Artifisial Indonesia, Menuju Ke Arah Yang Baik Atau Buruk?
Kenduri Cinta edisi September 2024 mengangkat tema “Artifisial Indonesia”. Hampir pasti, ketika muncul judul ini yang terlintas pertama kali adalah Artificial Intelligence. AI memang sedang menjadi topik yang hangat dalam beberapa tahun ini, bahkan mungkin dalam beberapa tahun kedepan pun masih akan menjadi topik yang terus dibicarakan. Sebagai teknologi, AI ini memang menjadi salah satu tantangan seluruh bangsa di dunia. Sederhananya, dalam AI sebuah kecerdasan itu bisa dilatih, bisa dikembangkan, dan bisa diorganisir. Seberapa jauh manusia yang memanfaatkan AI itu berhasil melatih, mensuplai data, hingga membuat teknologi semakin pintar dari hari ke hari.
Begitulah seharusnya Artifisial Indonesia. Semakin hari, Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara juga sudah sewajarnya berkembang dan melangkah maju ke arah yang lebih baik. Bangsa ini tidak kurang talenta-talenta terbaik di berbagai bidang dan sangat mampu mengurusi semua hal yang dibutuhkan untuk mengantarkan bangsa Indonesia ini menuju bahkan sampai di peradaban yang lebih baik dari apa yang kita rasakan hari ini. Sebagai masyarakat kota, kita yang tinggal di Jakarta mungkin merasakan betapa mudahnya akses-akses di berbagai bidang. Akses informasi, akses pendidikan, akses kesehatan, akses hiburan dan lain sebagainya. Namun, jika kita melihat ke daerah-daerah yang jauh dari Jakarta, kita akan menemukan fakta bahwa mereka tidak memiliki kemudahan yang kita rasakan di Jakarta. Ada ketimpangan sosial yang sangat jelas. Hal ini semakin membuktikan fakta bahwa kebijakan pemerintah tidak benar-benar diimplementasikan secara merata, sehingga sila kelima Pancasila pun jauh dari harapan untuk terwujud.
Memahami Batas Manusia
Tri Mulyana malam itu mengawali sesi awal diskusi di Kenduri Cinta dengan pantikan bahwa manusia memang harus memahami batas dirinya. Seperti yang pernah disampaikan oleh Cak Nun bahwa puncak dari kemerdakaan manusia itu sendiri adalah pengetahuan tentang batas. Artinya, manusia harus mengenali dirinya sendiri, kapan ia harus melangkah, kapan ia harus berhenti. Ada istilah empan papan dalam filosofi jawa. Maksudnya, ada perilaku pada porsi yang tepat, di waktu yang tepat, dilakukan oleh orang yang tepat, sehingga hasilnya adalah manfaat bagi semua orang.
Ian L. Betts malam itu turut merespons bagaimana AI hari ini berkembang. Tentu akan ada sambungannya antara Artificial Intelligence dengan Artifisial Indonesia, sama-sama AI dalam pemaknaan yang berbeda. Ian L. Betts menyatakan bahwa hari ini kita bisa menemukan AI dalam genggaman gadget kita sehari-hari, sebut saja: Chat GPT, Google Gemini, Microsoft Copilot dan masih banyak lagi. Secara teknologi, adanya AI ini bisa sangat membantu kita dalam mencari informasi, namun juga yang perlu disadari bahwa AI itu perlu kita latih. Apakah AI akan mengancam kehidupan manusia? Tidak semengerikan itu sebenarnya. Karena kembali lagi, manusianya sendiri lah yang memegang kendali. AI hanya sebuah teknologi. Karena manusia yang harus memahami batasnya.
Membincangkan kondisi politik dan demokrasi di Indonesia, Ian L. Betts menekankan bahwa negara lain belum sebaik Indonesia dalam berdemokrasi. Indonesia ini sangat beragam. Menurut Ian L. Betts, tidak ada negara lain yang mampu mengakomodir partai politik sebanyak Indonesia ini. Keterlibatan rakyat dalam politik cukup diakomodir. Meskipun memang benar adanya, masih perlu banyak sekali perbaikan dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.
Ian L. Betts kemudian menarik ke sosok Cak Nun, bahwa Cak Nun menemukan batas dirinya saat pasca Reformasi 1998, setelah melengserkan Soeharto, Cak Nun memilih untuk menempuh ”Jalan Sunyi” yang kemudian diamplifikasi dalam gerakan Maiyah. Saat Reformasi 1998 bergulir, Cak Nun ada di lingkaran terdekat kekuasaan, Cak Nun menjadi tokoh sentral yang kemudian turut mengantarkan Soeharto lengser keprabon. Tapi, memang pada kenyataannya Reformasi itu tidak bercita-cita untuk memperbaiki kesalahan yang sudah dilakukan oleh Soeharto, dan akhirnya justru Reformasi melahirkan Soeharto-Seoharto yang baru dan bahkan lebih kejam dari Soeharto era Orde Baru itu.