CakNun.com

40 Tahun Dekolonialisasi Cak Nun

Jamal Jufree Ahmad
Waktu baca ± 6 menit

Cakupan pemikiran Cak Nun memang begitu luas dengan topik pembahasan yang beragam. Bentuk pengomunikasiannya pun cukup kreatif, melalui berbagai medium baik puisi, esai, pertunjukan drama, ceramah, seminar, pementasan musik, dramatic reading, dlsb. Kreativitas dan daya jangkau Cak Nun ini terkadang sering menyulitkan akademisi dalam mengategorisasikan karya-karyanya.

Namun setidaknya ada satu benang merah paradigma yang secara konsisten Cak Nun lakukan sejak lebih dari 40 tahun lalu. Semua terkandung dalam berbagai karyanya. Para akademisi Barat beberapa tahun belakangan menggandrungi paradigma ini–decoloniality. Apa sih maksudnya?

What is Decoloniality?

Makna decoloniality atau dekolonialisasi paling sederhana ialah proses sebuah bangsa atau negara koloni memerdekakan diri secara politik dari penjajahnya. Tujuannya adalah menghapus kendali negara penjajah dan memutus garis subordinasi yang menjadikannya sebagai wilayah jajahan.

Sedangkan substansi dekolonialisasi ialah pembongkaran cara berpikir dari hegemoni paradigma kolonial. Kemudian, substansi itu masuk kepada dekonstruksi kelembagaan, sosial, budaya, dan struktur simbolis yang mengikat aktivitas keseharian masyarakat agar mampu menolak kepentingan, hirarki, dan narasi yang dipaksakan dari kekuatan eksternal.

Melalui ragam karyanya yang mengkristal menjadi Maiyah–tanpa menyadari istilah yang sedang tren ini, Cak Nun mengupayakan proses dekolonialisasi secara substantif kepada seluruh anak bangsa. Sebab secara politik, bangsa nusantara telah memroklamirkan diri untuk merdeka, dengan pilihan negara berbentuk republik.

Sebelumnya, Bung Karno juga melakukan upaya dekolonialisasi yang sangat keras dan ekstrem, dengan Demokrasi Terpimpin-nya. Sejarawan Denys Lombard dalam masterpiece-nya, Nusa Jawa Silang Budaya dengan sangat apik mencatat 20 tahun perjuangan dekolonialisasi Bung Karno lewat politik berdiri di atas kaki sendiri (berdikari).

Bung Karno, menurut Lombard, selalu menyangsikan modernisme yang lahir dari rahim peradaban Eropa, karena konsep ini hampir tidak mengilhami apa-apa kecuali beberapa bangunan besar di Jakarta. Bung Karno tetap setia kepada ajaran rekannya, Ki Hadjar Dewantara, yang sangat dikaguminya, yang mengisi “identitas” Indonesia dengan substansi Timur yang mengakar pada 1000 tahun budaya nusantara. Salah satu identitas itu mewujud dalam Bahasa Indonesia.

Namun upaya menetapkan Bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa nasional, dengan menyingkirkan secara total bahasa Belanda dalam kurikulum pendidikan, membuahkan collateral damage di kemudian hari. Kerusakan yang tak diinginkan ini berupa terputusnya generasi bangsa dari sejarah dan pengetahuan tentang khazanah peradabannya sendiri.

Ini disebabkan oleh sudah sangat banyak manuskrip dan informasi leluhur yang dibawa ke Belanda, diteliti di sana, diolah, dan kemudian pengetahuan itu diproduksi dalam bahasa Belanda. Kita yang sudah tidak menguasai bahasa ini mengalami kesulitan mengakses. Sehingga, akibatnya transformasi diri menjadi sangat lambat.

Di tengah keterputusan itu, kekuatan kolonial yang disangka telah berakhir, justru bertransformasi. Kenyataan bahwa negara-negara jajahan semakin banyak yang berhasil memerdekakan diri, membuat negara-negara Eropa penjajah bersama Amerika Serikat mengubah strategi. Pertemuan di Hotel Washington di kota Bretton Woods, New Hampshire tahun 1944 menjadi momentum awal transformasi, dengan membentuk IMF dan Bank Dunia.

Terbiasa dengan Kolonialisme Gaya Baru

Mengingat penjajahan secara fisik menghabiskan biaya yang tidak sedikit dan sudah tidak efektif lagi, maka strategi baru penjajahan berikutnya dalam transformasi itu adalah berbentuk “bantuan” keuangan. IMF dan Bank Dunia adalah pelaksana pemberian “bantuan dengan syarat dan ketentuan berlaku”, alias tidak gratis, yang berkedok demi pembangunan.

Singkat cerita, Bung Karno sang penghalang neo-kolonial pun disingkirkan. Diikuti benteng berdikari yang akhirnya runtuh. Pengetahuan komprehensif kita tentang leluhur sudah terlanjur terputus. Situasi seperti ini, seolah menjadi sempurna, menjadi ladang subur untuk ditanamkan pembaratan secara total.

Indonesia kemudian memasuki Orde Baru. Pembangunan dengan paradigma neo-kolonial pun bermula. Casing penjajahannya berubah, tetapi software-nya tetap sama. Istilah akademis untuk perangkat lunak itu adalah colonial modality. Yaitu istilah yang mengandung paradigma merendahkan, atau ‘kami’ lebih baik dan beradab daripada ‘kalian’–karenanya perlu diperadabkan.

Dalam konteks neo-kolonialisme masa Orde Baru itulah Cak Nun memulai dekolonialisasinya. Cak Nun menyadari kondisi Indonesia masih terjajah, tetap tidak bisa menjalankan politiknya sendiri yang selalu menjadi objek kepentingan politik bangsa lain. Bangsa ini masih hidup dalam ilusi bisa berekonomi sendiri, padahal sejatinya mereka menjadi objek ekonomi. Pendek kata, Indonesia tidak bisa menjalankan syarat-syarat hidupnya secara bebas, karena selalu ditekan oleh kekuatan asing untuk menjalankan syarat-syarat yang menguntungkan mereka.

Pengejawantahan neo-kolonialisme ini berjalan dari waktu ke waktu hingga rakyat Indonesia menerimanya sebagai kebiasaan. Ini terbawa sampai tingkat pemerintah pusat yang tak disadari telah bermental kolonial. Colonial modality termanifestasi dalam kebijakan pusat, yang memandang daerah tidak lebih paham kemajuan. Desa tidak ditanya pembangunan apa yang mereka butuhkan. Orang kota merasa lebih beradab dari orang desa.

Selain menggunakan perangkat politik dan ekonomi, penjajahan gaya baru ini memakai tools melalui sistem pendidikan dan media hiburan audio-visual. Sehingga praktek keterjajahan itu diterima masyarakat sebagai “kondisi normal”.

Ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari, persepsi, dan cara pandang terhadap kehidupan yang sangat Barat. Salah satunya, pandangan tentang kesuksesan hidup yang selalu dinilai dari pencapaian ekonomi. Dengan demikian, seperti dikatakan Bung Karno, rakyat jajahan adalah rakyat yang tidak bisa ‘menemukan diri sendiri’.

Dekolonialisasi Pengetahuan

Kata kunci ‘menemukan diri sendiri’ inilah yang tercermin dalam setiap pemikiran Cak Nun. Upaya-upaya ke arah sana bisa terlihat dalam karya-karyanya. Seperti naskah drama bersama Teater Dinasti yang selalu mengangkat khazanah negeri sendiri, bukan menyadur kisah-kisah Barat. Perhatikan pula gagasannya yang terekam dalam Sastra Yang Membebaskan.

Kemudian melalui Musik-Puisi, selain konten puisinya, aransemen gamelan yang menyelingi puisi merupakan ikon utama yang mewakili ketersambungan dengan masa silam. Hari ini kita masih menyaksikan kontinuasi nafas dekolonialisasi Cak Nun itu bersama Gamelan KiaiKanjeng. Prinsip menyambung kembali keterputusan dari sejarah masa lalunya ini masih dipegang sampai hari ini. Secara eksplisit bisa dilihat salah duanya, dari lagu Tombo Ati dan Ilir-Ilir.

Dalam sampul kaset album Perahu Nuh (2000), dengan sangat jelas Cak Nun menulis:

Ini album berupaya menghidupkan kembali kekayaan yang sudah dikuburkan oleh sejarah. Memungut kembali yang dicampakkan orang. Meninggikan yang direndahkan orang. Menghormati yang dihina orang. Mengingat yang dilupakan orang. Melantunkan yang diremehkan orang. Mendendangkan yang besok baru disadari orang. Menyumbang tumbuhnya kembali kepercayaan diri budaya masyarakat kecil.

Bersamaan dengan perjalanan Cak Nun dan KiaiKanjeng hari ini, di dunia akademisi Barat tempat gagasan neo-kolonialisme berasal, sedang tumbuh pula semangat decoloniality yang saya sebut di awal. Ia menjadi daya tarik yang kuat bagi generasi muda. Yang sedang popular di kalangan mereka saat ini adalah perlawanan terhadap segala manifestasi penjajahan dalam bentuk pengetahuan.

Dekolonialisasi pengetahuan, dekolonialisasi metodologi, atau dekolonialisasi epistimologi ini naik daun karena para akademisi menyadari sejak masa kolonial, para penjajah Barat memroduksi pengetahuan lewat para ilmuwan untuk menjustifikasi penjajahannya. Mengingat hampir semua disiplin pengetahuan yang dihasilkan bersamaan kebangkitan Eropa, terlibat dalam penjajahan.

Penanda aspek kolonial dari pengetahuan ini bisa diperhatikan dalam asumsi-asumsi yang dipakai. Seperti bagaimana pandangan mereka tentang manusia dan sejarah serta metodologi yang diterapkan dalam studi teks dan etnografi. Perhatikan pula istilah, teori, konsep, sampai struktur lembaga pendidikan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, semua tidak bisa lepas sebagai tanda kolonialisme.

Bias Kolonial dalam Berbagai Istilah

Saya menangkap ada ketertarikan dari kolega istri di University of Chicago Divinity School atas paradigma decoloniality ini. Kakak kelas istri dalam program S3 ini memandang problematika pemisahan konsep seni dan sains dalam paradigma keilmuan Barat.

Ketika kami melihat arsitektur Islam era Andalusia di kota Fes beberapa waktu lalu, dia mengungkap fenomena dalam seni arsitektur Maroko. Ratusan tahun silam, pada masa dibangunnya arsitektur yang kami kunjungi ini, tidak ada pemisahan seni dan sains dalam berkarya. Keduanya menyatu dalam konsep shina’ah. Dia berkesimpulan betapa pentingnya menggunakan istilah yang tidak bias modernisme. Atau dalam konteks tulisan ini, istilah yang tidak mengandung colonial modality.

Dari sini saya kemudian paham mengapa Cak Nun selalu berupaya menghadirkan istilah yang sebisa mungkin belum “najis”. Sesekali Pak Toto Raharjo – sahabat yang juga pelaku dekolonialisasi lewat jejaring LSM – menyarankan Cak Nun untuk menghindari istilah Arab yang menurut hematnya, masyarakat sekuler masih agak alergi.

Belakangan saya renungkan kembali, tampaknya istilah dalam bahasa Inggris maupun Indonesia banyak mengandung bias kolonial. Agar lepas dari bias itu, maka yang memungkinkan adalah dengan mengambil terminologi dari bahasa masyarakat sejak pra-kolonial. Mungkin inilah salah satu alasan Cak Nun banyak memakai kosakata bahasa Al-Qur`an (Arab) atau Jawa dalam tulisan maupun Maiyahan.

Dialektika Dekolonialisasi

Lebih dari itu semua, para akademisi Barat dari berbagai lintas disiplin ilmu semangat mendekolonialisasi, demi meruntuhkan sisa-sisa (dismantling of legacy) kolonialisme dalam pengetahuan dan wacana-wacana akademik. Agar konsep, teori, asumsi yang berbau kolonial, bernada merendahkan, dan selalu berupaya menguasai bangsa non-Barat, dapat lenyap dari disiplin ilmu-ilmu modern. Termasuk paradigma serba Barat yang selama ini diuniversalisasikan, harus didekonstruksi.

Pada akhirnya, perlu juga kita memperhatikan apakah upaya yang dilakukan Cak Nun memang benar-benar sejalan dengan semangat dekolonialisasi para akademisi Barat. Secara umum saya melihat sejauh ini, paradigma dekolonialisasi adalah yang paling cocok digunakan para akademisi untuk memotret laku perjuangan Cak Nun.

Catatan dari saya yang perlu diperhatikan adalah, apapun bentuknya, yang paling penting adanya proses dialektika. Kita tidak bisa menolak total modernisasi dan bias-bias kolonial yang terkandung di dalamnya. Masyarakat Indonesia sudah sangat lama terjajah yang bahkan sampai kini sebagian besar masih tidak menyadari masih terjajah. Karena semua itu sudah menjadi kenormalan hidup.

Kita tidak bisa serta-merta menyalahkan mental terjajah masyarakat yang telah menubuh, karena modernisasi adalah bagian dari sejarah yang tidak bisa dinafikan. Yang bisa dilakukan adalah terus-menerus saling belajar mencari titik temu bersama (sinau bareng) sehingga menghasilkan resultan yang sesuai perkembangan zaman.

Sungguh ironi bila melakukan dekolonialisasi tetapi dengan mental merendahkan khas kolonial. Prinsipnya adalah dengan mentadabburi, bahwa Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa untuk saling mengenal, bukan saling menguasai.

Cak Nun dan Pak Nevi Budianto sudah memberi teladan. Menyambungkan masa silam tidak dipaksakan hanya dengan saron, demung, bonang, suling dan kendang. Ia harus hadir menyatu bersama masa kini dari gitar, bas, organ, biola, sampai drum. Nada gamelan tidak bisa kukuh pendirian hanya dengan slendro dan pelog. Untuk menampung dunia, gamelan harus jembar melebarkan dirinya dengan sistem sorogan. Dialektika dekolonialisasi yang tidak merendahkan itulah Gamelan KiaiKanjeng.

***

Perjalanan panjang Cak Nun masih akan terus tergelar dan 40 tahun hanya sebatas pengingat yang tidak terlalu presisi. Bila pada tahun 1930-an para cendekiawan mengupayakan dekolonialisasi substantif dan akad politiknya berwujud kemerdekaan 1945, maka tahun 1970-an Cak Nun memulai esai-esai lepasnya dan akad bukunya kemudian terbit pertama kali pada 1983.

40 tahun lalu, buku itu terbit dengan judul Indonesia Bagian dari Desa Saya. Terdengar sangat dekolonial bukan?

Marrakesh, 22 Februari 2023

Jamal Jufree Ahmad
Staff Progress Sekretariat Cak Nun dan KiaiKanjeng. Redaktur dan desainer grafis CAKNUN.COM. Kontributor utama Wikipedia entri Emha Ainun Nadjib. Tinggal di Chicago.
Bagikan:

Lainnya

Mengakrabi Tuhan: Sajak-Sajak Religius Emha

Mengakrabi Tuhan: Sajak-Sajak Religius Emha

H.B. JASSIN pengamat dan kritikus sastra terkemuka Indonesia dalam komentarnya menanggapi perkembangan sastra budaya Islam, menyatakan optimis melihat kecenderungan-kecenderungan baru dalam kepuisian dewasa ini.

Saleh Abdullah
Saleh Abdullah
Umar Kayam
Umar Kayam

EMHA

EMHA
N. Riantiarno
N. Riantiarno

EMHA

EMHA

Topik