Pena, Tinta, dan Kertas Pilpres
Anis Muhaimin, Prabowo Gibran, Ganjar Mahfud, Jokowi, Megawati, politik, pilpres, 14 Pebruari, MK, MKMK, KPU, DKPP, politik, kotak katik etika, dinasti, kampanye, debat, kecurangan, kolusi, korupsi, nepotisme, IKN, medsos, surpa surpe, harga-harga naik, pajak naik, bansos, curah hujan turun, gunung-gunung meletus, perang, Gaza, Israel, Palestina, Ukraina, Rusia, demonstrasi global, perang dunia ketiga, ancaman krisis dunia, ini itu, di sini di sana, aku, engkau, kita dan mereka.
Kalau kita katakan semua itu adalah pusaran-pusaran, mainstream, waves, gejolak, dinamika, ledakan-ledakan maka demikianlah halnya. Tapi jika diganti cara pandang bahwa kesemuanya itu adalah huruf-huruf yang tertata, naik lagi menjadi kata-kata yang berbaris, naik lagi menjadi kalimat-kalimat yang tersusun kemudian berhenti bahwa kesemuanya itu adalah tinta-tinta maka kita hanya memandang kepada yang satu saja yaitu tinta. Tinta yang selalu tunduk pada gerakan Pena yang dijalani sebagai sesuatu yang sudah, sedang dan akan ditulis di kertas waktu.
Gelaran pilpres akan dilaksanakan dalam hitungan hari, semua stakeholder bersiap bertarung dan bertaruh, konstituen pun sudah punya pilihannya. Sebuah gelaran mesin bangsa yang dipacu dengan kecepatan tinggi dan menguras banyak energi. Pemimpin yang akan datang akan mempengaruhi kehidupan berbangsa lima tahun ke depan, kesalahan dalam pilihan berakibat pada kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan hidup dan hankam. Jika pemimpin terpilih salah kelola dampaknya rakyat yang akan menanggung. Dan siapa saja yang mencoblos pemimpin yang salah maka ada kontribusi kezaliman kepada diri, keluarga, tetangga dan bangsa. Semua kontribusi baik maupun buruk seberapa besar kecilnya memiliki konsekuensi masing-masing.
Tidaklah mudah menentukan pilihan karena kita hanya tahu dari media, pas kampanye, papasan atau ketemu saja mungkin belum pernah, padahal citra bisa dimanipulasi. Ada rumusan, kalau tidak ada yang terbaik pilihlah yang paling sedikit keburukannya. Setelah berhitung, mempertimbangkan dan merasakan ada baiknya kita pause sejenak sebelum mencoblos. Ingar-bingar pilpres bisa memburamkan penglihatan akan sebuah petunjuk, padahal kita tidak tahu akan landing di taman yang indah ataukah jurang yang dalam.
Ada baiknya rehat sejenak dan meniatkan memilih untuk kepentingan orang lain, bukan memilih untuk menang atau mengalahkan orang lain. Menyedekahkan diri satu hari, satu jam, atau setidaknya 10 menit saja untuk kepentingan orang banyak, setelah berpuluh-puluh tahun diri kita hanya untuk kepentingan diri kita.
Berhenti sejenak, menggulung pengaruh-pengaruh, stimulan-stimulan, prasangka-prasangka, pengetahuan-pengetahuan, informasi-informasi apapun dan memandang kesemuanya itu adalah tinta-tinta yang ditorehkan zaman. Sembari menekuk lidah ke langit-langit mulut, melemaskan otot leher, pundak, wajah dan seluruh tubuh kemudian memandang diri kita juga adalah tinta-tinta-Nya, diiringi nafas-nafas menerima dan mengikhlaskan. Mengisinya dengan kalimat-kalimat mulia, menghayati cinta dan kasih sayang sesama sehingga muncul rasa takut dan harap, memilih karena takut pilihan kita salah dan akan merugikan banyak orang, harap akan seorang pemimpin yang benar-benar bisa setidaknya meminimalkan keburukan-keburukan, syukur-syukur bisa membawa kebaikan dan kemuliaan bagi bangsa, kecuali Tuhan punya skenario lain.
Banyon Klaten, 10 Februari 2024