Ruwetnya Kesederhanaan
Selama ini apa yang tidak sederhana dari perbincangan kita, Mbah? Yang mana yang kita muluk-muluk dan dakik-dakik?
Selama ini apa yang tidak sederhana dari perbincangan kita, Mbah? Yang mana yang kita muluk-muluk dan dakik-dakik?
Kepada Beruk, Gendhon, dan Pèncèng saya berkisah puluhan tahun silam di sebelah barat perempatan Wirobrajan selatan jalan ada warung wedangan Mbah Wongso.
Saya coba mempertegas apa yang sebenarnya mau dilaporkan oleh Beruk.
“Begini saja, Ruk”, saya coba menengahi, “daripada teman-temanmu ribut, saya akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan saja, supaya alur informasinya lebih tertata”
“Siap, Mbah”, kata Beruk.
Di ujung presentasi Pèncèng, tiba-tiba saya lihat Beruk mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
Ternyata ujung maksud Pèncèng dengan topik kulinernya adalah othak-athik-gathuk dari kata “ilat”.
Pèncèng merespons, “tapi kalau pas hati galau, yang enak memang hanya empat: tidur atau makan banyak-banyak, nyanyi keras-keras, atau nggerundel dan misuh….”.
“Dulu Yogya adalah mercusuar kesenian nasional”, Pèncèng menguraikan, “untuk waktu yang sangat lama, berpuluh-puluh tahun, Yogya adalah laboratorium utama dunia seni rupa, bersaing dengan Bandung.
Pèncèng menyodorkan kepada saya tema yang menarik. Lebih sederhana, bersentuhan dengan kegiatan rutin sehari-hari setiap manusia, tetapi cara pandang dan analisisnya unik.
Saya bertanya dalam hati: Yogya mengayomi Indonesia bagaimana maksudnya? Tentu saja Beruk sudah menyiapkan jawabannya di tulisan yang berbentuk surat dan mengalir seperti catatan harian.
Yang dianggap benar dan baik tidak punya kesalahan dan keburukan sedikit pun. Yang dianggap salah dan buruk, tidak punya kebenaran dan kebaikan secuil pun.
Beruk mengemukakan bahwa orang sekarang cenderung merasa lebih hebat dari orang dulu.
Beruk menjelaskan bahwa Yogya secara administratif adalah bagian dari Indonesia. Tetapi secara historis Yogya berposisi primer dalam proses melahirkan Indonesia.
Manusia modern tidak punya penglihatan pengetahuan dan pendengaran ilmu untuk memahami secara mengakar kalimat almarhum Mbah Marijan: “Jangan pernah ucapkan gunung Merapi meletus. Ia sedang berhajat. Duwe gawe”.
“Bahkan dari Wedang Uwuh kita bisa melacak perjalanan sejarah kehidupan manusia sampai ke penciptaan syariat alam semesta oleh Tuhan sejak awal penciptaan dulu”, Beruk menyambung.
Kan rakyat Indonesia ini harus dihancurkan oleh koalisi dan rivalitas beberapa kartel perekonomian dari luar negeri yang sangat tidak bisa menahan diri untuk merampok harta benda NKRI.
Memang materi adalah bagian yang paling kasat mata dan kongkret dari kehidupan manusia. Negara juga materi. Keraton Yogya juga materi.
Yogya itu mutiaranya Indonesia. Batu mulia. Akik. Yaqut. Kalau Indonesia menelusuri zaman tanpa Yogya, itu seperti Ksatria berjalan tanpa Keris.
Tampaknya karena mendengar tema ‘Yogya Memangku Indonesia’ anak-anak saya menjadi lupa dinginnya udara.
“Lama-lama dingin juga, Mbah”, Gendon mengeluh, “Mbok cepet dijelaskan kenapa kami diseret ke sini”
Ternyata Pèncèng dan Beruk juga menggigil.
Mungkin anak-anak ini belum pernah mendengar secara persis bahwa media yang ndawuhi untuk melanjutkan Mbah Kayam dan Mbah Bakdi adalah media cetak atau koran yang paling senior di Republik ini.
“Andaikan omongan kalian tadi di depan orang banyak”, saya meneruskan, “bisa jadi akan ada cucu Simbah yang lain entah siapa, melaporkan kalian dengan kasus penistaan atas Simbah”
“Kalimat yang mana yang menistakan Simbah?”, Beruk bertanya.
Waji’an tenan. Saya repot-repot angkat mereka jadi anak saya, malah nranyak mengejek dan meremehkan kemampuan Bapaknya.
Akhirnya semua bubrah. Tentu saya tidak boleh memaksakan kehendak. Jadinya kami duduk melingkar.