CakNun.com

Kita Masih Nyaman Menikmati Dunia Gelap

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 3 menit
Men standing on demonstration
Photo by Febry Arya on Pexels

Terbius. Kita pikir dia milik kita. Kita sangka dia mewakili nurani rakyat, menyuarakan jeritan wong cilik, memperjuangkan sawah petani, pasar tradisional, dan air mata buruh. Tapi setelah semua pesta politik usai, setelah lampu kamera mati dan baliho digulung, kita mendapati: ternyata dia bukan siapa-siapa. Dia bukan berakar. Dia bukan genuine. Dia bukan tumbuhan rakyat yang tumbuh dari tanah dan disiram air perjuangan. Dia adalah benalu yang tumbuh di batang kekuasaan, dipupuk oleh modal, dan dipanen oleh oligarki.

Tapi anehnya, kita diam saja. Kita duduk manis di kursi empuk demokrasi, menonton sandiwara lima tahunan dengan popcorn sinis dan tawa pahit. Kita bahkan tak sadar bahwa kursi yang kita duduki itu sudah reyot — keropos oleh korupsi, rayap oleh politik uang, dan dimakan tikus-tikus berkumis.

Sementara itu, kita menyebut negeri jauh di utara sana sebagai negara tirani. Tapi di sanalah, bank-bank syariah justru membuka pintu bagi siapa pun yang membawa mimpi dan kerja keras. Proposal dari rakyat, dari swasta kecil, dari petani inovatif, dari BUMN pun — diterima. Tidak disambut dengan curiga, tidak dilihat siapa partainya, tidak ditanya siapa bekingnya. Hanya ditakar: adakah manfaatnya? Adakah kejujurannya? Dan adakah keberanian untuk menanggung risiko?

Mereka pun tak malu meniru. Robot ditiru. Gadget ditiru. Mobil ditiru. Tapi bukan meniru untuk mencuri — mereka meniru untuk memperbaiki. Untuk memuliakan. Untuk melampaui. “Copy and make it better.” Itu prinsip mereka. Sementara kita? Kita terlalu sibuk membanggakan orisinalitas kosong yang tak pernah melahirkan apa-apa. Kita bangga dengan nama besar, tapi tak sanggup membuat isi menjadi besar. Kita punya pabrik slogan, tapi tidak punya bengkel peradaban.

Lalu di sini, di negeri yang katanya berpancasila, kita bahkan lupa bagaimana cara membaca Pancasila itu sendiri. Kita perlakukan ia seperti patung: diam, beku, suci tapi tak berdaya. Padahal, Pancasila bukan kata benda. Ia bukan benda mati. Ia adalah kata kerja. Ia bekerja. Ia berjalan. Ia menuntut proses.

Pancasila bukan hafalan anak SD. Ia adalah perjuangan ibu yang antre beras, bapak yang ngojek dari pagi hingga malam, dan pemuda yang masih percaya bahwa negeri ini bisa lebih baik. Ia adalah perjalanan panjang dari keadilan sosial ke kemanusiaan yang adil dan beradab. Bukan meloncat-loncat seenaknya. Ia sekuensial. Ia proses, bukan prosesi.

Tapi kita membiarkannya dikerangkeng oleh partai-partai politik yang dibiayai oleh kantong-kantong gelap. Partai bukan lagi rumah rakyat. Ia menjadi mall kekuasaan. Menjadi lapak dagang. Menjadi tempat tawar-menawar jabatan, proyek, dan perlindungan. Dan siapa pemilik pasar ini? Para oligarki. Mereka yang menyewa negara untuk melanggengkan dinasti bisnis dan pengaruh.

Bukankah lebih masuk akal jika partai dibiayai oleh negara? Agar mereka bertanggung jawab pada rakyat, bukan pada sponsor oligarki. Agar mereka menjadi pelayan cita-cita bangsa, bukan agen penjual kursi kekuasaan. Tapi selama industri politik masih dikendalikan oleh pemilik modal, demokrasi hanyalah pasar malam. Ramai, hingar-bingar, tapi palsu.

Yang lebih menyedihkan adalah: kita tahu semua ini. Kita tahu dan kita sadar. Tapi kita diam. Kita masih nyaman menikmati dunia gelap. Kita telah belajar mencintai bau busuk. Kita menertawakan koruptor, tapi kita sendiri rebutan bansos. Kita mencaci politikus, tapi menjual suara dengan sembako. Kita ingin perubahan, tapi takut kehilangan kenyamanan.

Kita takut terang. Karena terang menelanjangi. Terang menuntut pertanggungjawaban. Terang menunjukkan luka. Maka kita memilih tinggal dalam kabut. Dalam nyaman yang palsu. Dalam damai yang dibeli dari ketakutan.

Mungkin kita butuh ledakan. Mungkin kita butuh gerakan spiritual yang meruntuhkan tembok apatisme dan membuka kembali jendela kesadaran. Bukan revolusi beringas. Tapi revolusi batin. Gerakan diam yang kuat. Sunyi yang mengguncang.

Kita perlu kembali bertanya: siapakah sejatinya “rakyat”? Apakah rakyat hanya berarti jumlah terbanyak yang bisa digiring? Atau rakyat adalah kumpulan manusia yang merdeka jiwanya, sadar akalnya, dan tangguh moralnya?

Jangan-jangan selama ini kita bukan kekurangan pemimpin. Tapi kekurangan rakyat yang benar-benar ingin memimpin dirinya sendiri.

Dan jangan-jangan, negeri ini bukan sedang dijajah oleh bangsa lain, tapi oleh ketakutan kita sendiri untuk menatap cahaya dan berjalan di bawah sinarnya.

Maka, bangkitlah. Bukan untuk memberontak, tapi untuk menjadi terang. Bukan untuk menggulingkan, tapi untuk menyinari. Karena satu lilin yang menyala di kegelapan lebih berarti daripada seribu keluhan dalam kegelapan yang sama.[]

Nitiprayan, 06 Juni 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Kapitalisme di Pangkuan Ibu Pertiwi

Kapitalisme di Pangkuan Ibu Pertiwi

Kalau kita mengira kapitalisme itu barang baru — barang impor dari Belanda, Amerika, atau paket kiriman dari IMF — maka itu artinya kita sedang melupakan nenek moyang kita sendiri.

Toto Rahardjo
Toto Rahardjo

Topik