CakNun.com

Padang Kurusetra

Diambil dari buku Yang Terhormat Nama Saya, Sipress, 1992
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 8 menit

Prabu Kresna terhenyak dari kursi selonjornya, pagi itu, karena kaget yang luar biasa. Hampir saja ia bertiwikrama dan menggenggam bulatan bumi ini untuk dibantingnya hingga pecah berkeping-keping. Tapi, ia segera ingat perannya. Ia berdiri tegak, membusungkan dada, menghisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat — waktu terhenti — tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala.

Titisan Wisnu ini memanggil Harya Setyaki, memerintahkan agar ia menyiapkan kereta perang serta terompet Pancajanya. “Aku akan menemui Arjuna beserta sekalian Pandawa,“ katanya.

Setyaki sigap melaksanakan perintah itu. Membenahi kereta dan kuda, kemudian memandang Pancajanya dan bergumam sendiri: “Terompet yang malang! Beberapa lama kautergeletak bagai onggokan sampah. Dulu Sang Prabu meniupmu berhari-hari terus-menerus, berbulan-bulan, bertahun-tahun, di Padang Kurusetra yang sunyi, habis diisap langit sepi?“

Sejak lama memang Sang Prabu Kresna menganggur. la yakin sudah bahwa Bharata Yudha memang tak akan pernah terjadi. Tak ada perebutan tanah. Tanah itu bukan milik Pandawa maupun Kurawa. Tanah itu milik rakyat, dan di manakah rakyat, di tengah jajaran wayang-wayang? Tentu tidak tertampung dalam kotak ki dalang. Di mana? Mungkin mereka adalah para penonton yang terkantuk-kantuk sepanjang malam, berbaring di rerumputan, bersandar di pepohonan, bergumam di antara mereka sendiri tapi tak berkata apa pun kepada Ki Dalang.

Kurawa memang adalah penguasa. Tapi apa gerangan yang hendak dibela oleh para Pandawa? Mereka tidak mewakili rakyat. Mereka hanya mewakili kebenaran: kebenaran masalah mereka sendiri. Kini kebenaran itu tak ada. Tanah ini hanyalah warisan Sang Hyang Wenang kepad rakyat.

Maka, selama itu Sang Prabu Kresna menghentikan tiupan Pancajanya di tangannya, la tak mau mengadu raja melawan calon raja. Penguasa melawan calon penguasa. Rakyat bukanlah tanah landasan bagi kekuasaan raja demi raja. Rakyat bukan prajurit yang ditumpahkan di Padang Kurusetra untuk beradu dan berbunuh-bunuhan. Mereka juga bukan Padang Kurusetra itu sendiri yang menjadi kancah pertarungan antara kekuatan dan nafsu. Sang Kresna tidak mau membantu jatuhnya seorang raja, menaikkan raja yang lain, ganti berganti, dan rakyat terlempar dari penindasan ke penindasan berikutnya; diinjak-injak oleh kaki-kaki kuda dan para pekatik; dihardik oleh penderitaan kemarin, hari ini dan besok. Tidak, sekali-kali tidak. Biarlah para Pendawa hidup di desa atau mengembara di hutan. Biarlah Yudhistira jadi kamituwa, Bima jadi tukang kayu, Arjuna bercocok tanam, sementara Nakula dan Sadewa menjual cendol di pasar.

Tetapi, fajar pagi itu, dalam tapa-samadi-nya, Sang Prabu Kresna mendengar suara-suara dari penitisnya:

Di manakah Para Pandawa?

Melihat hak-hak diperkosa.

Kenapa mereka diam saja?

+ Mereka telah mati!

Gila! Mereka tak akan sirna

Sebelum menumpas Kurawa!

+ Kurawa takkan tumpas Duryudana yang busuk, jika pun putus nyawa.

Telah siap pengganti-penggantinya

Sengkuni yang licik dan kumal jiwanya

Dorna si kerak neraka

Menjadi debu racun di angin tegar Bisma

Kejahatan mesti tumpas oleh kebenaran!

+ Mesti, tapi tak tentu.

Pandawa tetap ada!

+ Pandawa tetap ada, tapi ksatria Pandawa

Menguap ke angkasa.

Mereka telah jadi denawa.

Jadi raksasa-raksasa.

Yang makan apa pun saja!

Sang Prabu Kresna bagai ditabrak matahari mukanya. Demikianlah ketika Setyaki telah menyiapkan semuanya, Kresna pergi menjumpai Arjuna.

Lelaki itu, yang sedang sibuk di kebunnya, mendengar rentetan kata-kata Kresna, segera bersembah: “Kanda Kresna, titisan Wisnu yang bijaksana! Demi Dewata yang mengajariku bersabar dan arif, kami adalah putra-putra Pandu yang tak mampu berbohong atau mangkir. Demi Amrita, ialah engkau sendiri, air suci yang kekal abadi, kami adalah putra-putri Kunthi yang mencurahkan hidup senantiasa kepada segala yang lestari. Demi Janardana, Tangan Agung yang mencampakkan luka penderitaan dari kehidupan manusia, kami adalah adik-adikmu yang ksatria adalah dari ujung rambut hingga kuku kaki. Tamparlah segala kekurangan kami, tapi demikianlah adanya.“

Kemudian terjadilah dialog, yang menyadarkan Prabu Kresna akan kereta waktu, dunia, ruang dan peristiwa.

— Bagus, Adi! Jika demikian engkaulah Parantapa, penakluk setiap musuh. Tetapi, kenapakah engkau diam tepekur di sini, sedangkan hujan kejahatan tumpah, rakyat basah kuyup, meskipun mereka tetap tertawa?

+ Negara kita aman-aman saja.

— Aman-aman saja karena penyelewengan dibiarkan merajalela!

+ Tidak. Kami semua melawan penyelewengan, melawan setiap penyalahgunaan kekuasaan, setiap ketidakadilan.

— Apa bukti semuanya.

+ Kami tak henti-henti bikin pernyataan-pernyataan.

— Tak adakah bahasa yang lebih lugas dari pernyataan?

+ Tentu ada. Para punakawan, Bagong, Petruk, dan Gareng kami suruh mogok makan, tapi tak bisa bertahan lebih dari satu hari setengah malam.

— Bagaimana kalau mogok tidur?

+ Mustahil. Tidur adalah pekerjaan utama mereka.

— Mogok mandi?

+ Penguasa malah senang. Air bisa dihemat.

Lhadalah! Kenapa tak kalian sendiri yang mogok?

+ Sukar dibayangkan. Kakang Yudhistira sedang sakit maag. Kakang Bima sedang kambuh levernya. Adi Nakula dan Sadewa ada gejala penyakit kuning beberapa lama ini. Kakang Kresna tentu tahu, kami semua kekurangan gizi.

Lhadalah! Sungguh yang kudengar darimu ialah kabar bencana. Malapetaka dan aib yang tiada taranya bagi keluarga Pandawa. Bukanlah ksatria orang yang tak tahan derita. Tak patutlah seseorang menjadi keturunan Pandu Dewanata jika ia gampang tergoyah!

+ Batinku tidak goyah, Kakang, cuma badanku kini gampang masuk angin. Jiwaku tak luntur, cuma syahwat kini makin gampang kepingin.

— Arjuna! Sia-sialah perjuangan mesu dirimu selama ini. Prihatin dan lelanabrata beratus hari. Bukan untuk memperoleh kesempurnaan tertinggi, malahan untuk takut kelaparan dan mati!

+ Kelaparan memang bikin kapok kok, Kakang. Tapi, bukan karena itu kami ragu berjuang. Soal berjuang itu, Kakang, tetap kok, tetap kok.

— Engkau sudah teguh samadi, Arjuna. Mustinya telah kaucapai tingkat paling suci. Takut menderita adalah pantangan bagi seorang Yogi. Apalagi sekadar tak makan sehari dua hari. Pikiran bening dan seimbang, tak bakal terguncang meski oleh badai teramat kencang. Sebab angin paling dahsyat yang harus ditaklukkan, terletak dalam jiwa setiap orang.

+ Aku tahu itu. Celaka bagi orang yang memusatkan jiwanya pada dunia, sebab itu hanyalah kenikmatan yang beranak derita. Ya toh? Siapa yang kuasa menahan nafsu berahi, menaklukkan amarah murka, dialah orang paling bahagia. Ya toh? Tenteram batinnya, cahaya dalam jiwanya, suci sukmanya, nirwana anugerahnya. Ya toh?

— Tetapi, kesucianmu hampir kembali sirna. Keraguanmu menyeret ke jagat fana. Pikiranmu pecah, jiwamu di-serimpung oleh nafsu dan benda. Kamu harus belajar kembali menguasai pancaindera, menaklukkan perasaan dan pikiran serta seluruh jiwa. Orang suci harus membebaskan diri dari siluman dunia agar memperoleh kedamaian hidup yang sebenarnya.

+ Kakang Kresna! Bukankah hidup adalah gelombang samudera, naik turun, naik kemudian turun lagi. Bukankah hidup ialah bertarung melawan naga, seperti Kakang Bima, terkadang di atas terkadang di bawah. Bukankah hidup ialah bertahan antara tidur dan jaga, antara samadi dan membuka mata raga, terkadang keluar terkadang masuk..Demikianlah jua aku.

— Arjuna. Tak ada pemaafan semacam itu bagi seorang ksatria yang memikul tanggung jawab kehidupan. Tak ada alasan yang picisan seperti itu bagi seorang pejuang yang buah tangannya ditunggu oleh lapar dahaga umatnya. Seorang ksatria harus menaklukkan dirinya dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, dari abad ke abad, dari hidup ke hidup berikutnya.

+ Maafkan aku, Kakang Kresna. Aku bukanlah selembar wayang. Aku hanyalah seorang manusia.

Lhadalah! Arjuna adalah Arjuna. Di langit atau bumi, di rimba atau samudera, Arjuna adalah Arjuna. Di waktu silam atau di masa datang, di dalam atau di luar ruang, Arjuna adalah Arjuna. Di merah atau kuning, di tanah atau angin, Arjuna adalah Arjuna. Arjuna adalah Arjuna.

+ Arjuna adalah Arjuna. Janaka adalah Janaka. Memang. Tapi, sama bisa juga lain, seperti lain bisa juga sama.

— Engkau pintar membalik-balikkan kata, Adi.

+ Aku dilahirkan oleh zaman yang memang terbalik-balik, Kakang. Dunia yang terbalik-balik, hukum yang terbalik-balik, keadilan yang terbalik-balik, ketidakbenaran yang terbalik-balik menjadi kebenaran. Yang jujur kojur, yang tak jujur malah mujur.

— Sejak dulu kejujuran itu mahal, Arjuna.

+ Sejak dulu kejujuran itu mahal, Kakang, mahal dan goblok.

— Kata-katamu kacau, Adi!

+ Negaraku memang kacau. Bagaimana tak kacau, rakyat disuruh makan gandum, sedangkan sang raja makan gunung. Gareng mencuri ayam dikurung tiga bulan, sang senopati makan tiga samudera minyak malah tidur ongkang-ongkang di permadani yang bersambung dari satu bukit ke bukit lain.

— Lihatlah Arjuna! Itulah pohon kanker bumi yang harus ditumbangkan. Itulah tantangan bagi ksatria yang memiliki kesadaran. Itulah alasan dan tanggung jawab untuk berjuang. Itulah sumber tekad yang harus ditegakkan. Majulah ke Padang Kurusetra, Adiku!

+ Ampun, Kakang. Sudah berkali-kali tekad itu kutegakkan, tapi tetap saja loyo, tak bisa berdiri kencang. Keyakinan sudah karatan, tenaga seperti kerbau kelaparan, ketahanan seperti cacing kepanasan. Baru berjuang sebentar sudah mau pingsan.

— Adi Arjuna! Betapa sedih hatiku mendengar kata-katamu. Betapa sedih angin, langit dan bumi ini. Betapa sedih para dewata, seluruh rakyat manusia, mendengar sikap yang lembek dari ksatria yang di pundaknya terletak kewajiban luhur kehidupan. Arjuna! Kini harus kau nyalakan kembali apimu. Api yang berakar di langit, menerangi bumi, menengadah kembali tepat ke langit, titik yang abadi. Api yang lengang! Api yang menemukan ruangnya tengah angin kencang!

— Ampun, Kakang.

+ Mohon ampun adalah dosa kedua sesudah kerja ditinggalkan. Arjuna! Pandanglah langit memerah, ditutupi tabir putih. Ada kerbau menabrak pagar, kambing yang dihajar. Si kambing disuruh memakan rumput, untuk bisa dipersalahkan. Sekawanan sapi diadu melawan sekawanan kerbau, untuk melihat bagaimana warna darah sapi-sapi itu serta agar mukanya bisa dicorengi dengan kotoran duburnya sendiri. Beberapa ekor harimau digiring agar merajah hutan sebelah, agar supaya ada alasan untuk memusnahkan harimau-harimau itu. Pandanglah ketegangan yang tenang, pandanglah gerak yang diam. Lihatlah sekam yang mengancam!

— Ampun, Kakang.

Sang Prabu Kresna naik pitam! Arjuna si pejuang hanya mohon dan mohon ampunan tanpa menyatakan sepercik pun niat perbuatan. Sang Prabu berkilat-kilat matanya. Bergerak maju, meraih sehelai rambut Arjuna, menghentakkannya sehingga tubuh Arjuna terlempar ke balik gunung. Terjerembab di kelam hutan. Arjuna terpana dan bingung beberapa saat, tapi segera sadar diri. Matanya nanar ke sekeliling. Menemui alas yang bersih, ia kemudian duduk bersila. Tangan bersedekap, tegak mukanya. Memusatkan pandangan mata di antara kedua keningnya. Dan, di antara lubang hidungnya, ia mengatur prana dan apana. Sang Arjuna mengempaskan napas pembebasan. Pelepasan. Memandang ke ujung hidungnya. Menguasai jiwa, menghirup nirwana. Irama terpelihara, kundalini membuka. Tetapi, sayup-sayup, terdengar suara tertawa.

Usai Arjuna menemui Prabu Kresna kembali, dan bersembah:

+ Aduh, aduh Kakang Kresna! Jagad telah kutelan kembali. Kutemukan ruang hampa di tengah desingan udara. Kugenggam angin dan tenaga. Tetapi, darahku buntu, semangat perjuanganku seperti dicegat hantu.

— Arjuna! Tidaklah patut seorang ksatria menyandang kelemahan itu. Ia memiliki cahaya. Cahaya ialah pedang yang mampu menembus ruang yang tak terjangkau bahkan oleh bayangan.

+ Kakang Kresna! Bisa kulepaskan cahaya, anak panah yang meleburkan besi baja. Tapi, betapa mungkin saudara-saudaraku sendiri yang amat kucintai mesti kutusuk dadanya. Keluhuran apa gerangan yang hendak kucapai, jika dengan merajah darah sanak kadang sendiri. Mending aku jadi peminta-minta daripada harus dirundung dosa dan derita akibat kematian saudara-saudara yang tercinta.

— Arjuna Adiku! Sesalilah apa yang memang patut disesali. Seorang ksatria yang arif tak bakal bersedih, karena yang harus ia tumpas bukanlah saudara-saudaranya, melainkan kejahatan yang mereka sandang. Seorang ksatria yang paripurna tak akan menderita, karena dirinya tak dibelah oleh air dan api, oleh hidup dan mati, oleh ada atau pun tiada.

+ Kakang Kresna! Di tanganku tergenggam terompet Dewadata. Kakang Bima siap dengan Paundra. Kakang Yudhistira dengan Anantawijaya. Adi Nakula dengan Sugosa dan Adi Sadewa dengan Manipuspaka. Bahkan Adi Srikandi telah gatal ingin meneteskan darah pahlawannya. Juga Drestajumena telah lama pasang kuda-kuda. Tetapi, kami termangu-mangu saja. Sukma kami tergetar, keragu-raguan menimpa.

— Arjuna, tidakkah kaubelajar dari keteguhan keyakinan eyangmu Bisma, serta dari benteng pegas Adipati Karna?

+ Kakang. Aku rela dibunuh mereka daripada harus hidup dengan kenangan tentang darah muncrat di leher mereka. Biarlah aku menjadi tumbal kehidupan yang dikuasai api angkara murka.

— Bagimu tidakkah membayang seorang Suyudana yang meminum darah yang bukan haknya?

+ Kakang. Biarlah seluruh bulatan bumi ini ditelannya, biarlah kami para Pandawa hidup melayang-layang di udara.

— Itu pengolahan yang keliru, Adi. Bukan demikian yang disebut keluhuran budi. Bukan demikian kesucian dan kesempurnaan nurani.

+ Tetapi, membunuhi saudara sendiri pun bukanlah keluhuran budi, atau kesucian dan kesempurnaan nurani, Kakang.

— Jadi tak sanggup kaumaju berperang?

+ Ampun, Kakang.

— Tak sedia berjuang?

+ Ampun, Kakang.

Lhadalah!

Sang Prabu Kresna tertampar mukanya dan tergedor dadanya. Gemetar seluruh raga dan jiwa Sang Kresna meraung, menghirup seluruh udara, menghisap segala bunyi dan sunyi. Sang Prabu Kresna tiwikrama, menjadi raksasa maharaksasa. Digenggamnya seluruh jagad di tangan kirinya. Langit lari terbirit-birit, matahari menyelam di mripat-nya. Arjuna serta segenap Pandawa di tempatnya masing-masing memekik, ditimpa rasa sakit yang tak terkatakan beratnya, telanjang dan malu. Para Pandawa dirajah oleh derita yang diciptakannya sendiri.

Prabu Kresna mencekam tengkuk Arjuna:

+ Kautahu apa yang seharusnya kaukatakan!

— Ampun, Kakang.

Arjuna merintih.

+ Katakan sekarang!

— Ampun, Kakang.

+ Aku sudah mengetahui semuanya, tapi kewajibanmu mengemukakan semuanya?

— Ampun, Kakang.

+ Gampang mohon ampun dalam gelimang dosa adalah dosa yang lebih berat dan penuh derita.

— Ampun, Kakang.

Sang Prabu Kresna menampar sukma Arjuna.

— Baiklah, Kakang. Kami para Pandawa memang tak sanggup lagi berperang. Kaki-kaki kami tak sanggup bergerak. Tubuh kami tertancap di bumi. Karena perut kami telah penuh oleh beratus ribu jengkal kebun, ladang, sawah, joglo-joglo mewah serta berjuta mata uang yang berlimpah. Kakang Suyudana telah menenteramkan hidup kami.

Sang Prabu Kresna terkejut bukan buatan. Arjuna terjatuh dari tangannya. Jasad menggelinding. Ia lemparkan terompet Pancajanya ke angkasa. Langit sobek.

Ancol 26/4/81

Lainnya

Jimat

Jimat

Di dalam hidup sehari-hari, jimatku ialah kesetiaan dan ketahanan serta kemampuan menjaga diri. Jadi jimatku tidak kucari umpamanya di gunung Kawi, melainkan kubangun sendiri perlahan-lahan.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Ijasah

Ijasah
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Stempel

Stempel
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Podium

Podium

Topik