CakNun.com

Pentingnya SastraEmha Digalakkan

“Cak, sebenernya waktu SMA kepengen saya itu masuk kelas bahasa,” kata saya siang itu.

“Hahh…. aku ora salah krungu to? Lha kok kowe milih dadi dokter (Hahh aku engga salah dengar kan?),” tanya Cak Nun.

“Ora Cak, aku ora milih dadi dokter (Nggak Cak, aku nggak memilih jadi dokter),” jawab saya

Dudu (Bukan),” lanjut saya.

Opo bapak ibumu sing karep? (Apa bapak ibumu yang menginginkan kamu jadi dokter?” lanjut Cak Nun.

Bapak – ibuku wong ndeso Cak, guru, anake akeh, dadi kanggo urusan cita-cita anake, dipasrahke nang anake (Bapak ibuku orang desa yang berprofesi jadi guru. Jadi urusan cita-ciita anaknya diserahkan sepenuhnya kepada anaknya,” kata saya.

***

Memang waktu SMA saya tertarik masuk kelas bahasa. Syarat dibukanya kelas bahasa adalah bila ada 8 orang yang mendaftar. Pada waktu itu sudah ada 6 orang mendaftar. Kalau ada orang ke-7 yang mendaftar maka saya akang nggenepi menjadi orang ke 8, sehingga terbukalah kelas bahasa. Namun pada saat akhir penentuan pembukaan kelas bahasa, peminatnya hanya 6+1.

Bukan tanpa alasan saya menginginkan masuk jurusan bahasa.

Sejak kecil saya akrab dengan beberapa karya sastra milik almarhum ayah saya yang seorang guru Bahasa Indonesia. Buku-buku di perpustakaan kecil almarhum ayah saya menjadi santapan mulai SD. Karya-karya HB Jassin, H Abdul Malik Karim Amarullah, Chairil Anwar, NH Dini, bahkan penyair lokal Yogya yaitu Kirdjomuljo menjadi menu bacaan kala senggang. Beberapa buku dari Karl May, seorang penulis dari Jerman banyak bukunya di rak buku kami. Sebut saja ‘Di Kurdistan, Raja minyak, Karaben Nemsi, dan Winnetou ketua suku Apache’. Kesemuanya itu bacaan di tahun 70-an.

Di era 80-an, saya menggandrungi tulisan-tulisan SH Mintardja, yang ternyata adalah tetangga kampung di Gedongkiwo. Serial ‘Api di bukit Menoreh’ menjadi rebutan untuk dulu-duluan membaca waktu koran ‘Kedaulatan Rakyat’ datang di subuh hari. Satu tulisan yang menjadi bacaan wajib kala libur semesteran yaitu ‘Nagasasra dan Sabuk Inten’, entah sudah berapa kali saya mengulang mahakarya SH Mintardja tersebut.

Jadi berhubungan dengan karya sastra sebenarnya tak asing bagi saya. Mulai juga mencorat-coret bikin 2-3 baris puisi yang tak bermutu waktu SD-SMP. Sampai pada awal 80-an, saya menonton pagelaran Emha Ainun Nadjib baca puisi diiringi oleh musik Novi Budianto dkk. Pagelaran itu sendiri dilaksanakan di Pugeran, tepatnya di halaman H Therus, tempat diadakan pengajian setiap Minggu pagi.

Pagelaran itu sangat mengena di benak dan pikiran saya. Pembacaan puisi oleh si pembuat puisi! Sebuah acara yang sangat syahdu dan kontemplatif. Dan beberapa saat sesudahnya, Radio Geronimo mempertemukan saya dengan Cak Nun dalam sebuah acara talkshow menjelang buka puasa.

***

Kali ini seperti mendapat anugerah yang tak ternilai harganya ketika Yai Helmi ‘memerintahkan’ saya untuk membaca karya dari penyair besar, satrawan besar. Itulah yang membuat saya gembira bercampur sedih, takut dan tak karuan rasanya. Senangnya bisa bergabung dengan komunitas sastrawan, penggemar seni sastra maupun penikmat satra. Peran sastra ini sangat penting dalam membangun perdaban bangsa. Di tengah-tengah gempuran dan dorongan sekitar kita untuk berlaku dan bersikap konsumtif, kapitalisik, dan semua yang berbau kebendaan.

Masyarakat yang jauh dari nilai kearifan sosial. Jauh dari budaya yang santun. Jauh dari kelembutan.

Pentingnya acara semacam ‘SASTRA EMHA’ digalakkan, ditumbuhsuburkan!

Perundungan di mana-mana. Bahkan seorang anak SMP dihajar, ditendang, diinjak seolah benda mati tak berharga. Maka kebudayaan, seni, sastra menjadi sangat dinanti kehadirannya. Saya jadi ingat kata kata indah Prof. Mukti Ali (Alm).

Dengan Ilmu hidup akan lebih mudah
Dengan Agama, hidup akan terarah
Dengan Seni, hidup akan lebih indah

HL 3-8 Oktober 2023

Lainnya

Topo Ngrame

Topo Ngrame

Semalam, di tengah saya berdiam diri di dekat Mbah Nun — jamaah Maiyah dari Tuban WhatsApp saya.