CakNun.com

Gerimis Mengiringi Perjalanan Pulang Yoga Bagus Wirawan

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 3 menit
Foto: Adin (Dok. Progress)

Selasa kemarin, 3 Juni 2025, langit tidak sedang menangis. Tapi gerimis itu seperti doa-doa halus yang turun diam-diam, mengiringi perjalanan pulang seorang saudara kita, teman seperjalanan, Yoga Bagus Wirawan. Saya ikut nguntapke, menemani dari rumah duka — semua kembali memeluk tanah. Ini bukan sekadar upacara, ini bukan hanya rutinitas perpisahan. Ini adalah ziarah batin, di mana kita menyentuh makna hidup dan mati, dalam diam yang basah oleh rintik-rintik kasih semesta.

Di rumah duka, sahabat kita pak Nevi Budianto menyampaikan sambutan mewakili Keluarga Maiyah, KiaiKanjeng, Letto, dan PROGRESS. Kata-kata beliau bukan hanya ungkapan belasungkawa, tapi seperti pintu yang dibuka agar kita masuk ke ruang kenangan bersama Yoga — orang yang tidak pernah tampil mencolok, tetapi kehadirannya selalu menguatkan. Seperti udara, seperti bayang yang menyertai tapi tidak pernah minta dilihat.

Kemudian kami sholatkan jenazah di masjid. Masjid itu penuh orang-orang yang wajahnya menyimpan luka dan cinta yang tak sempat diucapkan. Banyak kerabat Maiyah hadir, seperti semut yang tahu gula duka. Mereka datang dengan doa, dengan ingatan, dengan air mata yang mungkin tidak jatuh, tapi menggenang dalam batin masing-masing.

Pemakaman berlangsung dalam gerimis yang seolah tahu caranya berbicara tanpa suara. Langit ikut mendoakan, tanah membuka diri. Sebuah upacara alam dan manusia yang tak tertulis dalam tata cara protokol resmi, tapi sah di mata kasih sayang. Tidak ada tangisan meraung-raung, tapi kesunyian yang berisik dalam dada.

Saya tidak tahu mengapa kematian selalu lebih fasih mengajar kita tentang kehidupan. Yoga Bagus Wirawan, mungkin sekarang baru kita sadari betapa besar bagian hidup kita yang disentuhnya. Mungkin ia pergi dengan membawa rahasia — rahasia tentang bagaimana mencintai tanpa banyak berkata, bekerja tanpa banyak bicara, hadir tanpa minta tempat.

Hari itu saya belajar lagi, bahwa gerimis bukan hanya cuaca, tapi juga bahasa. Dan kematian bukan hanya akhir, tapi juga tanda baca yang membuat kita berhenti sejenak untuk merenungi paragraf hidup kita yang kadang terlalu tergesa.

Yoga, selamat jalan. Kami terus berjalan, tapi bayanganmu akan tetap menyertai setiap langkah yang ingin kami ayunkan menuju kebenaran dan cinta.

Ada hal yang perlu diperhatikan dari pola kehidupan kita yang memang tidak teratur, yakni tentang kesehatan kita apalagi yang usia sudah menginjak kepala 4, 5 apalagi 6 penting untuk memperhatikan tensi, kolestrol, asam urat dan kadar gula.

Kita ini, manusia Maiyah, manusia yang hidup dalam putaran tidak tentu. Hari-harinya kadang seperti benang kusut, bukan karena niat buruk, tapi karena cinta yang terlalu luas jangkauannya. Kita ini sering lupa pulang, bukan karena tak punya rumah, tapi karena terlalu sibuk membawakan pulang untuk orang lain.

Namun ada satu hal yang tidak boleh luput kita rawat: tubuh kita sendiri. Tubuh bukan sekadar alat. Ia bukan sekadar kendaraan. Ia adalah sahabat yang paling jujur. Ia tidak pernah bohong. Kalau capek, ya capek. Kalau rusak, ya rusak. Kalau sudah waktunya istirahat, ia akan merebahkan kita, entah kita mau atau tidak.

Dan ketika usia sudah melewati kepala empat, lalu menyusuri jalan di kepala lima dan enam, kita tidak bisa terus bertingkah seperti anak muda yang merasa waktu masih panjang. Yang merasa tubuh ini bisa menanggung apa pun.

Padahal tensi darah kita mulai bicara dalam bahasa sendiri. Kolesterol mulai naik diam-diam seperti maling halus. Gula darah bukan lagi urusan camilan sore, tapi bisa jadi penentu umur kita berapa lama lagi. Kita ini seringkali baru sadar pentingnya menjaga ketika tubuh sudah memberi peringatan. Dan sayangnya, peringatan tubuh itu bukan seperti peringatan Satpol PP yang bisa dinegosiasi. Kalau sudah stroke, kalau sudah komplikasi, tidak ada rapat rutin yang bisa menyembuhkan.

Kita ini kadang terlalu dermawan kepada orang lain, tapi pelit kepada diri sendiri. Terlalu peduli pada urusan umat, tapi abai pada urusan lambung sendiri. Kita mementingkan sholat jamaah, pengajian, diskusi, tapi lupa cek tensi. Kita bisa khusyuk menyimak syair-syair maqam, tapi tidak pernah mengecek kolesterol sejak lebaran tahun lalu.

Padahal menjaga kesehatan itu juga bagian dari tauhid. Bagian dari bersyukur. Karena bagaimana mungkin kita bisa terus melayani, menyapa, memeluk saudara-saudara kita kalau tubuh kita sendiri tidak lagi bisa diajak bergerak?

Maka mari, pelan-pelan, kita mulai belajar taat pada tubuh. Bukan dalam arti memanjakannya berlebihan, tapi menaruh perhatian padanya seperti kita memperhatikan nasib kaum kecil. Minum air putih seperti berdoa. Tidur cukup seperti bersujud. Mengurangi garam dan gula seperti mengurangi riya dan amarah.

Karena siapa tahu, dalam tensi yang stabil dan kolesterol yang terjaga, ada barakah hidup yang tak terlihat. Tubuh kita bukan milik kita. Ia titipan. Dan setiap titipan harus dikembalikan dalam keadaan baik.[]

Nitiprayan, 4 Juni 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Kapitalisme di Pangkuan Ibu Pertiwi

Kapitalisme di Pangkuan Ibu Pertiwi

Kalau kita mengira kapitalisme itu barang baru — barang impor dari Belanda, Amerika, atau paket kiriman dari IMF — maka itu artinya kita sedang melupakan nenek moyang kita sendiri.

Toto Rahardjo
Toto Rahardjo

Topik