Anne Rasmussen, Mbah Nun, KiaiKanjeng, dan The Smithsonian Washington DC yang Tertunda
Langit sedang sayu siang pertengahan Februari 2020 itu. Butiran salju perlahan terjun mengayun. Tangan ini terasa dingin ketika menyentuh kaca yang terbalut angin suhu minus 10 derajat celcius. Saya sedang khusyuk memandang luasnya lapangan Midway yang diselimuti hamparan putih salju dari balik jendela lebar Perpustakaan D’Angelo milik Fakultas Hukum Universitas Chicago.
Layar hape di atas meja depan saya mendadak berubah. Ada panggilan masuk. Nomernya tidak saya kenal. Dari kode area di wilayah negara bagian Virginia. Untung hape saya atur dengan mode hening. Karena ruang perpustakaan ini adalah tempat haram bagi siapapun bersuara keras.
Saya ragu untuk mengangkatnya. Khawatir itu hanya agen asuransi. Tapi rasanya itu bukan agen, karena nomer yang menyangkut hal-hal promosi dan persuasi seperti itu biasanya otomatis disaring dengan muncul peringatan spam. Terpaksa saya harus keluar menuju ruang lobi untuk mengangkatnya.
“Hello, good afternoon…”
“Hello Pak Jamal, saya Ibu Anne…”
Oh rupanya itu Bu Anne Rasmussen. Saya belum sempat menyimpan nomernya sejak kontak awal kami melalui email beberapa waktu sebelumnya. Itu adalah komunikasi langsung dengan beliau sejak saya tiba di Amerika. Beberapa tahun sebelumnya, kami berjumpa langsung di Indonesia beberapa kali, ketika saya menemani Mbah Nun. Baik di Kadipiro atau ketika sedang berkeliling bersama KiaiKanjeng di Malang dan Semarang.
Cukup panjang kami berbincang. Saya bercerita tentang mengapa saya di Chicago Selatan dan tentang rencana penelitian disertasi istri saya kelak yang ada kaitannya dengan Maiyah. Dan ternyata Bu Anne masa kecilnya pernah di seputaran Universitas Chicago. Kalau saya tidak salah ingat, orang tua beliau sempat belajar atau mengajar di sana. Tapi yang pasti, kuliah S1 beliau di Northwestern University, salah satu kampus bonafid di Amerika yang terletak di Chicago Utara.
Namun inti dari komunikasi kami sebenarnya adalah tentang rencana Mbah Nun dan KiaiKanjeng yang akan pentas di Amerika pada bulan Juni. Awalnya Cak Zakki mengabarkan saya bahwa CNKK melalui Bu Anne diundang ke Amerika. Saya diminta untuk berkomunikasi dengan Bu Anne dan pengundang serta membantu persiapan yang dibutuhkan CNKK. Komunikasi kemudian terjalin intensif melalui email antara saya, Bu Anne, Pak Wilpers, dan Kedubes RI.
Pak Wilpers–manajer pementasan yang mengundang–mengirim undangan resminya ke saya. Bahwa Mbah Nun dan KiaiKanjeng diundang oleh National Museum of Asian Art yang berkolaborasi dengan Dr. Anne Rasmussen. Museum ini merupakan bagian dari The Smithsonian yang menaungi 21 museum dan kebun binatang nasional Amerika dengan komplek museum terbesarnya di dunia di Washington DC.
Tanggal pementasannya sudah ditentukan. Sabtu, 20 Juni 2020 yang bertepatan dengan perayaan tahunan Smithsonian Solstice Saturday. Setiap tahun, pada perayaan hari itu, museum akan dibuka sepanjang hari hingga tengah malam. Tidak seperti biasanya yang sudah tutup jam 6 sore.
Persembahan CNKK ini rupanya tidak sendirian. CNKK dipilih sebagai pemuncak dalam seri rangkaian “Performing Indonesia” yang keempat. Rangkaian ini telah dimulai sebelumnya pada Oktober 2019 dengan mempersembahkan keroncong Endah Laras dan Danis Sugiyanto. Disusul kemudian bang Haji Rhoma Irama pada 30 Mei 2020. Puncaknya ditutup oleh Mbah Nun dan KiaiKanjeng sebagai headliner dalam seri ini.
Gambaran rundown acara meskipun sangat ringkas dan efisien juga sudah ada. KiaiKanjeng direncanakan tampil jam 7 sore, sebagai penampilan outdoor di halaman The Freer Gallery of Art. Pementasan akan dihadapkan langsung kepada masyarakat Amerika di luasnya Nationall Mall–sebuah lapangan “alun-alun” seluas 59 hektar di jantung kota Washington DC. Alun-alun ini terletak di depan gedung kongres US Capitol, membentang panjang sampai Washington Monument–monasnya Amerika, dan tersambung sampai halaman belakang Gedung Putih.
Skenario cadangan pementasan bila pada hari H ternyata hujan, KiaiKanjeng akan pindah pentas indoor ke dalam Meyer Auditorium di komplek museum yang sama. Dan usai pementasan, KiaiKanjeng diminta tampil singkat secara “pop-ups” di dalam galeri untuk suasana interaksi yang lebih dekat dan hangat. Keesokan harinya, pada Minggu siang Mbah Nun akan diminta ceramah mengenai bagaimana bersama KiaiKanjeng berperan sebagai katalisator keadilan sosial dan pemberdayaan masyarakat melalui Sinau Bareng.
Surat resmi sudah dilayangkan, acara sudah clear temanya, jadwal sudah ditentukan, lokasi telah ditetapkan beserta plan B-nya, dan biaya sudah disediakan The Smithsonian meskipun setelah dihitung masih kurang separuh dari kebutuhan total. Pak Wilpers juga sudah meminta saya mengirimkan foto-foto KiaiKanjeng untuk kebutuhan materi promosi. Tinggal detail teknis yang akan dibicarakan kemudian. Selanjutnya giliran KiaiKanjeng mempersiapkan diri.
Acara kurang dari enam bulan lagi. Cak Zakki menetapkan kurang lebih 22 orang yang akan berangkat, termasuk Mbah Nun, Ibu Novia, dan beberapa kru serta Progress. Bapak-bapak KiaiKanjeng yang tidak bisa ikut sudah ada penggantinya. Yang paling awal dan utama, semuanya harus punya paspor.
Sudah barang tentu KiaiKanjeng punya paspor karena ini bukan pertama kali ke luar negeri. Masalahnya, apakah paspor itu masih aktif atau sudah mati. Maka segera disampaikan dalam grup WA KiaiKanjeng untuk membuat paspor bagi yang sudah kadaluwarsa. Paspor harus masih berlaku minimal enam bulan setelah kedatangan di tanah Amerika. Ternyata hampir semua bapak-bapak paspornya sudah tidak berlaku. Haha.
Tantangan berikutnya adalah pengajuan visa. Tanpanya, kita tidak bisa masuk negara tujuan. Dan visa Amerika adalah top number one visa negara terketat dan tersulit di dunia untuk diperoleh. Belum lagi biaya pengurusannya yang sangat mahal. Kalau ikut kurs dollar hari-hari ini, per orang harus membayar 2,7 juta rupiah. Bila permohonan visa nanti ditolak, uang pun hangus, harus diikhlaskan sebagai inpak–iuran paksaan.
Untuk itu saya mencoba mencari informasi jenis visa yang tersedia dan kemungkinan lolosnya tinggi. Ada satu tipe visa yang cocok yaitu visa P-3 untuk seniman yang diundang pentas di Amerika. Tetapi untuk pengajuannya, The Smithsonian harus menempuh jalur birokrasi ekstra kepada pihak imigrasi dan departemen keamanan dalam negeri. Tampaknya akan repot sekali.
Dari hasil diskusi, visa yang paling memungkinkan kelihatannya seperti yang disarankan Kedubes RI. Yaitu tetap dengan mengajukan visa B untuk turis. Nanti akan dibuatkan surat rekomendasi dari Kedubes RI di Washington DC dan The Smithsonian, dengan harapan pihak US Embassy akan meloloskan semua visanya.
Saya langsung terbayang betapa repotnya bapak-bapak KiaiKanjeng dalam mengurus visa ini. Masing-masing nanti harus mengisi formulir online yang cukup detail sebanyak 10 halaman. Kemudian 22 orang ini harus datang ke kedutaan Amerika di Jakarta untuk diwawancarai satu persatu. Kecuali Mbah Nun dan Ibu Novia yang sudah punya visa turis 5 tahun sejak September 2015, ketika diundang ke Masjid Al-Falah di Philadelphia.
Semua itu kemungkinan akan dilakukan pada bulan April atau Mei. Surat rekomendasi akan diterbitkan menunggu nama-nama yang tertera sesuai paspor yang telah diperbarui nantinya.
Sementara itu, setelah informasi awal rencana CNKK ke Amerika dikabarkan pada awal Februari, saya mencoba mengkomunikasikan kemungkinan CNKK ke kota-kota lain. Yang terpikir pertama kali tentu komunitas imigran masyarakat Indonesia di Philadelphia. Meskipun teman-teman pengurus Masjid Al-Falah belum menyepakati, setidaknya mas Adit–warga masjid yang menginisiasi kedatangan Mbah Nun di Philadelphia dulu–dengan Yayasan Gapura-nya siap memfasilitasi.
Saat itu saya juga akan mencoba menjajaki kemungkinan CNKK pentas di kampus-kampus, utamanya yang memiliki program studi gamelan. Juga kampus-kampus itu berada dalam wilayah East Coast (pesisir timur) di mana masih bisa terjangkau hitungan jam bila menempuh perjalanan darat. Selain Philadelphia dan Washington DC tentunya, jarak tempuh ke New York City dan Middletown di Connecticut hanya 2 sampai 4 jam naik mobil. Di Middletown ada Wesleyan University dengan studi gamelannya yang diampu Profesor Sumarsam.
***
Demikian gambaran rencana CNKK visit to USA 2020. Sejak undangan masuk pertengahan Februari, dilanjutkan diskusi pembahasan acara, dan persiapan awal KiaiKanjeng, semua dilakukan dengan sesegera mungkin. Tapi Allah ternyata berkehendak lain. Memasuki bulan Maret, situasi dunia berubah. Virus Corona mulai merebak ke seluruh penjuru dunia. Hingga menjelang berakhir bulan Maret, negara-negara menutup pintu masuknya. Semua lockdown, termasuk Amerika.
Bu Anne menghubungi saya. Ia mengungkapkan betapa cepatnya perubahan situasi secara drastis sejak komunikasi awal kami. Dan pada akhir Maret, Pak Wilpers pun mengirim email mengabarkan bahwa Smithsonian secara resmi menghentikan semua kegiatannya mulai saat itu, termasuk rencana acara pada bulan Juni.
Kita semua tidak tahu situasi pandemi akan berlangsung berapa lama. Dan kita semua di seluruh dunia berharap Covid-19 berlalu dalam beberapa bulan. Termasuk The Smithsonian kemudian menawarkan CNKK ditunda, untuk dibuka kemungkinan datang pada musim gugur pada bulan Oktober. Saya melanjutkan kabar ini ke Cak Zakki dan CNKK belum ada jadwal setelah tanggal 22 Oktober. Semua mengira pandemi sudah berakhir pada fall season. Dan siapa pula bisa menyangka ternyata Coronavirus masih bergentayangan hingga dua tahun.
Oktober 2020 itu alhamdulillah saya bisa ke Washington DC. Tapi sayangnya, tidak dengan CNKK. Tidak lama setelah punya SIM Illinois, saya menemani sobat kecil saya di Riau dulu yang kini sama-sama tinggal di Chicago. Perjalanan yang bisa kami jamin keamanan kesehatan masa pandemi hanya naik mobil. Kami harus nyetir bergantian selama 12 jam Chicago-Washington DC pergi-pulang. Dia harus ke sana menemui seseorang.
Seseorang ini, sebut saja namanya Pak Gemoy. Sobat saya ini setahun sebelumnya menjadi salah satu juru bicara saat Pak Gemoy nyapres. Dan ketika sedang berkunjung di Washington DC ini, Pak Gemoy kebetulan sedang ulang tahun. Jadi, sobat saya ingin silaturahmi dan mendoakan beliau langsung.
Saya tidak ikut sobat ini dalam perjamuan syukuran yang difasilitasi Kedubes RI. Karena saya tidak ada urusan dengan Pak Gemoy. Sore itu saya memilih berkeliling jalan kaki menyusuri halaman depan Gedung Putih yang tidak jauh dari hotel kami. Saya melihat sisa-sisa demonstrasi dan kerusuhan pendemo Black Live Matters bulan Juli sebelumnya.
Saya jalan mengitari sampai halaman belakang. Pelan-pelan saya menyusurinya karena halaman ini menyambung dengan National Mall. Saya menyisir pinggir “alun-alun” seluas 59 hektar ini. Belok kanan dulu sowan ke patung Mbah Abraham di Lincoln Memorial di ujung barat. Lalu putar balik terus lewat pinggir kolam besar sampai tengah lapangan di seputaran Washington Monument dan World War II Memorial. Lanjut lagi saya jalan ke Timur sampai ujung, di gedung kongres, US Capitol.
Kemudian berbalik. Dari teras US Capitol saya memandang jauh ke tengah. Di kanan-kiri lapangan dari titik saya berdiri sampai Washington Monument, di situlah berjejer museum-museum The Smithsonian. Kalau teman-teman niat dan sungguh-sungguh, rasanya butuh 1 bulan mengunjungi semuanya secara komplit.
Pandangan saya terpaku pada satu titik di sisi kiri lapangan. Dan saya langkahkan kaki ini dengan mantap ke sana. Butuh waktu 20 menit untuk tiba di sana. Saya langsung duduk di teras dan memandang lapangan sampai tampak Washington Monument di kejauhan. Di teras inilah pada bulan Juni, atau seandainya pendemi hanya seumur jagung, pada Oktober dalam suhu udara yang mulai dingin ini seharusnya Mbah Nun dan KiaiKanjeng pentas.
Saya duduk diam lama. Membayangkan suasana gembira warga Amerika yang dibangun KiaiKanjeng lewat persembahan kreativitas musikalnya. Seperti kegembiraan yang dirasakan masyarakat pelosok desa Indonesia ketika Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng selama ini.
Saya ambil beberapa foto lokasi Freer Gallery di National Museum of Asian Art ini. Saya jadi teringat Bu Anne. Tempat beliau mengajar seharusnya tidak terlalu jauh dari sini. Masih di Virginia. Tapi kalau saat itu ke sana, kampus masih tutup. Semua mahasiswa dipulangkan untuk kuliah daring saja. Dan dari Instagram, saya sempat lihat tampaknya Bu Anne work from home dengan keluarganya dari pegunungan Colorado yang indah.
***
Saya terpikir menulis ini tatkala akhir minggu kemarin Cak Zakki mengabarkan di grup WA KiaiKanjeng kalau Bu Anne sedang di Yogya. Dan hari rabu kemarin ia hadir pada Tawashshulan di Kadipiro. Padahal ketika itu saya baru saja meninggalkan Yogya setelah seminggu di sana dan bersama bapak-ibu KiaiKanjeng sebelumnya di Kenduri Cinta-Indramayu-Pemalang.
Sejak komunikasi awal 2020 itu saya belum berjumpa beliau lagi. Tahun 2022 lalu saat Bu Anne bersama CNKK di Malang, saya masih di Chicago. Tahun 2017 sebelumnya saya sempat sedikit berbincang dan mewawancarai beliau di Kadipiro. Dari perbincangan itu, yang saya ingat hanya masih kagetnya beliau, kok bisa-bisanya Donald Trump jadi presiden negaranya.
Saya sungguh terkesan dengan persahabatan dan kekeluargaan Bu Anne kepada Mbah Nun dan KiaiKanjeng. Persaudaraan yang tulus begitu lama, 27 tahun. Bu Anne adalah satu dari sedikit orang dan ilmuwan yang mencatat dan menyaksikan betul kiprah CNKK dalam membantu mendialogkan masyarakat dalam konflik horizontal di Indonesia setelah reformasi. Catatan saintifik itu telah beliau tuliskan yang tergabung dalam buku Music and Conflict yang terbit 2010, dalam tulisan berjudul Performing Religious Politics: Islamic Musical Arts in Indonesia.
Pada tahun yang sama Bu Anne juga merilis bukunya Women, the Recited Qur`an, and Islamic Music in Indonesia. Sebagai profesor etnomusikologi, beliau menangkap CNKK dalam pengabdiannya kepada masyarakat melalui bentuk yang kini kita kenal sebagai Sinau Bareng, sebagai sebuah fenomena yang unik. Sebuah potret antropolgi Maiyah. Itu beliau tuangkan dalam bagian Performing Piety through Islamic Musical Arts. Buku ini pada tahun 2019 telah diterbitkan Mizan dalam versi Bahasa Indonesia dengan judul Merayakan Islam dengan Irama yang diberi catatan endorsemen oleh Mbah Nun.
Catatan lain dari Bu Anne mengenai KiaiKanjeng dituliskan dalam The Arab Musical Aesthetic Islam in Indonesia yang secara prosiding diterbitkan dalam Musical Reverberation from the Encounter of Local and Global Belief Systems tahun 2005. Beliau dengan baik mencatat posisi KiaiKanjeng sebagai variabel gamelan dakwah. Utamanya pada masa kekacauan reformasi, Bu Anne melihat Mbah Nun dan KiaiKanjeng melakukan gerakan sosial melalui musik dan shalawat. Ketika itu Mbah Nun dan “mini” KiaiKanjeng dilihatnya turun tangan ke perkampungan demi perkampungan di Jakarta yang kacau akibat kerusuhan, untuk melakukan penyembuhan hati rakyat kecil melalui perbincangan dan shalawat bersama.
Namun, lebih dari semua catatan itu, bagi saya yang penting adalah ketulusan persaudaraan semuanya. Bu Anne yang sering kali menempuh 20 jam penerbangan ke Indonesia dan selalu kangen Mbah Nun dan KiaiKanjeng ketika sudah tiba.
Seperti yang disampaikan Bu Anne pada akhir Tawashsulan di Kadipiro hari Rabu kemarin. Bahwa setiap acara Mbah Nun dan KiaiKanjeng selalu luar biasa kreatif dan inklusif, sehingga Bu Anne merasa pasti ada tempat buat beliau di KiaiKanjeng. Karena itulah beliau selalu ingin bertemu. Dan Bu Anne juga bertestimoni, Rumah Maiyah Kadipiro adalah tempat yang paling kreatif sepanjang pengalaman beliau di Indonesia.
Siapa tahu kelak Allah masih berkehendak memperjalankan Mbah Nun dan KiaiKanjeng ke Amerika lewat Bu Anne lagi. Karena dari lima benua di bumi-Nya, hanya benua Amerika yang belum disinggahi KiaiKanjeng.
Kalau suatu ketika nanti benar-benar jadi ke Amerika dan saya masih di sana, mungkin Mbah Nun dan KiaiKanjeng cukup saya ajak ke dua tempat. Ziarah ke makamnya Muhammad Ali dan ke surganya batu akik di Atlanta. Hehe.[]
Pinggirsari, 3 November 2023