CakNun.com

Petualangan Menemukan “Yang Lain”

Padhangmbulan edisi November 2024
Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 3 menit
Padhangmbulan edisi November 2024

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya habislah lautan itu sebelum kalimat-kalimat Tuhanku selesai (ditulis) meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”
(Q.S. Al-Kahfi: 109)

Ketika kita membaca teks, kita tidak sekadar melihat huruf-huruf yang tersusun, kata-kata yang berderet, dan kalimat-kalimat yang berjajar. Kita juga berusaha mencari makna yang tersembunyi di baliknya. Kita berjuang menyibak belantara, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, untuk menemukan sesuatu “yang lain”, yakni makna di balik semua itu.

Bahkan ketika kita merasa telah memahami makna tersebut, sering kali kita menemukan lapisan-lapisan makna lain yang belum terungkap. Terdapat sisi-sisi makna yang luput untuk ditangkap. Juga ada dimensi makna yang belum sepenuhnya dipahami. Hal ini mengingatkan kita pada paradoks ciptaan Tuhan: terbatas dalam wujud, tetapi tak terbatas dalam esensi.

QS. Al-Kahfi 109 membuka ruang interaksi yang kompleks antara bahasa, makna, dan interpretasi melalui permainan tanda (signifier). “Lautan” dan “tinta” tidak sekadar sebagai objek material (signifier), melainkan simpul-simpul makna (signified) yang terus bergerak dan berubah. Setiap kali kita mencoba menetapkan makna, tanda-tanda itu justru mengalir, tergelincir, dan menghindari kepastian.

“Lautan” misalnya, bukanlah sekadar massa air, melainkan metafora ketidakterbatasan. “Tinta” bukan sekadar cairan, tetapi representasi dari proses penciptaan makna. Keduanya berinteraksi dalam dinamika yang tak dapat diprediksi.

Signified bergerak seperti gelombang di lautan: selalu berubah, tidak pernah stabil, selalu dalam proses menjadi. Makna tidak pernah final—ia selalu dalam perjalanan. Setiap pembaca menghasilkan jejak makna yang berbeda. Seorang penyair akan membaca QS. Al-Kahfi 109 sebagai puisi tentang kreativitas. Seorang filosof akan melihatnya sebagai pernyataan epistemologi. Seorang sufi akan menangkapnya sebagai isyarat transendental.

Pengalaman dalam hidup sehari-hari pun tidak jauh berbeda. Ketika kita bertemu dengan seseorang, ada “yang lain” yang menyelimuti pertemuan itu. Begitu pula saat kita menghadapi kesulitan, tantangan, hambatan, ada “yang lain” yang tersembunyi di balik ujian itu. Setiap peristiwa yang kita alami memiliki “yang lain”—dimensi makna yang lapisan kedalaman dan cakrawala keluasannya tidak terhingga.

“Yang lain” ini senantiasa memanggil kita untuk terus mencari, menemukan, dan memaknai. Ia tidak pernah habis untuk dijelajahi, tidak pernah selesai untuk dibaca, tidak pernah tuntas untuk diselami—mirip dengan kehadiran Tuhan yang tak pernah sepenuhnya dapat dipahami, tetapi selalu bisa dirasakan dalam hati.

Dalam perspektif decentering makna—melihat makna dari berbagai perspektif—QS. Al Kahfi 109 adalah manifesto pembebasan dari tirani penafsiran tunggal. Selama makna masih berada dalam wilayah penafsiran—dan akan selalu berada dalam wilayah penafsiran—tidak ada tafsir mutlak. Monopoli dan dominasi penafsiran yang dijejalkan melalui wacana dominan publik sehingga dipaksa menjadi makna tunggal akan tenggelam ditelan gelombang QS. Al Kahfi 109.

Fakta itu juga diungkap melalui paradoks filosof: “Satu-satunya hal yang pasti adalah ketidakpastian.” Atau pernyataan “Saya tahu bahwa saya tidak tahu.” Atau wejangan Mbah Nun: “Puncak pengetahuan adalah ketidaktahuan.” Setiap kata menjadi pengakuan sekaligus penolakan.

QS. Al Kahfir 109 tidak mencoba menyelesaikan kontradiksi itu, melainkan menghadirkannya sebagai ruang tak terbatas bagi pengalaman intelektual-spiritual. Ia mengundang aku, Anda, dan kita semua untuk masuk ke dalam ruang di mana logika berhadapan dengan relativitas, makna bergetar dan mengalir dalam ketidakpastian, dan kesadaran spiritual tunduk sujud di hadapan Ilmu-Nya yang Maha Tak Terbatas.

Hidup yang kita jalani menjadi petualangan makna yang tak pernah mencapai garis finis. Waktu yang terus mengalir membawa peluang baru untuk menemukan “yang lain” dalam setiap pengalaman yang kita jumpai. Kita sambut setiap momen dengan waspada, rasa ingin tahu, dan rasa syukur karena di balik setiap kejadian selalu ada makna yang menunggu untuk ditemukan.

Kita juga akan mencari dan menemukan “yang lain” melalui Sinau Bareng dalam Pengajian Padhangmbulan pada Sabtu, 16 Nopember 2024 di desa Mentoro Sumobito Jombang, pukul 20.00 sampai selesai.

Jombang, 13 Nopember 2024

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Topik