CakNun.com

Plesetan Pak Nevi

Ahmad Syakurun Muzakki
Waktu baca ± 2 menit
Foto: Adin (Dok. Progress).

Apa kabar Mbah Nun? Apa kabar Rumah Maiyah? Apa kabar Tawasulan? Apa kabar teman-teman KiaiKanjeng? Dan apa kabar Indonesia?

Sederet pertanyaan pagi di Whashapp. Saya jawab singkat “Ok Aman. Terus berjalan sebagamana mestinya Pur…”

Itu adalah whashapp dari seorang sahabat lama. Namanya unik : Gempur Soeharto. Saya manggil nya Gem. Kadang si Pur. Tergantung tema yang diobrolkan. Nasionalismenya tinggi: Selalu menanyakan keadaan Indonesia — padahal dia sendiri sedang di Indonesia Timur dan pasti juga tahu tentang kabar Indonesia.

Dulu Ayahnya adalah aktifis militan. Getem-getem nya ke Orde Baru sampai diubun-ubun. Sampai bikin prasasti ditempelkan ke anak lanangnya. Saya membayangkan kalau itu terjadi jaman sekarang. Misalnya memakai nama Sikat Jokowi. Baru urus akte kelahiran sudah langsung digoreng sama Netizen. Saya juga membayangkan apabila ada orang yang sangat kagum dan terkewer-kewer dengan kekuasaan saat ini, lalu menamakan anaknya Muhammad Jilat Jokowi. Bisa dipanggil Ji. Atau Jil. Tapi saya gak yakin sih, tidak ada yang berani semilitan Ayahnya Gempur Soeharto.

***

Kembali ke KiaiKanjeng, rumah Maiyah. Tadi malam bersama empat senior — saya berbincang ringan tentang kahanan. Di awal saya sengaja minta cerita ke mereka tentang perjalanan Mbah Nun di Kadipaten, Malioboro, dan Patangpuluhan. Saya serius menyimak dan mencatat nama-nama teman Mbah Nun “zaman dulu”. Disebut satu-satu oleh Pak Toto. Dilengkapi juga oleh Pak Nevi dan Pak Jokam.

Diceritakan juga tentang dinamika politik persenimanan Jogja. Personalitasnya mereka dari zaman dulu sampai zaman sekarang. Aljob-waljob sebagai tolok ukur kehartaan, melahirkan kecemburuan dan pertengkaran-pertengkaran. Di dunia sepakbola, Ronaldo bermain di Klub Al-Nassr. Bisa dibahasakan Ronaldo merumput di Al-Nassr. Memakai kata merumput, karena mungkin terkait dengan rumput lapangan sepakbola. Tapi malam itu saya punya pengetahuan baru. Para seniman di Jogja juga ada istilah merumput. Ketika seseorang sedang bekerja di B misalnya, maka seniman itu sedang merumput di B. Ada-ada saja istilahnya. Kalau sudah merumput di B, dilarang pindah ke C dan seterusnya.

Tapi obrolan malam itu menjadi terganggu gara-gara ada Nevi Budianto: Orang satu ini lucu dan lugunya luar biasa. Juga sering delay dalam merespons. Dan sudah pasti yang di sampingnya harus sabar dan menahan diri.

Kata Mbah Nun dalam satu salah satu tulisannya, Pak Nevi ini adalah manusia orisinal. Jenius. Karya musiknya luar biasa. “Nevi sebagai Maestro penemu multi-genre musik KiaiKanjeng…”

Tapi malam itu, geniusnya bikin gregetan poool — kudu tak antemi. Segala hal diplesetkan. Ditaut-tautkan. Saya menyebut Mas Toto diplesetkan: Mas Toto rekotok-rekotok di pinggir kali. Saya menyebut Mas Aan disaut Mas Aan Padang (Masakan Padang). Saya omong tentang Habib Anis direspons Habib Anis Sepah dibuang. Omong tentang email ditambahi Emil Salim. Menyebut soto Cak Man disahut Cak Man wis Akhir. Saya menyebut Cak Mus direspon Cak Mus Bahasa Inggris. Saya omong Pas Is seruling KiaiKanjeng, disambar Pak Is gelap terbitlah terang. Saya minta ada yang qiroah sebelum Tawashshulan, lalu Mas Islami menerangkan ke teman yang akan qiroah bahwa itu tangga nada/lagu Bayati. Direspons oleh Pak Nevi: Bayati Pesek. Tiba-tiba datang hujan, lalu ia omong hujan di bulan devender. Ya Allah — paringi sabar kulo!

Obrolan saya hentikan. Karena frustrasi dan tertawa tanpa henti. Tidak ada hasil apa-apa. Untung posisi Mbah Nun jauh dari lokasi kami ngobrol. Misalnya Mbah Nun mendengar, bisa tertawa, bisa juga geregetan. Atau bisa saja tambah bikin sakit perut.

Yogyakarta, Selasa, 29 Agustus 2023

Lainnya

Topik