Sitoresmi, Pemeran Ibu Pertiwi yang Memukau Penonton
Perempuan kelahiran Yogyakarta 7 Maret 1950 ini bernama Sitoresmi Prabuningrat. Ia adalah Putri dari Prabuningrat dan RBA Puspitaningdiah yang masih keturunan dari Keraton Yogyakarta. Bu Sito, panggilan akrabnya, adalah istri penyair Willibrordus Surendrabroto Rendra alias WS Rendra. Beliau menjadi istri sekaligus partner di Bengkel Teater besutan WS Rendra itu.
Bu Sito mengawali kariernya sejak 1968 di Bengkel Teater kemudian ikut ketoprak Sapta Mandala pimpinan Bagong Kusudiardjo dan merambah di dunia film. Pentas pertamanya yakni teater Kasidah Berzanji (1968) diikuti film dan teater fenomenal seperti Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari (1981), Jaka Tingkir (1983), Banteng Mataram (1983), Arya Penangsang (1983), Ponirah Terpidana (1983), Hati yang Perawan (1984), Siapa Menabur Benci Akan Menuai Bencana (1988), Ayat-Ayat Cinta (2008), Cinta Tapi Beda (2012), Cinta Suci Zahrana (2012), Surga yang Tak Dirindukan (2015), Ayat-ayat Adinda (2016), Talak 3 ( 2016), Mlungsungi (2022), dan WaliRaja RajaWali (2022).
Kesempatan memerankan tokoh Ibu Pertiwi pada pementasan WaliRaja RajaWali oleh Teater Perdikan secara lugas menyuguhkan karakter yang membius Jamaah di area Tugu Pahlawan Surabaya. Aura terpancar dari totalitas yang beliau perankan menjadi magnetik untuk Jamaah Maiyah. Salah seorang jamaah Maiyah bernama Irul menyampaikan tentang Ibu Pertiwi, “Matanya tegas dan teduh”.
Apa yang dikatakan Irul di atas menjadi bukti betapa peran Ibu Pertiwi merasuk hingga jiwa Jamaah dan penonton malam itu. Penghayatan lagu Putra Putri Nusantara yang dinyanyikan dan kepadatan dialog yang sempurna dimainkan Bu Sito di usia menginjak tujuh puluh dua tahun adalah hal yang luar biasa.
PUTRA PUTRI NUSANTARA
Menderas airmataku
Rindu sedalam kalbu
Mengalir ke ujung waktu
Kau makin hilang darikuCinta Ibu Pertiwimu
Kilau permata Tuhanku
Gemuruh samuderaku
Tinggal sepi dan bisuKujelajahi Cakrawala
Baka fana silih menjelma
Putra putri Nusantara
Lenyap Entah di mana
Dialog Ibu Pertiwi “Kemana Anak-anakku” menjadi salah satu part paling menggugah jiwa. Bagian penting yang menjadi dialog awal Ibu Pertiwi menangis melihat anak-anak Nusantara hilang dari dirinya sendiri akibat datangnya rombongan dari benua jauh membawa kebuasan dan jiwa barbar. Pun mengajarkan kekuasaan dan kerakusan, mendidik jiwa gila dunia dan mempertukarkan sorga dan neraka.
Berlanjut pada part dialog antara Ibu Pertiwi dan Maulana Iradat yang penuh makna. Kejelian memandang dan kebijaksaan diungkapkan Maulana Iradat tentang gusarnya Ibu pertiwi. Maulana Iradat membesarkan dan menyakinkan hati Ibu Pertiwi bahwa kasih sayang dan bekah Tuhan untuk anak-anak Nusantara sedang menanti. “Jangan Biarkan luntur keyakinanmu atas kasih sayang Tuhan. Berkah Tuhan menantimu di ujung jalan kesabaranmu. Ingatlah satu kunci kalimat: bahwa Putri Pertiwiku akan tidak perlu lagi menangis. Putarlah kembali alur waktu, ingat ingatkan kambali. Begitu nanti engkau menyaksikanlah karakter asli anak cucu Nusantaramu, mulailah belajar untuk tersenyum kembali”, salah satu penggalan dialog Maulana Iradat dan Ibu Pertiwi. Irul menggaris-bawahi part ini menjadi bahan diskusi lebih lanjut di Damar Kedaton, Gresik.
KEMANA ANAK-ANAKKU
Ke mana anak-anakku
Ke mana putra-putri Nusantaraku
Ke mana anak-anak yang kulahirkan dengan keringat
Dengan luka, dengan darah
Dengan kematian beribu-ribu nyawa pahlawan
Anak-anak yang dilahirkan oleh sejarah
Dengan air kawah derita tiga setengah abad lamanya
Ke mana
Ke mana anak-anakku
Ke mana putra-putri Nusantaraku
Siapa yang menculik mereka
Siapa yang menyembuyikan mereka
Siapa yang mengasuh mereka, yang mendidik mereka
Yang mengasuh mereka sehingga menjadi bukan mereka lagi
Siapa rombongan dari benua jauh itu
Yang datang ke Nusantara membawa kebuasan dan jiwa barbar
Yang mengajarkan kekuasaan dan kerakusan kepada putra-putriku
Yang mendidikan jiwa gila dunia
Yang mempertukarkan sorga dan neraka
Yang membuat bangsa Nusantara menjadi besar kepala
Menjadi busung dada kepada hakikat alam semesta
Yang tidak mampu memahami cakrawala
Yang akan mati massal dalam kekonyolan yang sia-siaAnak-anaku diusir dari dirinya sendiri
Anak-anak Nusantaraku sukma hakikatnya dicabut
Anak-anak Nsanaraku muru’ahnya dikelupas
Jiwa anak-anakku tidur panjang, sangat panjang
Dan tidak tergerak oleh suara tangisku
Tidak terbangun oleh gelombang samudra tangisku
Ternyata tidak hanya Irul, Tama, Jamaah Maiyah dari Lamongan, menandaskan kekaguman serupa. Harmonisasi indah dimainkan KiaiKanjeng mengiringi teater WaliRaja RajaWali. Hampir semua pemain yang usianya terbilang tidak muda mampu menghafalkan teks begitu padat dan panjang. Terlebih Mbah Nun mengungkapan perjuangan Bu Sito menempuh perjalanan dari Semarang menuju Yogyakarta berlatih teater WaliRaja RajaWali. Kesungguhan dan keikhlasan beliau memberikan suguhan terbaik untuk Jamaah Maiyah. Tak ayal kesempurnaan teks dan penghayatan diapresiasi oleh Tama dan seluruh Jamah Maiyah yang hadir.
Seusai pementasan WaliRaja RajaWali Mbah Nun mempersilakan seluruh pemain, termasuk Bu Sito, untuk menyampaikan pandangannya. Bu Sito menceritakan beberapa cara agar dapat menghafalkan teks yang panjang yakni dengan kesungguhan dan keikhlasan. Berkat kesungguhan dan keikhlasan teks yang panjang terasa mudah. Selain itu, beliau meyakini bahwa takdir hidupnya memang di atas panggung, akting. Ini anugerah yang diberikan Allah kepadanya. Teater WaliRaja RajaWali juga memberi pelajaran berharga secara substansial yang mengajarkan manusia untuk menjadi ahsani taqwim, bukan menjadi manusia asfala safilin. Riuh tepuk tangan berbalut kekaguman Jamaah Maiyah menjadi penutup penyampaian pandangan Ibu Sito terhadap pementasan Teater Perdikan berjudul WaliRaja RajaWali malam itu. (BangBang Wetan /Imroah)