CakNun.com
Tadabbur Hari ini (63)

Gembira Bernegara

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

(Al-Fatihah: 1-7)

Sementara kita yang sudah modern, sudah khatam bersekolah sampai yang tertinggi, summa cum laude pula, mengemis-ngemis ke sana kemari.

Memohon kepada rakyat agar mereka memilih kita menjadi wakil mereka. Kita mengemis jabatan, nyuwun paring-paring kekuasaan, dari Lurah hingga Presiden. Pandai menyusun proposal-proposal untuk mengemis bantuan ke perusahaan-perusahaan atau pejabat.

Kita mengemis dengan membayar mahal agar boleh “numpang kendaraan” Parpol-parpol, bahkan tidak masalah kalau perut pribadi dan keluarga kita makan dari APBN atau APBD. Bahkan Sekolah-sekolah yang nyata-nyata berprestasi wajib bikin proposal untuk mendapatkan insentif dari dana rakyat yang dipegang oleh Pemerintah.

Dengan pembangunan modern ini kita beramai-ramai menyusun sistem birokrasi dan mentalitas nasional yang mendorong dan menegakkan kita menjadi pengemis. Kalau sudah berhasil dengan ngemisnya, lantas jabatan dan kekuasaannya kita pakai untuk ngutil, njambret atau merampok.

Mungkin sanad dan nash yang kita pakai adalah firman Allah:

وَاَمَّا السَّاۤىِٕلَ فَلَا تَنْهَرْ

Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.” (Adh-Dhuha: 10)

Akan tetapi peradaban modern yang sangat maju dan canggih, pembangunan bangsa-bangsa yang gagap gempita, kegagahan-kegagahan intelektual yang kita pakai untuk “nggaya” ke mana-mana, mestinya dan logisnya tidaklah memproduksi pengemis-pengemis. Jadi kita yakin bukan kita yang Allah maksudkan dengan “wa ammas-sa`ila fala tanhar”.

Bahkan dalam pemahaman shadaqah dalam Maiyah, salah satu kemuliaan manusia adalah menghindarkan siapapun saja mengemis kepada kita. Kita yang harus lantip dan waskitha, peka dan jeli untuk memenuhi kebutuhan siapapun yang membutuhkannya. Jangan sampai membiarkan mereka datang mengemis kepada kita.

Itulah makna dialektis “wa ammas-sa`ila fala tanhar”. Kita bukan menolak pengemis. Kita menghindarkan siapa-siapa mengemis kepada kita, karena kita cerdas untuk memahami kebutuhannya. Kalau dalam proses bebrayan, dialektika, dan silaturahmi sosial kita tidak waspada secara sistem atau dalam kebersamaan sosial, kita membiarkan sesama manusia menjadi pengemis, maka Allah yang kita hina. Apalagi kita punya media, misalnya stasiun televisi, yang malah bikin program berlagak menolong orang miskin, namun desain acaranya mementaskan, menonjolkan, dan menikmati kemiskinan mereka.

Sekarang kalau kita sadar posisi kita selama ini tidak memenuhi “as-shirathal mustaqim”, mari kita sebagaimana pesepakbola kita “putar balik mobil kita di Cirebon untuk balik ke Surabaya. Besok kita ke Jakarta lagi dengan penghayatan yang baru”.

Ketika kemarin kita dilibatkan forum dengan teman-teman petugas Pajak, kita belajar banyak. Slogan, jargon atau mindset pajak Indonesia antara lain: “Orang Bijak Taat Pajak”, “Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya”, “Pajak Menyatukan Hati, Membangun Negeri”, hingga “Bangga Bayar Pajak”.

Orang bijak. Maksudnya orang bijaksana. Bijaksana itu pencapaian nilai sesudah benar dan baik. Kalau benar saja belum, baik rakyatnya maupun pemerintahnya, bagaimana bisa sampai ke level bijak.

Yang kita tawarkan adalah “Bergembira Bayar Pajak”. Artinya, Pemerintah mendesain sistem dan birokrasi perpajakan serta mental dan moral petugasnya, yang sedemikian rupa sehingga membuat rakyat percaya dan gembira.

Bahkan Pemerintah yang kita idam-idamkan adalah Pemerintah yang berikhitar semaksimal mungkin dan menyebarkan keteladanan yang membuat rakyat bergembira menjadi warganegara. Rakyat hidup dalam atmosfer “Gembira Bernegara”. Maka soal pajak otomatis akan terangkum di dalam kegembiraan nasional itu.

Negara adalah suatu formula mutakhir pengelolaan kebersamaan manusia, sesudah Kerajaan dan bentuk-bentuk sebelumnya. Negara didirikan agar ada pengorganisasian keadilan atas kemakmuran, ada pengelolaan keamanan bersama. Negara kita bangun bersama agar semua bagiannya berfungsi saling tolong menolong. Negara kita rawat agar kita punya aturan bersama untuk menyejahterakan dengan keadilan dan menghasilkan “Kegembiraan bagi seluruh rakyat”.

Sebab yang merupakan puncak kesengsaraan manusia adalah kalau mereka tidak punya peluang untuk saling tolong menolong. Kita harus benar, baik, adil dan bijaksana dalam menyelenggarakan dan melaksanakan Negara, sebab kelak akan datang hari di mana tolong-menolong sesama manusia itu tidak ada lagi peluangnya.

يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِّنَفْسٍ شَيْـًٔا ۗوَالْاَمْرُ يَوْمَىِٕذٍ لِّلّٰهِ ࣖ

Pada hari (ketika) seseorang sama sekali tidak berdaya (menolong) orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.” (QS. Al-Infitar: 19)

Yang dimaksud oleh ayat ini adalah Hari Kiamat. Logikanya, Pemerintah jangan sampai bikin kiamat (shughra) sebelum Kiamat (Kubra).

Kalau ada Pemilu atau Pilpres, pedomannya sangat sederhana dan dipahami semua orang di level atau wilayah manapun: Ciptakanlah “Gembira Bernegara”.

Emha Ainun Nadjib
1 Juli 2023
.

Lainnya

Maha Pengasuh Jagat Majemuk

Maha Pengasuh Jagat Majemuk

Kalau pakai idiom Al-Fatihah, proses dan output penghayatan ilmu pengetahuan kita atas alam-alam semesta itu bisa menjebak kita menjadi “almaghdlubi ‘alaihim” atau bahkan terjerembab menjadi “ad-dhollin”.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Kedaulatan Artifisial Manusia

Kedaulatan Artifisial Manusia

Kalau wacana dan literasi manusia dalam kehidupannya, dalam politik sampai peradaban, dituturkan kata kedaulatan — maka itu artifisial, hanya “ayang-ayang”, tidak sejati.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik