah lagu disajikan, karena justru yang paling utama adalah pesan yang tersimpan dari lagu tersebut agar sampai kepada mereka yang mendengarkannya.

Bu Ade kemudian mempersilakan Mbah Nun dan Pak As’ad untuk duduk di depan, memulai Sinau Bareng di Margaret River siang itu. Di awal, Mbah Nun mengungkapkan kebahagiaannya bertemu dengan teman-teman di Perth siang itu. Sebagai catatan tambahan, karena audiens yang hadir siang itu tidak seluruhnya orang yang memahami bahasa Indonesia, maka Mbah Nun pun berbicara dengan menggunakan dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Ketika Mbah Nun berbicara dengan bahasa Indonesia, Pak As’ad bertugas sebagai translator agar hadirin yang tidak paham bahasa Indonesia dapat memahami apa yang disampaikan oleh Mbah Nun.

“Saya ini memiliki perasaan yang aneh. Saya sering merasa bersalah jika ada orang Australia, Amerika, Eropa yang sebelumnya bukan muslim kemudian memutuskan untuk menjadi muslim. Karena saya khawatir Anda akan kecewa jika nanti bertemu dengan orang Islam yang ternyata perilakunya tidak mencerminkan Islam”, Mbah Nun menyapa yang hadir siang itu. Seperti yang sudah pernah diceritakan oleh Bu Ade di Mocopat Syafaat beberapa bulan yang lalu, bahwa di Australia itu banyak orang Indonesia yang menikah dengan orang Australia. Tentu saja ada kebingungan yang dihadapi, bagaimana jika ada pertanyaan apakah pernikahan mereka itu sah? Sementara keyakinan dalam beragama mereka berbeda. Ada juga yang mengalah, sehingga bersedia untuk memeluk Islam setelah menikah. Seperti yang ada di hadapan Mbah Nun siang itu, beberapa dari mereka yang hadir adalah pasangan yang menikah karena bertemu di Australia. Kebanyakan, perempuannya adalah orang Indonesia sementara suaminya adalah orang Australia.

Mbah Nun dan Ibu Via berada di Perth, Australia.

Sebelum memasuki tema diskusi yang lebih dalam, Mbah Nun dalam bahasa Inggris yang fasih menyampaikan kepada jamaah untuk tidak percaya kepada Mbah Nun, tetapi sepenuhnya kepercayaan itu disandarkan kepada Tuhan saja. Pesan ini tentu bukan hal yang asing bagi kita jamaah Maiyah yang ada di Indonesia. Namun siang itu, Mbah Nun memang perlu menyampaikan hal tersebut, utamanya tentu dalam rangka bahwa jika memang kita meyakini bahwa kebenaran itu ada pada Tuhan, maka sepenuhnya kita harus bersandar kepada Tuhan. Jangan sampai mempertaruhkan keyakinan kita kepada manusia, apalagi menaruh harapan besar kepada manusia. “Karena saya belum tentu benar, dan yang pasti benar adalah Allah Swt”, ungkap Mbah Nun.

“Saya tidak akan mendorong-dorong orang lain untuk masuk Islam. Tapi saya akan mengungkapkan ke-Islaman saya dengan cara mencintai Anda semua, karena Allah menyuruh saya mengekspresikan Islam dengan cinta”, Mbah Nun melanjutkan. Mbah Nun menegaskan bahwa urusan Mbah Nun datang bersama Ibu Via ke Perth bukan dalam rangka berdakwah tentang Islam, tetapi lebih esensial dari itu semua, yaitu cinta. Dan juga, urusan keyakinan adalah urusan pribadi masing-masing dengan Tuhan, bukan dengan sesama manusia.

“Kalau Anda beragama Islam tetapi Anda tidak bergembira, maka itu bukan Islam”, Mbah Nun menjelaskan bahwa substansi dari kehidupan adalah bagaimana agar kita bisa hidup bahagia dengan segala yang kita lakukan selama di dunia ini. Digambarkan oleh Mbah Nun, bahkan jika ketika sholat sama sekali tidak menemukan kegembiraan, maka lebih baik segera batalkan saja sholatnya. Karena substansi dari sholat itu sendiri adalah proses agar manusia menemukan kesejatian dalam hidup, dimana salah satunya adalah bagaimana merasakan kegembiraan dalam hidup.

Mbah Nun kemudian sejengkal memasuki tema yang lebih dalam. Bahwa dalam cinta, ada kondisi dimana sebuah perilaku memang harus dipaksa, ada juga sebuah perilaku yang memang harus dilarang untuk dilakukan. Begitu juga dalam Islam, ibadah Mahdloh adalah sebuah ritual yang memang diwajibkan oleh Allah kepada orang yang beriman. Sementara ada juga hal-hal yang dilarang, agar tidak dilakukan oleh manusia. Tentu saja pertimbangannya bukan soal enak dan tidak enak, tetapi dalam wilayah baik atau tidak baik untuk manusia berdasarkan sudut pandang Allah.

“Allah itu hanya memerintahkan kepada manusia, memaksa manusia untuk melakukan sesuatu yang cenderung manusia tidak menyukai hal yang diwajibkan itu, sementara manusia secara alamiah justru cenderung menyukai hal-hal yang tidak diperintahkan oleh Allah”, Mbah Nun menambahkan.

Mbah Nun dan Ibu Via berada di Perth, Australia.

Mbah Nun bertanya kepada yang hadir; Apakah Anda suka berpuasa? Jujur saja jawabannya. Apakah Anda suka sholat? Jawaban yang muncul adalah bahwa memang sebenarnya manusia tidak suka sholat, tidak suka puasa. Justru karena manusia tidak suka sholat, tidak suka puasa maka kemudian Allah memaksa dan mewajibkan manusia untuk melakukannya. Para ustadz tolong jangan marah dulu.

Ketika kita melakukan sesuatu yang kita sukai, apa istimewanya? Jika kita suka bakso, kemudian kita makan bakso, dimana spesialnya? Tidak ada yang spesial, justru ketika kita tidak suka bakso, kemudian kita ikhlas untuk makan bakso, disitulah letak istimewanya kita. Begitu juga dengan sholat. Sudahlah, ndak usah mbagusi bahwa kita itu suka sholat. Akui saja bahwa kita tidak suka sholat, tidak suka puasa. Paling enak kan pagi-pagi tidur, selimutan, daripada bangun dan sholat Subuh. Paling enak ya tentu saja makan, daripada berpuasa. Kalau landasan yang kita gunakan adalah enak atau tidak enak, maka Ibadah mahdhloh itu tidak ada enak-enaknya sama sekali. Tetapi karena kita cinta kepada Allah dan Rasulullah, maka kita mau melakukan itu semua dengan ikhlas.

Makan, misalnya. Tidak ada ayat dalam Al Qur’an yang menyatakan bahwa manusia diwajibkan untuk makan. Tetapi kita melakukannya. Kita sebagai manusia menyadari bahwa kita harus makan agar kita bisa terus hidup, tubuh kita membutuhkan asupan nutrisi agar tetap sehat. Tetapi tidak ada kewajiban dari Allah kepada kita untuk makan. Justru yang diwajibkan oleh Allah adalah puasa sebagai bentuk keseimbangan, bahwa makan itu tidak selamanya baik, ada saat dimana kita harus mengambil jeda untuk tidak makan dalam beberapa saat agar keseimbangan tubuh kita terjaga. Begitu juga dengan sholat, dari keseluruhan 24 jam yang kita miliki, Allah hanya mewajibkan 5 waktu saja bagi kita untuk sholat. Salah satu alasannya adalah dalam rangka menyeimbangkan hidup kita. Tanpa ada paksaan untuk makan, manusia pasti akan makan, karena manusia membutuhkan asupan nutrisi untuk tubuh.

Dalam konteks regenerasi, menikah itu wajib agar kita melanjutkan kehidupan, sehingga ada generasi baru yang lahir setelah kita. Tetapi tidak ada paksaan dari Tuhan kepada manusia untuk menikah. Karena tanpa ada paksaan pun, manusia pasti akan mau untuk menikah.

Sementara dalam konteks kebutuhan, manusia membutuhkan sholat. Manusia membutuhkan puasa. Manusia membutuhkan zakat. Dalam tradisi jawa, bayi yang masih kecil itu akan dicekok’I jamu, dipaksa untuk menelan jamu, diloloh jamu. Dan secara natural, bayi akan menolaknya, bahkan sampai menangis, tetapi sang Ibu akan tetap memaksa bayi itu untuk menelan jamu. Karena Ibu mengerti bahwa jamu itu baik untuk bayinya, karena ia memerlukannya untuk sistem kekebalan tubuhnya.

Mbah Nun dan Ibu Via berada di Perth, Australia.

Kenapa Tuhan menyuruh kita sholat, utamanya adalah karena kita yang membutuhkan sholat, bukan Tuhan yang membutuhkan sholat yang kita lakukan. Yang membutuhkan kedekatan adalah kita kepada Allah. Dalam konteks hubungan Allah dengan hambanya, tentu saja Allah ingin merasa mesra dengan hamba-hambanya, Allah ingin disapa oleh makhluk-makhluknya, sehingga kemudian Allah menyusun aturan main dalam hidup agar manusia melakukan ritual-ritual ibadah mahdloh. Ritual ibadah yang sebenarnya tidak kita sukai, namun secara substansi kita membutuhkannya. Karena kita membutuhkan cara untuk mengungkapkan rasa cinta, rasa terima kasih kepada Allah. Dan salah satu caranya adalah dengan menunaikan ibadah mahdloh sehari-hari.

Begitu juga dengan sholawat, inti dari sholawatan itu bukan kita membaca syair’syair sholawat, justru dengan sholawatan itu kita mengungkapkan rasa cinta kita kepada Rasulullah Saw, karena hanya Rasulullah Saw yang mampu menyelamatan kita di hadapan Allah kelak. Adanya sholawat dalam bentuk Barzanji, Burdah dan lain sebagainya adalah dalam rangka ungkapan cinta. Dan bersholawat kepada Rasulullah Saw bukan merupakan sebuah kewajiban, namun jika kita melakukannya Allah akan sangat menyukainya.

Seperti sholawat yang dilantunkan di awal acara adalah Sholawat Badar yang bahkan orang Arab bisa jadi sama sekali tidak mengenalnya. Karena Sholawat Badar itu diciptakan oleh salah satu Kyai di Indonesia pada tahun 1962. Badar adalah sebuah lembah dimana sebuah peperangan besar terjadi di zaman Rasulullah Saw, saat itu dengan kondisi pasukan yang seadanya, Rasulullah Saw harus berhadapan dengan pasukan kafir quraisy yang jumlahnya tiga kali lipat. Maka Rasulullah Saw kemudian membesarkan hati para pasukannya; Innama tnshoruuna, wa turhamuuna, wa turzaquuna bidhlu’afaaikum. Dan ketika pasukan maju ke medan perang, Rasulullah Saw mbatin kepada Allah; In lam takun ‘alayya ghodoblun, falaa ubaali. Asalkan Engkau tidak marah kepadaku Ya Allah, aku tidak peduli. Meskipun pasukan kalah di medan perang, aku tidak peduli. Asalkan Engkau tidak marah kepadaku ya Allah.

Spirit inilah yang juga membangun Mbah Nun menyusun syair “Sayang Padaku” yang dibawakan oleh Ibu Via di awal-awal acara ini. Dan “kalimat sakti” milik Rasulullah Saw itu yang selalu menjadi pijakan Mbah Nun disaat harus mengalami penderitaan, kekalahan dan sebagainya. Pokoknya, asalkan Allah tidak marah, falaa ubaalii.

Di tengah-tengah Maiyahan, Mbah Nun dan Ibu Via mengajak jamaah yang hadir untuk melantunkan sholawat dengan berbagai genre, mulai dari Melayu, Sunda, Madura dll. Beberapa jamaah yang hadir membawa rebana untuk mengiringi sholawatan siang itu. Ibu Via kemudian membawakan nomor “Kepadamu Kekasihku”.

Mbah Nun dan Ibu Via berada di Perth, Australia.

Mengantarkan sesi tanya jawab, Mbah Nun menjelaskan bahwa ada 4 jenis perjodohan; manusia dengan sesama manusia (suami-istri), manusia dengan alam, pemerintah dengan rakyat, dan Allah dengan makhluk-makhluknya. Dalam dimensi perjodohan Allah dengan makhluk-makhluknya tentu tidak bisa disamakan dengan konteks pernikahan suami dengan istri. Mbah Nun menjelaskan bahwa dari 4 perjodohan itu ada satu nilai yang sama, yaitu adanya pemenuhan hak dan kewajiban dari masing-masing pasangan. Tidak ada hak yang boleh dituntut sebelum kewajiban dilaksanakan. Tuhan tidak akan mewajibkan manusia untuk beribadah sebelum Dia menyediakan segala kelengkapan hidup manusia di dunia. Karena Allah sudah mencukupi semua kebutuhan manusia dan menyediakannya di dunia, maka Allah memiliki hak untuk mewajibkan manusia untuk beribadah.

Jika suami belum memenuhi kebutuhan nafkah istri, maka tidak ada kewajiban bagi istri untuk menunaikan kewajibannya kepada suami. Begitu juga dengan Pemerintah kepada rakyatnya, tidak boleh Pemerintah menuntut sesuatu kepada rakyat sebelum kebutuhan rakyat itu terpenuhi. Sebelum Pemerintah menarik pajak kepada rakyat, Pemerintah harus menjamin kesejahteraan rakyat terlebih dahulu.

Mbah Nun mengelaborasi tentang Mawaddah dan Rahmah. Mawaddah adalah sebuah rasa yang spesial yang ada dalam diri manusia, yang khusus dianugerahkan oleh Allah kepada manusia, sehingga kemudian manusia memiliki rasa cinta, lalu mencintai manusia yang lainnya, kemudian bersepakat untuk menikah. Sementara Rahmah, adalah anugerah yang diberikan oleh Allah kepada seluruh ummat manusia, dalam kondisi apapun, tanpa pertimbangan apa-apa.

Sementara, Sakinah itu adalah kondisi yang kompatibel antara suami dengan istri yang selalu diupayakan. Dan Sakinah bukan kondisi yang tetap. Maka dalam Al Qur’an disebutkan litaskunu ilaiha dan litaskunu fiiha. Dan posisi suami dan istri dalam bingkai sakinah adalah litaskunu ilaiha, karena sakinah dalam pernikahan bukan merupakan sakinah yang statis, tetapi dinamis, sehingga setiap hari harus selalu diusahakan, diupayakan, saling menyesuaikan diri satu dengan yang lainnya untuk mencapai titik sakinah itu.

Mbah Nun menambahkan, bahwa adanya konsep sakinah dalam berkeluarga ini menunjukkan bahwa memang sejatinya manusia adalah makhluk dinamis, yang tidak bisa statis dalam satu kondisi dan situasi yang sama terus menerus, ada saatnya rasa sayang itu bertambah, ada kalanya muncul rasa sedih, kecewa, dan lain sebagainya. Karena memang manusia adalah makhluk yang dinamis.

Mbah Nun dan Ibu Via berada di Perth, Australia.

Ada sebuah pertanyaan yang muncul tentang bagaimana menjalani kehidupan, menikahi dengan orang yang tidak sama Aqidahnya, sementara kita sendiri tidak mampu menentukan siapa jodoh kita. Mbah Nun memulai responsnya dengan menyampaikan bahwa tidak selalu hidup yang kita jalani itu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kemudian, di dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Innaka la tahdi man ahbabta walakinnallaha yahdi man yasyaa’. Jelas bahwa Allah sangat diktator atas kehidupan alam semesta dan seluruh isinya. Ibarat seorang pelukis, ia berhak untuk melakukan apa saja terhadap lukisan yang ia buat. Mau dijual, mau pasang di rumah sendiri, mau diberikan kepada siapa saja, atau bahkan dibakar sekalipun, pelukis sangat merdeka untuk melakukannya.

Dan dalam hidup ini yang juga tidak kalah penting adalah bersyukur. Karena tidak ada satupun hal yang kita alami yang tidak pantsa untuk tidak kita syukuri. Mbah Nun berpesan, apa saja yang kita alami, kita harus menemukan celah untuk tetap mensyukurinya. Mbah Nun kemudian bercerita bahwa pada saat Ibu Via melahirkan anak pertamanya, bayi tersebut sudah diambil nyawanya oleh Allah ketika masi di dalam perut Ibu Via. Bagi Mbah Nun, pengalaman itu adalah sebuah pengalaman yang sangat berharga dalam hidup bersama Ibu Via.

Mbah Nun lantas menambahkan bahwa output seorang muslim yang paling utama adalah kebaikan, kearifan, dan kebijaksanaan terhadap sesama manusia. Bahwa kita sebagai seorang muslim wajib untuk menunaikan Ibadah mahdhloh yang diperintahkan oleh Allah Swt kepada kita, itu adalah hal yang memang harus kita lakukan. Namun semua itu bukanlah output utama yang dibutuhkan oleh manusia yang lainnya, karena yang harus kita tampilkan adalah kebaikan kita, kearifan kita, kebijaksanaan kita terhadap sesama manusia.

Setelah sesi tanya jawab yang sangat interaktif, Sinau Bareng siang itu dipungkasi dengan bernyanyi bersama lagu “Kemesraan”.

Lainnya