CakNun.com

Pendidikan Investasi Peradaban

Photo by Jess Yuwono on Unsplash

Sepertinya ini adalah tulisan pertama yang saya beri judul duluan, baru saya menulis isinya. Simpel saja alasannya, ndhak keburu lupa.

Cukup menggelitik, sebuah baliho cukup besar, terletak di pojokan Fakultas Teknik sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta. Bertuliskan ‘Pendidikan Investasi Peradaban’. Karena baliho itu terletak di kawasan Perguruan Tinggi, saya coba menguak apa yang terjadi dengan pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi (PT).

Kita bisa bahas dari sudut mana saja makna dari tulisan tersebut. Salah satunya adalah kewajiban Negara yang HARUS ‘Mencerdaskan kehidupan bangsa’. Kewajiban negara ini adalah amanah konstitusi, dan bagi rakyat memperoleh pendidikan yang layak adalah sebuah hak.

Makin maraknya perguruan tinggi yang muncul, atau bahkan prodi baru yang bermunculan di sebuah PT, menandakan bahwa PT ini merupakan lahan bisnis, di tengah kehidupan kita yang makin kapitalistik.

Bukan tanpa alasan saya menyorot alasan tersebut. Kemarin saya ngobrol dengan kawan-kawan di kota Malang. Mereka bercerita, bahwa Malang ini sebuah kota kecil, tetapi mempunyai banyak Fakultas Kedokteran (FK), 3 di antaranya adalah FK yang baru saja berdiri.

Saya membelalakkan mata di hadapan Sony dan Mas Santo, dua kawan saya.

“Bener, Pak… Di sini ini sekarang ada 6 buah FK!” kata mas Santo, yang diiyakan oleh Sony. Kebetulan saya sedang berada di Malang untuk urusan Perjanjian Kerja Sama penelitian dengan teman-teman dari Malang.

“Lalu… Apakah jumlah dosennya cukup?’ tanya saya.

”Lha itu…,” jawab Sony.

”Lalu apakah lahan tempat mereka praktek, sebelum bener-bener jadi dokter (baca: Rumah Sakit yang memadai) tersedia dalam jumlah yang cukup?” lanjut saya nyerocos.

Belum sempat Sony menjawab, saya bombardir lagi dengan pertanyaan,“ kata — CUKUP — bukan hanya jumlah lho Son…, apakah para pendidik calon dokter tersebut qualified dalam bidangnya? Skillnya, pengetahuannya, moralnya, etikanya.

Ini tidak main-main lho.Tidak sekadar mendirikan sebuah perguruan tinggi, kemudian memberi sertifikat profesi bagi mereka yng sudah lulus lho. Ini urusannya dengan nyawa manusia.”

Tidak menjawab pertanyaan malah Sony menambahi informasi, ”Bukan hanya itu, sekarang ini Institut Teknik juga ikut-ikutan bikin FK, tau nggak?”

Saya semakin membelalakkan mata sambil setengah teriak, “Haaaaaaaaaaaaahhhhh.”

“Jangan terkejut, Pak, ini adalah kasunyatan yang kita hadapi,” kata Sony.

Bahkan menurut ceritanya sebagai upaya menarik animo masyarakat, perguruan tersebut memberi iming-iming ‘bisa masuk tanpa tes!’.

Saya terdiam agak lama, membayangkan apa yang akan terjadi pada bangsa ini kelak nantinya. Tapi saya belum mempercayainya, mosok ono ta mlebu sekolah tanpa tes… Opo maneh mlebu FK…

Pikiran saya berkelana, mengembara kesana-kemari. Termasuk tentang iming-iming tadi.

“Son…,” kata saya, “Apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini?” Menyiapkan sebuah profesi luhur butuh suatu piranti yang lengkap. Kita mesti menyiapkan wadahnya dan juga isinya.

Tidak sekadar memenuhi kebutuhan dokter, yang katanya di negara kita masih kekurangan dokter, terus berame-rame mencetak dokter dengan membuka prodi dokter di mana-mana. Mbok ya dianalisis dulu di lapangan. Masalahnya di jumlah dokter atau pada distribusinya? Lha dokter numpuk di kota kota besar di Jawa, sedangkan di Sulawesi, Ambon, Papua, dan daerah lain di luar jawa masih kekurangan tenaga ini.

Padahal untuk sekolah di FK pasti sangat mahal sekarang. Bagi negara dan bangsa, memandang pendidikan sebagai sebuah beban (cost) saya tidak sependapat. Pendidikan (dan juga kesehatan) mestinya diperlakukan sebagai sebuah investasi. Sehingga kalau Negara sudah berinvestasi pada pendidikan (baca: Kedokteran) maka masalah distribusi sangat bisa diatur oleh negara. Tetapi kenapa masalah distribusi ini ‘tidak mampu’ diselesaikan oleh bapak-bapak di sana?

Saya gagal paham dalam hal ini.

Yogya, 2-5 Feb 2024

Lainnya

Momentum dan Kontra Momentum

Momentum dan Kontra Momentum

Saya selalu terbengong-bengong melihat bagaimana Kang Jakfar, Kang Jayani, dan Kang Rahardjo bisa dengan mudah mengelak dari serangan jurus muridnya.

Ojo Gelut Rek!

Ojo Gelut Rek!

Pemilu sebentar lagi selesai. Pertengkaran dan caci maki berangsur-angsur mereda.