CakNun.com

Gladi Resik Pementasan “Mlungsungi”

Malam ini dan besok malam (25 & 26 Maret 2022) adalah hari H pementasan Mlungsungsi karya Emha Ainun Nadjib oleh “Reriungan Teater Yogyakarta di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta.

Dan semalam berlangsung gladi bersih. Saya berkesempatan hadir menyaksikan gladi bersih tersebut. Saat tiba di lokasi, beruntung, acara belum dimulai. Para pemain tampak berjajar di tangga panggung, tengah menyimak kata-kata yang dilontarkan seorang perempuan. Sosok yang rasanya tidak asing. Ternyata, Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan dari Kabinet Kerja 2014-2019. Ia memuji dan menyemangati para pemain.

Selanjutnya, seorang lelaki menghampiri dan tampak berbisik kepadanya. Lelaki itu lalu mendekati Cak Nun. Kepada para pemain, Cak Nun memperkenalkan lelaki itu. “Kalian masih ingat Harmoko, nah, lelaki ini, adalah sosok yang dikenal pada masa itu. Ishadi Soetopo Kartosapoetra, seorang pakar televisi, yang pernah menjadi Kepala Stasiun TVRI Yogyakarta dan kemudian menjadi Kepala TVRI Stasiun Pusat.

“Saya kagum para pemain dari yang muda sampai yang sepuh. Saya sendiri hampir 80 tahun. Saya kagum, para sepuh ikut serta dalam kegiatan ini. Saya juga kagum dengan Cak Nun yang bisa mengumpulkan semua orang dalam kegiatan ini. Selamat, selamat, selamat,” puji Ishadi SK kepada para pemain.

Selanjutnya, Susi Pudjiastuti menyatakan akan ikut menyaksikan gladi resik ini, walau tidak sampai selesai, dan berharap dapat menyaksikan pementasan yang akan dilangsungkan malam nanti.

Acara gladi resik yang dihadiri banyak kolega. Terlihat di antaranya dari kalangan seniman; Genthong Hariono Selo Aji seorang aktor dan sutradara senior yang pernah memimpin Teater Tikar dan Sanggar Anom, Bram Makahekum anggota Bengkel Teater yang juga dikenal sebagai pencipta lagu dan penyanyi dari Kelompok Musik Kampungan.

Di tengah pementasan, Susi Pudjiastuti yang sudah menyatakan tidak dapat menonton secara penuh, berpamitan. Saya sempatkan untuk meminta pandangannya dari apa yang telah ditontonnya: “Saya pikir luar biasa semangat, energi dan pandangan-pandangan yang dikeluarkan dari teater ini. Energi kebangsaan yang luar biasa.”

Gladi resik berlangsung lancar dari awal hingga akhir. Beberapa sisi masih akan dimaksimalkan seperti tata cahaya dan sound system agar akting para pemain terlihat lebih jelas oleh penonton, demikian pula suara para pemain dan musik yang bisa lebih maksimal. “Memang, belum selesai dan belum ada uji coba sore tadi. Tapi kami berharap, besok sebelum pementasan tata cahaya dan sound sudah dicobakan agar dapat maksimal,” tutur Jujuk Prabowo, salah satu sutradara dalam perbincangan informal.

Pada evaluasi dan review hasil gladi resik, Cak Nun meminta kepada para pemain untuk mengingat kembali lubang-lubang yang terjadi seperti saat dialog , dan menyarankan presisi bloking dan gerakan yang dapat diperkaya lagi untuk menguasai ruang panggung, dan juga menyarankan perubahan properti pada tempat para Rabbah yang posisinya lebih tinggi dibandingkan panggung.

Fadjar Suharno, merespon masukan dari Cak Nun meminta kepada tim sutradara dan tim artistik untuk membahas hal-hal teknis untuk perbaikan. Kepada para pemain ia menekankan tentang pentingnya mengkomunikasikan dialog anda kepada penonton. “Teman-teman sudah bermain bagus, tapi jangan kepada lawan bicara saja, anda mendialogkannya kepada penonton,” ujarnya memberikan saran.

“Mlungsungi” memang merupakan naskah yang sarat pandangan Cak Nun pengarangnya atas situasi sosial-politik yang terjadi di negeri ini. Seluruh adegan, berupa dialog-dialog yang sarat dengan konsep kenegaraan, sejarah dan keagamaan. Cak Nun sangat menjaga jarak dari berbagai kelompok kepentingan, sehingga dapat menyentil setidaknya kepada kedua belah pihak. Gagasan yang ditawarkan adalah “mlungsungi”, agar Nusantara dapat Berjaya.

Seluruh pemain dan tim Mlungsungi berharap pementasan berjalan lancar, dan lebih jauh Mlungsungi dapat membuka ruang baru bagi kerja-kerja kolaborasi antar kelompok dan generasi, memberikan pembelajaran berharga yang menjadi titik tolak bagi kehidupan teater khususnya dan kehidupan kebangsaan pada umumnya.

Lainnya

Drama Mlungsungi #31

Drama Mlungsungi #31

Bersatu memanggul, mengemban amanah sang guru tercinta, menggelar drama nusantara “Mlungsungi”

Drama Mlungsungi #37

Drama Mlungsungi #37

Mas Edo Nurcahyo, Pimpinan Produksi pementasan drama MLUNGSUNGI ini, lahir di Yogyakarta pada 28 Mei 1960. Sejak 1979, Mas Edo tak pernah lepas dari panggung teater di Yogyakarta. Sejak masuk Teater Muslim pimpinan Pedro Soedjono, yang kemudian bergabung dengan Teater Alam pimpinan Bang Azwar AN (alm.), Mas Edo terus menempa diri berlatih dan berproses. Dari sinilah Ia menemukan jatidirinya sebagai seorang Penata Artistik yang andal.

Tahun 1986, Mas Edo melawat ke Kuala Lumpur dalam Festival Seni Asia. Bersama Bang Azwar AN mendirikan Teater Serumpun, yang beranggotakan Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, dan Philipina.

Lepas 1987, Mas Edo meninggalkan Yogyakarta mengembara di Jakarta. Di sana berkecimpung di dunia film dan sinetron. Ia pernah terlibat dalam proses pembuatan film: “Satria Bergitar”, “Aryo Penangsang”, “Sunan Kalijaga”, dll. Sedang dalam sinetron: “Nyi Mas Mirah”, sinetron pertama yang diproduksi TVRI Yogyakarta, naskah oleh Alex Soeprapto Yudo (alm.), sutradara F. Rahardi (alm.), Mas Edo menangani special effect, dan “Siti Nurbaya”. Di samping itu, Ia juga menulis skenario film: “Diantara Dua Kutub” (dibeli oleh TPI). Mas Edo sempat mengajar di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) era 90-an.

Tahun 1996, Mas Edo turut mendukung Gelar Budaya Rakyat di Seksi Musik bersama Sapto Rahardjo (alm.) dan Felix Dodi Yulianto (Blass). Di tahun itu juga bersama Teater Alam membuat pementasan berjudul “Trilogi Sopochles” (Oedipus Rex, Oedipus Colonus Anthigone). Pentas selama 7,5 jam tersebut disutradarai oleh Azwar AN di Purna Budaya Bulaksumur Yogyakarta (sekarang Gedung PPKH). Dalam pentas fenomenal tersebut, Mas Edo tidak hanya ada di balik stage, tetapi juga ikut bermain dan berperan sebagai “Gembala” (key story).

Selepas 1996, Ia lebih intens pada pementasan-pementasan atau produksi seni tradiri. Salah satunya melahirkan gagasan: “Pentas Seni Tradisi Sepanjang Tahun” bersama Taman Budaya Yogyakarta (TBY); salah satu penggagas adanya “Pasar Kangen Jogja” di TBY; penggagas Pameran “Tarman Tarkam” (Antar Teman Antar Kampung), dan penggagas beberapa pameran seni rupa di TBY, termasuk salah satu penggagas Pameran Rupa-Rupa Seni Rupa “Nandur Srawung”.

Memasuki tahun 2000-an, Mas Edo aktif berada di balik keberadaan Kethoprak Ringkes Tjap Tjonthong Djokjakarta, Teater Ongkek, termasuk menghidupkan kembali Kethoprak Tobong bersama Nano Asmorodono, membina Sanggar Seni KEPRAK Jogja bersama Bayu Saptomo. Hingga sekarang, Mas Edo tak pernah surut dalam pembinaan berbagai kesenian yang ada di DIY.

Di masa pandemi di mana tak banyak pementasan bisa dilakukan oleh para seniman, bersama beberapa teman lain seperti Godor Herman Widodo dan Vincensius Dwimawan, Mas Edo berinisitaif aktif menyambangi dan bersilaturahmi kepada sesama seniman khususnya kepada para senior dan sesepuh termasuk bersilaturahmi kepada Bang Azwar AN. Melihat giat dan semangatnya dalam bersilaturahmi inilah, maka pada acara Reriyungan Konco Dulur Lawasan di Rumah Maiyah Yogyakarta 21 November 2021, Bang Azwar AN mendapuk Mas Edo sebagai pimpinan produksi pementasan drama MLUNGSUNGI di mana sejarah, ide, dan konsepnya dimatangkan dalam pertemuan Reriyungan di Rumah Maiyah tersebut.

Naskah MLUNGSUNGI yang ditulis Cak Nun ini buat Mas Edo mengingatkan perlunya perenungan baru. “Kita harus kembali, dengan pandangan atau pemikiran baru. Sesama seniman harus saling menghargai, saling menolong. Jangan ada gap-gap lagi ke depan,” tegas Mas Edo.