Cakrawala Anallah: Mencari Diri dalam Cakrawala Kehidupan
Pencarian Makna yang Tak Berujung
“Cakrawala” adalah kata yang begitu indah, tetapi sepertinya sangat jarang kita gunakan dalam percakapan sehari-hari. Saking indahnya, mungkin kita lebih sering menjumpai kata cakrawala dalam konteks kesusastraan. Di balik keindahan kata cakrawala, ia menyimpan makna yang begitu mendalam. Secara etimologi, cakrawala berasal dari kata cakravala dari Bahasa Sansekerta yang berarti lengkung langit. Dalam Bahasa Indonesia, cakrawala berarti sudut pertemuan langit dan bumi.
Meskipun cakrawala didefiniskan sebagai pertemuan langit dan bumi, sebenarnya langit dan bumi hanya terlihat bertemu saja karena keduanya hanya akan bertemu di hari kiamat. Kata cakrawala itu sendiri menuntun kita untuk mendekatkan sesuatu yang tidak pernah bisa bertemu. Sama dengan kalam Allah yang sering kali diibaratkan sebagai samudra yang tak bertepi sehingga mustahil bagi manusia untuk sepenuhnya memahaminya secara menyeluruh. Namun, seperti halnya kita berusaha mendekati cakrawala, kita juga harus terus berusaha untuk mendekati makna kalam Allah. Proses ini adalah sebuah perjalanan tanpa akhir, di mana manusia terus berusaha untuk memahami kalam Allah. Meskipun pemahaman sempurna dan utuh mungkin tidak pernah tercapai, upaya ini akan membawa kita pada kedamaian batin dan kebahagiaan sejati.
Manusia sering dihadapkan pada pertanyaan mendasar: siapa aku, dari mana aku berasal, dan ke mana aku akan pergi? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar upaya intelektual, melainkan perjalanan yang berakar pada pengenalan diri. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita bisa menggali tugas manusia yang sudah disampaikan Allah dalam Surat Al-Baqarah: 40, Innii jaa’ilun fil ardhi khalifah, yang menegaskan tugas manusia sebagai khalifah di bumi. Allah telah memilih manusia untuk mengelola bumi dan segala isinya.
Sebagai pembuka diskusi, Mas Pram mentadabburi ayat tersebut dan dihubungkan dengan filosofi aksara jawa. Bahwasanya, sebagaimana disebutkan dalam aksara Jawa, Hanacaraka yang berarti ada utusan. Manusia adalah utusan Allah untuk menjadi khalifah di bumi. Sebagai khalifah, manusia harus Datasawala, memiliki kewajiban untuk mematuhi perintah Allah dan pasrah terhadap ketentuan Allah. Dengan itu, maka manusia akan mencapai Padha Jayanya, mencapai harmoni dengan Allah melalui ridho dua arah, dari manusia ke Allah dan Allah ke manusia. Sedangkan action item yang diperlukan untuk mencapai harmoni tersebut diterangkan di Maga Batanga, manusia harus mematikan hawa nafsu dan egonya.
Untuk menentukan parameter khalifah yang baik, kita perlu menggabungkan pemahaman tentang peran khalifah sebagai wakil Allah di bumi dengan prinsip mengenal diri sendiri. Sebagaimana dikatakan dalam tradisi Islam, Man ’arafa nafsahu faqad arafa rabbahu yang berarti barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya. Seorang khalifah yang baik adalah mereka yang memahami dirinya sendiri. Dengan mengenal potensi dan kelemahan diri, seorang khalifah dapat memahami perannya di dunia dan lebih baik lagi mengenal Allah.
Mengenal diri bukan hanya menyadari keberadaan fisik, tetapi juga menyelami hakikat ruhani, yang menjadi jalan menuju kebijaksanaan. Di awal diskusi Mas Pram memaparkan filosofi “wadah dan isi” dalam budaya Jawa yang menjadi refleksi mendalam tentang hakikat manusia: jasad hanyalah wadah, sedangkan ruh adalah inti keberadaan. Untuk menebalkan konsep mengenali diri, Mas Pram juga menyampaikan tentang filosofi kelahiran manusia yang dibagi menjadi tiga tahap: kalahiran jati (fisik), sarwa budi (batin), dan kaluhuran jati (ihsan).
Setelah melewati proses mengenal diri secara fisik dan batin, manusia memasuki tahap kaluhuran jati. Pada tahap ini, manusia mulai mencari pemaknaan tentang sangkan paraning dumadi, asal dan tujuan hidup manusia. Dalam proses pencarian itu, manusia akan berusaha untuk selalu berbuat baik karena merasa diawasi oleh Tuhan dalam setiap tindakannya. Dengan kata lain, kaluhuran jati adalah puncak dari perjalanan spiritual seseorang, di mana manusia hidup dalam kesadaran akan kehadiran Tuhan. Semakin dekat seseorang dengan Tuhan, semakin terang cahaya batin yang dimiliki. Cahaya batin ini yang nantinya akan menjadi kompas yang memandu manusia dalam menjalani hidup.