Dari Athena ke Madinah: Akar Demokrasi dan Sintesis Peradaban dalam Lahirnya Islam


Ketika Plato menuliskan Republic pada abad ke-4 SM, ia sedang menggambarkan sebuah keresahan terhadap kemunduran moral dan politik Athena, kota-negara (city-state) yang menjadi pionir lahirnya demokrasi dan konstitusi pertama dalam sejarah manusia. Athena kala itu sedang mengalami guncangan hebat: rakyat lelah terhadap kekuasaan para oligark dan para tiran yang memperkaya diri, sementara kaum miskin dan budak terus menderita.
Plato tidak serta-merta mendewakan demokrasi. Ia bahkan mencurigai potensi demokrasi untuk berubah menjadi tirani massa. Namun, satu hal yang penting: ia menyadari bahwa sistem politik harus disusun demi keadilan, terutama bagi mereka yang lemah. Gagasan tentang konstitusi sebagai bentuk kesepakatan bersama untuk menahan kekuasaan absolut dan membagi hak kepada warga adalah warisan Athena yang penting. Di sinilah benih dari sistem kota yang berpijak pada hukum dan partisipasi mulai tumbuh.
Yang menarik, sembilan abad kemudian dan ribuan kilometer jauhnya, lahir sebuah kota baru — Madinah — yang juga dibangun atas dasar konstitusi: Piagam Madinah. Kota ini menjadi pusat peradaban Islam pertama, dan secara mengejutkan, memiliki banyak kemiripan dengan idealisme demokrasi ala Athena.
Madinah: Anti-tesis Mekah, dan City-State dengan Konstitusi
Madinah dibentuk oleh Nabi Muhammad bukan hanya sebagai tempat perlindungan, tetapi sebagai city-state yang lahir dari perjanjian antara berbagai komunitas: Muslim, Yahudi, dan kaum pagan lokal. Mekah, pada masa itu, adalah simbol kekuasaan oligarki Quraisy yang menguasai perdagangan dan menghimpit masyarakat bawah.
Piagam Madinah bukan sekadar dokumen religius, tapi konstitusi politik. Ia menetapkan hak dan kewajiban seluruh komunitas, perlindungan terhadap kelompok lemah, serta prinsip kolektif untuk mempertahankan keadilan dan perdamaian bersama. Inilah bentuk konkret dari peradaban yang tidak hanya berakar pada wahyu, tetapi juga pada kesadaran historis dan sosial-politik yang universal.
Islam: Sintesis Puncak Peradaban Manusia
Sering kali Islam hanya dipahami sebagai kelanjutan dari agama-agama langit sebelumnya — Yahudi dan Kristen. Padahal, jika kita melihat lebih dalam, Islam juga lahir dalam konteks sejarah peradaban global. Bahasa Arab sendiri, yang menjadi medium Al-Qur’an, baru benar-benar berkembang pada abad ke-4 Masehi. Ia menyerap banyak unsur dari bahasa-bahasa besar: Latin, Aramaik, Persia, dan Yunani.
Kata-kata dalam Al-Qur’an seperti insan, hikmah, ‘adl, atau siyasah, menunjukkan pengaruh lintas budaya yang begitu kuat. Bahkan istilah umma dan konsep kepemimpinan dalam Islam sangat mungkin dipengaruhi oleh cara pandang komunitas-komunitas pra-Islam, termasuk tradisi politik Persia dan Byzantium, yang sudah lama mengenal gagasan hukum dan komunitas warga negara.
Maka, tidaklah berlebihan jika kita mengatakan bahwa Islam adalah sintesis dari puncak-puncak nilai peradaban manusia, yang kemudian dimurnikan melalui wahyu untuk membentuk kerangka keadilan yang bersifat transhistoris dan universal.
Athena dan Madinah: Konstitusi demi Keadilan
Apa yang menyatukan Athena dan Madinah sebagai city-state? Jawabannya adalah misi moral dan politis untuk melawan tirani. Athena melawan oligarki yang menindas rakyatnya melalui partisipasi warga dan sistem hukum. Madinah melawan kekuasaan Quraisy dengan membangun komunitas berbasis kesetaraan dan solidaritas. Keduanya menjadikan konstitusi sebagai alat untuk mendistribusikan kekuasaan, bukan mengkonsentrasikannya.
Namun sayangnya, misi asli demokrasi ini telah terdistorsi dalam era modern. Demokrasi kini seringkali direduksi menjadi alat governability—kemampuan negara untuk “mengatur” masyarakat. Tapi kata “mengatur” di sini lebih sering berarti mengendalikan, bahkan menindas. Partisipasi rakyat berubah menjadi prosedur lima tahunan. Konstitusi jadi alat kuasa, bukan penahan kuasa.
Islam Nusantara sebagai Cermin
Fenomena Islam Nusantara memperlihatkan bahwa agama langit, seperti Islam, terus hidup dalam dialektika sejarah dan budaya. Nilai-nilainya tidak statis. Ia menyerap, menyesuaikan, dan memberi ruh baru bagi tradisi lokal. Sebagaimana Madinah menyerap semangat konstitusional Yunani untuk membebaskan rakyatnya dari penindasan, demikian pula Islam di Nusantara menyerap adat dan kearifan lokal untuk menjadi agama yang membebaskan.
Sejarah ini menunjukkan satu hal penting: bahwa keadilan sosial dan perlindungan bagi yang lemah bukanlah monopoli Barat atau Timur, bukan milik Yunani atau Arab. Ia adalah milik manusia, dan semua peradaban besar, termasuk Islam, selalu lahir untuk menjaga nyala api keadilan itu tetap hidup.[]
Nitiprayan, 3 Mei 2025