CakNun.com
Tadabbur Hari ini (29)

Awas, Waspada
Selalu Ada Allah

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 2 menit

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

(Al-Fatihah: 1-7)

Kepentok “Kitab Al-Quran ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”, maka saya coba cari apa pengertian taqwa. Supaya perjumpaan yang saya inginkan dengan Al-Fatihah lebih tepat, kompatibel, dan relevan.

Yang resmi, misalnya menurut Tafsir Ibnu Katsir, arti dasar dari “taqwa” adalah mentaati Allah dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Senantiasa mengingat Allah serta bersyukur kepada-Nya tanpa ada pengingkaran (kufr) di dalamnya.

Kebanyakan penjelasan tentang taqwa umumnya melalui sanepan atau ilustrasi.

Umar bin Khattab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab mengenai takwa. Ubay bertanya, “Pernahkah kamu berjalan di jalan yang penuh dengan duri?” Umar menjawab, “Ya.” Ubay bertanya lagi, “Apa yang engkau lakukan?” Umar menjawab, “Aku menggulung lengan bajuku dan berusaha (melintasinya).”

Ubay berkata: “inilah (makna) takwa, melindungi seseorang dari dosa dalam perjalanan kehidupan yang berbahaya sehingga ia mampu melewati jalan itu tanpa terkena dosa.”

Ilustrasi yang lain, yang memakai perlambang tentang duri juga:

Suatu ketika, Abu Hurairah ditanya oleh seseorang, “Wahai Abu Hurairah, apakah yang dimaksud dengan takwa itu?” Abu Hurairah tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi memberikan satu ilustrasi. “Pernahkah engkau melewati suatu jalan dan engkau melihat jalan itu penuh dengan duri? Bagaimana tindakanmu untuk melewatinya?” Orang itu menjawab, “Apabila aku melihat duri, maka aku menghindarinya dan berjalan di tempat yang tidak ada durinya, atau aku langkahi duri-duri itu, atau aku mundur.” Abu Hurairah cepat berkata, “Itulah dia takwa.”

Menurut Al-Ghazali, takwa dapat didefinisikan sebagai upaya membersihkan diri dari dosa yang sebelumnya belum pernah dilakukan, sehingga lahir motivasi dalam diri untuk meninggalkannya. Dengan kata lain, takwa menjadi upaya untuk menjaga diri dari berbagai kemaksiatan.

Sebagian Ulama kita sendiri mengatakan, takwa adalah “sami’na wa atho’na” yakni menjadi orang yang lebih taat kepada Allah. Takwa dapat dilakukan dengan cara menggali dan memahami hikmah setiap ibadah yang dilakukan.

Saya setuju dan meyakini semua uraian di atas adalah benar. Yang agak berbeda mungkin adalah cara pandang yang saya pakai. Misalnya kalau taqwa adalah “sami’na wa atho’na”, itu cocoknya pada tahap aplikasi, atau lanjutan dan pengertian dasar taqwa, sebagaimana “menggali dan memahami hikmah setiap ibadah yang dilakukan”. “Sami’na wa atho’na” secara definitif adalah “tha’at” kepada Allah. Orangnya muthi’. Meskipun memang itu merupakan manifestasi dari taqwa.

Ilustrasi “duri” pada Sayyidina Umar ibn Khattab dan Abu Hurairah perlu diproyeksikan oleh siapapun yang mendengar atau membaca dialog itu. Misalnya dari “duri” itu orang bisa menarik konteksnya ke “waspada”. Tetapi sekali lagi, semua upaya memahami taqwa di atas memang muatannya semua merupakan kandungan taqwa.

Sepertinya taqwa di sumber kosakatanya mengandung sekaligus waspada, mawas, komitmen dan kesungguhan terhadap yang diwaspadai.

Waspada, ada Allah lho. Jangan semberono, jaga perilaku. Awas Allah Maha Mengetahui setiap perbuatan kita dan Maha Mengerti semua hal. Kita wajib selalu mawas diri dalam kekuasaan Allah. Kita harus punya komitmen terhadap keharusan logis sebagai makhluk ciptaan Allah. Kita jangan tidak bersungguh-sungguh menjalani hidup ini, sungguh-sungguh menuhankan Allah, sungguh-sungguh patuh kepada-Nya, sungguh-sungguh mempedomani nilai-nilai Allah dalam menjalani apa saja yang kita kerjakan dalam kehidupan.

Rasanya itulah taqwa. Adapun proyeksi, manifestasi dan aplikasinya sangat luas dan menyangkut semua hal dalam kehidupan kita.

وَإِيَّٰيَ فَٱتَّقُونِ

Dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa”. (Al-Baqarah: 41)

Kewaspadaan hidup yang utama adalah tentang dan keberadaan Allah yang kita terikat serta absolut.

Maka saya pun meningkatkan kewaspadaan jiwa, batin dan akal sebelum melakukan perjumpaan dengan Al-Fatihah.

Emha Ainun Nadjib
27 Mei 2023.

Lainnya

Sawang Sinawang Al-Fatihah

Sawang Sinawang Al-Fatihah

Dan ia menjadi Iblis atau di-Iblis-kan oleh Allah karena “rumangsa bisa”. Sok tahu. Tidak tanya-tanya dulu. Kontan saja menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Hidayah Tak Terhingga

Hidayah Tak Terhingga

Maka segala yang Allah limpahkan, umpamanya “hidayah”, juga infinity. Bangsa Jawa mengistilahkan “tan kinaya ngapa, tak kena kinira”. Tidak seperti apapun dan tidak bisa disentuh oleh perkiraan yang bagaimanapun.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik