Artifisial Indonesia, Menuju Ke Arah Yang Baik Atau Buruk?
Indonesia ini sebelumnya tidak ada. Sejarah menuliskan bahwa bangsa ini dijajah oleh bangsa lain, dieksploitasi sumber daya manusia dan hasil buminya. Agaknya terminologi penjajahan itu perlu dikaji ulang, karena yang unik adalah bahwa saat itu, ketika bangsa penjajah datang ke bumi Nusantara ini yang dieksploitasi adalah hasil bumi saja; terutama rempah-rempah dan gula. Pun, andaikan benar mereka melakukan penjajahan, tapi mereka juga membangun infrastruktur yang memadai seperti jalur darat untuk distribusi hasil bumi, termasuk didalamnya juga mereka membangun jalur kereta api. Apakah benar mereka menjajah kita? Pertanyaan yang perlu dikaji kembali untuk menemukan jawaban yang tepat.
1945, setelah sebelumnya berproses Kebangkitan Nasional di tahun 1908, kemudian Sumpah Pemuda di 1928, akhirnya Bung Karno dan Bung Hatta memprolamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Sebuah bangsa yang pada 16 Agustus 1945 itu belum ada, akhirnya di tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi, Indonesia menjadi ada. Maka, Indonesia adalah sebuah artifisial yang dibuat oleh manusia Indonesia di 17 Agustus 1945. Selanjutnya, hingga hari ini, Indonesia yang artifisial ini telah melewati jalan yang panjang, meskipun bagi sebuah bangsa usia 79 tahun belum terlampau tua, namun dalam perjalanan kurang dari 1 abad ini, Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara telah melewati pergolakan zaman yang sangat dinamis. Bergantinya rezim kekuasaan mulai dari orde lama, orde baru, reformasi hingga hari ini bisa disebut sebagai orde pasca reformasi, Indonesia telah melewati berbagai tantangan zaman.
Bergantinya penguasa seharusnya menjadi pondasi keberlanjutan dari cita-cita mulia para pendiri bangsa. Namun, sepertinya dalam rentang waktu 79 tahun setelah Indonesia diproklamirkan tampak tidak ada singkronisasi perencanaan yang berkelanjutan. Setiap rezim penguasa berganti, maka kebijakan pun berganti. Tidak tampak kelegaan hati untuk meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya, yang tampak justru persaingan agar legacy yang ditinggalkan saat berkuasa tampak lebih mentereng dari pendahulunya.
Silang sengkarut persaingan politik antar partai politik serta sayap organisasinya menjadi dinamika yang tak kunjung usai. Kepentingan elit menjadi satu hal yang selau diutamakan dibandingkan kepentingan rakyat, yang pada akhirnya rakyat memang benar-benar hanya menjadi pelengkap penderita. Kehadiran rakyat hanya benar-benar dibutuhkan oleh penguasa pada saat hari pemungutan suara saja. Selebihnya, rakyat hanya menjadi manekin dalam serangkaian seremonial penguasa agar dianggap memikirkan rakyat.
Namun, apakah pemerintah benar-benar mengabaikan rakyat? Tidak juga. Sebenarnya tetap ada kebijakan yang berpihak kepada rakyat, hanya saja harus diakui bahwa prosentasenya masih terlalu kecil jika dibandingkan keberpihakan penguasa terhadap oligarki yang semakin menggerus sumber daya alam Indonesia ini. Berbicara mengenai sumber daya alam yang semakin dieksploitasi ini, sangat berbeda jika dibandingkan saat bangsa Portugis atau Belanda menjajah bangsa ini. Hanya hasil bumi seperti rempah-rempah, palawija, kopi, gula dan lain sebagainya yang mereka eksploitasi, berbeda dengan hari ini ketika oligarki mengeksploitasi sumber daya alam seperti batu bara, nikel, timah dan sumber daya mineral lainnya yang semakin serampangan. Hal ini yang kemudian terlihat gamblang bahwa sangat timpang kondisinya jika dibandingkan dengan kebijakan pemerintah yang berpihak kepada rakyat. Dan meskipun sebentar lagi penguasa akan berganti, kita tidak melihat ada tanda-tanda perbaikan kebijakan menuju ke arah yang lebih baik.