Irigasi Kesejahteraan
Semakin sering saya memimpikan betapa bahagia rakyat di dunia apabila terdapat satu gelintir saja pemimpin yang bertipe “negarawan-pujangga”.
Mungkin mencari nafkah masih susah payah. Mungkin tumpukan hutang tidak kunjung merendah. Mungkin sistem ‘irigasi’ hak, kesejahteraan hidup dan hiburan, tetap agak jual mahal untuk melewati rumah kita.
Akan tetapi setidaknya ada ‘klangenan’ tentang sesuatu yang bisa dikenang di hati. Ada satu-dua ornamen kenyataan yang lumayan enak untuk digumam-gumamkan dalam batin dan direngeng-rengengkan di bibir.
Setidaknya itu semua bisa kita dayagunakan untuk mempertahankan kepercayaan terhadap hidup ini: bahwa pernah ada keadilan, pernah ada nabi-nabi yang santun, pernah ada bagian yang menyejukkan dari sejarah. Bahkan, di tengah pusaran gelombang duka-derita, keringat dan dosa yang tak pernah makin mengering: kita tetap bisa membaca sajak-sajak yang mengingatkan kasih Tuhan. Kita tetap bisa mendengar dan berjumpa dengan karya-karya budaya yang menyejukkan. Dan kita tetap punya keindahan yang memancar dari — yang di atas saya sebut — negarawan-negarawan pujangga. Tidak untuk ‘menipu diri’, melainkan sekadar melakukan percintaan diam-diam dengan cinta nurani dan kerjenihan akal budi, di tengah terkurasnya waktu dan perhatian kita oleh klenik kebendaan, etalase konsumsi, peperangan, derita manusia oleh pembangunan sepihak, atau oleh segala deraan kesengsaraan manusia sepanjang pagi, sampai malam.
Puisi-puisi, lagu-lagu batin, dan cahaya para negarawan-pujangga adalah bidadari kecil yang mengunjungi kita pada saat-saat menjelang tidur, sesudah kita terkapar dan terlelahkan oleh keke jaman dunia ini.
Namun sudah terlalu lama kita tidak pernah berpapasan dengan jenis manusia semacam itu.
Di sepanjang jalanan yang kita tempuh, kita lebih sering bertemu dengan makhluk-makhluk yang dihidupkan, yang lebih banyak menyumbangkan kegetiran. Sedemikian rupa sehingga teknologi mentalitas yang tercanggih yang dewasa ini kita selenggarakan adalah kesanggupan untuk tersenyum dan tertawa tanpa dilandasi oleh alasan apa pun.
Apakah sedemikian putus asa saya menatap kehidupan?
Tidak. Kita tidak pernah berputus-asa, karena di samping kemampuan untuk tertawa tanpa sebab, keistimewaan kita yang lebih adalah mengakali potensi keputusasaan sehingga menjadi seolah-olah bukan keputusasaan.
Kita punya gudang besar berisi metode-metode budaya untuk menghidupi kebahagiaan maupun penderitaan. Kita sanggup tetap hidup dalam situasi seperti apa pun. Karena itu kita tidak terlalu membutuhkan revolusi dan tak terlampau serius menangani perubahan-perubahan.
Akan tetapi, kegetiran hati adalah juga makhluk Allah yang absah eksistensinya. Kita tidak terlalu diperkenankan untuk menggusurnya dengan metode budaya apa pun. Kegetiran adalah tetap kegetiran. Duka adalah duka. la punya hak atas ruang dan waktu.
Di koran pagi kemarin saya membaca pernyataan Kepala Negara kita yang cukup indah pada level kata. Beliau wanti-wanti kepada rakyatnya tentang masalah kekosongan kehidupan etik, moral dan spiritual. Tentang kemakmuran materi yang tak menjamin kebahagian ruhani.
Kegetiran batin saya menuntut hak eksistensinya. Jika negarawan-pujangga mengucapkan kalimat ini, ia memerlukan landasan, bukti dan konsistensi empiris.[]