Guk Nun, Cak Nun, Mbah Nun
Di Lapangan terbuka Moloku Kie Raha, Ternate, Maluku Utara, Oktober 2011, Kesultanan Ternate, Sultan Mudaffar Sjah memberi gelar kehormatan Mbah Nun dengan gelar Ngai Ma Dodera — pohon rindang tempat burung-burung. Dan Mbah Nun sangat berterima kasih atas apresiasinya.
Sesungguhnya Mbah Nun sendiri melepaskan semua atribut yang disematkan. Selalu menyebut dirinya bukan Ulama, bukan Ustadz, bukan Kyai, bukan Habib, apalagi Gus. Bapaknya, Muhammad Lathif sebagai guru ngaji di desanya. Tidak ada tradisi panggilan Gus dalam keluarganya. Panggilan Gus juga tidak dikenal dalam bermaiyah.
Yang ditanamkan Mbah Nun adalah nilai-nilai Maiyah, prilaku Nadjibiyah: menebarkan cinta, berendah hati, khusnudzon terhadap Allah, tidak menghakimi liyan. Warisan-warisan tersebutlah yang perlu kita pegang sebagai peniti jalan kehidupan.
Para pewaris nilai-nilai maiyah Mbah Nun perlu ber-sami’na wa atha’na. Mengikuti apa yang diajarkan Mbah Nun.
Markesot misalnya, yang menjadi tokoh dalam tulisan-tulisan Mbah Nun di Surabaya Post “Markesot Bertutur”, adalah kawan bermain di desanya. Namanya Nuchin, sehingga Mbah Nun memanggilnya Guk Nuchin. Mbah Nun sendiri, beberapa kawan yang lain memanggil dengan jeneng Guk Nun.
Guk, panggilan semacam Kang di Jawa Tengah atau Jawa Barat. Lebih ndeso dari pada panggilan Cak atau Mas.
Pada periode Yogyakarta, Mbah Nun memperkenalkan dirinya sebagai Emha Ainun Nadjib. Penulis muda yang sangat produktif: penyair yang menulis puisi, naskah drama dan artikel atau kolom-kolom di media. Sehingga media pun menyebut sebagai “Emha”, di kalangan kawan-kawan pergaulan, memanggilnya dengan “Em.” Hanya orang-orang terdekatnya yang mengenalnya sebagai “Cak Nun.”
Sebenarnya panggilan Gus, atau Ning untuk wanita, dikenal di sebatas kalangan pesantren, terbatas hanya untuk anak turunannya kyai. Tidak semua orang mendapatkan gelar kehormatan itu.
Jombang, sebagai kota yang melahirkan tokoh-tokoh nasional, tempat lahirnya Nahdlatul Ulama, berdiri puluhan lembaga pendidikan pesantren tradisional. Sehingga di wilayah ini sebutan panggilan Gus sangat jamak.
Namun agak berbeda di sebuah desa ke arah utara dari Peterongan, kurang lebih 10 km, yaitu Desa Menturo, Kecamatan Sumobito.
Desa Menturo dikelilingi hamparan sawah yang meluas. Masyarakatnya berbaur dalam praktek-praktek keagamaan, antara tradisi Nahdliyyin dan Muhammadiyah. Semarak baca salawat barzanji dengan terbangan. Kenduren atas undangan tetangga, slametan tahlilan. Adalah hal yang biasa.
Pada sebuah rumah yang dikelilingi pohon-pohon rimbun, di depannya ada langgar, anak-anak kecil belajar mengaji. Orang-orang dewasa ikut menjalankan salat magrib dan isya berjamaah. Guru Ngaji memanggil salah seorang anak kecil untuk membaca Al Quran. Anak kecil itu maju dan membaca salah satu ayat dengan gaya qiroah. Barangkali karena pada tarikan awal cara membacanya tidak mengambil nafas dahulu, sehingga tercekat, terputus dalam membacanya. Tidak selesai. Guru ngaji yang ternyata ayahnya, membopong anaknya melempar keluar jendela. Anak kecil itu Mbah Nun.
Mbah Nun sejak kecil tidak dipanggil Gus oleh orang-orang di kampungnya. Ayahnya, tidak pula dipanggil kyai.
Bangga terhadap panggilan Guk, kemudian Cak dan sekarang Mbah. []