Sakit Si Meong Kami
Sore beberapa hari lalu, dalam perjalanan pulang dari kantor, saya menengok si ‘Macan’, kucing ragil kami yang saat itu sedang rawat inap di sebuah RS hewan di bilangan Sleman.
Si Macan memang sepuluh hari sebelumnya sempat gebres-gebres (bersin-bersin) sambil mengeluarkan ingus. Badannya lemas, ogah-ogahan makan dan minum. Ternyata si Michi juga menderita sakit serupa.
Mereka lalu kami periksakan ke klinik hewan langganan kami. Memang ada indikasi harus mondok, tetapi karena ruangan tidak tersedia maka kami bawa pulang dan kami rawat sendiri. Kucing ragil kami memang tidak pandai dalam menelan obat yang diberikan dokter. Hampir selalu dimuntahkan setiap kita minumi obat.
Mata kanannya yang merah dan bernanah seperti kalau kita belekan menambah lengkap sakitnya. Kami juga diberi obat tetes mata untuk si Macan. Sesudah lima hari minum obat kondisi Macan berangsur membaik. Sudah mulai makan, sudah usil lagi, sudah mulai berteriak, mengeong manja. Alhamdulillah membaik.
Namun dua hari kemudian saya dapati si Macan menyendiri, bersembunyi di bawah meja setrikaan. Saya dekati dia, tidak merespons. Akhirnya saya gendong dan saya peluk. Aaaah badannya hangat dan lemas. Pasti ada yang enggak beres.
Masih dengan kaos seadanya saya bawa si Macan ke klinik. Diperiksa dan diambil darahnya untuk diperiksa, serta diputuskan untuk mondok. Kucing ragil kami akhirnya diinfus dan dipondokkan. Saya berbincang dengan Pak Dokter yang memeriksa Macan, sambil menunggu hasil lab darah yang diperiksa.
“Akhir-akhir ini, mulai bulan Oktober, ruangan kami selalu full dengan pasien yang rawat inap,” kata beliau memulai obrolan kami. “Kebanyakan yang mondok adalah kucing yang terserang infeksi virus,” lanjutnya.
Nama penyakit yang sering diderita itu adalah Feline panleukopenia (FP) yang merupakan penyakit virus kucing yang sangat menular yang disebabkan oleh feline parvovirus. Nama lain penyakit ini adalah feline distemper. Virus ini tidak menginfeksi manusia. Virus ini ada dimana mana, dan bisa menginfeksi di semua umur kucing. Yang paling sering memang mengenai kucing yang berumur 3-5 bulan. Penyakit ini sangat menular kepada kucing-kucing yang lain.
Kucing dapat mengeluarkan virus ini melalui air seni, tinja, dan sekret hidungnya; infeksi terjadi ketika kucing yang rentan bersentuhan dengan sekresi ini atau bahkan kutu dari kucing yang terinfeksi. Kucing yang terinfeksi cenderung mengeluarkan virus untuk waktu yang relatif singkat (1-2 hari), tetapi virus dapat bertahan hingga satu tahun di lingkungan, sehingga kucing dapat terinfeksi tanpa pernah bersentuhan langsung dengan yang terinfeksi.
Tempat tidur, kandang, piring makanan, dan tangan atau pakaian orang yang menangani kucing yang terinfeksi dapat menjadi sarang virus dan menularkannya ke kucing lain. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengisolasi kucing yang terinfeksi. Bahan apa pun yang digunakan pada atau untuk kucing yang terinfeksi tidak boleh digunakan atau dibiarkan bersentuhan dengan kucing lain, dan orang yang menangani kucing yang terinfeksi harus mempraktikkan kebersihan yang tepat untuk mencegah penyebaran infeksi.
Virus penyebab FP sulit dimusnahkan dan resisten terhadap banyak desinfektan. Idealnya, kucing yang tidak divaksinasi tidak boleh masuk ke area di mana kucing yang terinfeksi telah divaksinasi, bahkan jika area tersebut telah didesinfeksi.
Kucing yang berumur lebih dari 3 bulan memiliki peluang lebih besar untuk bertahan hidup jika perawatan yang memadai diberikan lebih awal. Karena, tidak ada obat yang mampu membunuh virus.
Pada prinsipnya perawatan intensif dan pengobatan sangat penting untuk mendukung kesehatan kucing dengan obat-obatan dan cairan sampai tubuh dan sistem kekebalannya dapat melawan virus. Tanpa perawatan suportif seperti itu, hingga 90% kucing dengan penyakit ini dapat mati.
Perawatan berfokus pada memperbaiki dehidrasi, menyediakan nutrisi, dan mencegah infeksi sekunder. Meskipun antibiotik tidak membunuh virus, antibiotik sering diperlukan karena kucing yang terinfeksi memiliki risiko lebih tinggi terkena infeksi bakteri karena sistem kekebalannya tidak berfungsi sepenuhnya (karena penurunan sel darah putih) dan karena bakteri dari usus yang rusak dapat masuk ke saluran pencernaan dan aliran darah kucing dan menyebabkan infeksi.
Jika kucing bertahan selama lima hari, peluangnya untuk pulih sangat meningkat. Isolasi ketat dari kucing lain diperlukan untuk mencegah penyebaran virus. Kucing lain yang mungkin pernah kontak dengan kucing yang terinfeksi, atau kontak dengan benda atau orang yang pernah kontak dekat dengan kucing yang sakit, harus dipantau secara hati-hati untuk melihat tanda-tanda penyakit.
Demikian ilmu yang saya dapatkan dari Pak Dokter yang merawat si Macan, dan hasil lab dari si Macan mengarahkan ke penyakit ini. Lekosit (sel darah putih)-nya hanya 600 doang (nilai normal diatas 5.500).
Saya menunggu di ruang tunggu, sebelum saya dipersilakan masuk ke ruang perawatan si Macan. Setelah dipanggil saya ditemani paramedis memasuki ruangan si Macan. Dan perawat mempersilakan saya masuk ke ruangan. Saya lihat si Macan tertunduk lesu. Mulutnya mengeluarkan air liur. Matanya terpejam, badannya lunglai tak bertenaga.
Saya sapa si Macan, “Macan… acaannn…” Si Macan masih diam. Saya sapa lagi, sambil saya sentuh lembut kepalanya, “Macaaannn… Ayo bangun naak…”. Macan melek dan mencoba bersuara, tetapi tak ada suara yang keluar.
Hati saya hancur, mulut membisu tak mampu lagi memanggil nama si Macan. Saya tidak tega, saya tak kuat melihat penderitaannya. Air mata saya meleleh. Aah betapa cengengnya saya ini.
Saya lafalkan apa yang saya mampu smohonkan kepada Allah, sambil saya usap-usap kepala si Macan. Berharap kesembuhan dari Allah!
“Macaaan… acaan…,” sambil saya elus. Macan bangkit dari tidurnya seolah ingin minta gendong saya.
“Macan cepet sembuh ya naak….”
Dan macan bereaksi dengan mengeong yang tak ada suaranya. Hati saya tambah remuk, hancur berkeping-keping!
Dokter masuk ke ruangan, berdiri di belakang saya dan menjelaskan tentang treatment yang dilakukan untuk Macan. Saya masih menatap si Macan, sambil mengusap air mata saya yang meleleh di pipi.
Saat seperti itu saya teringat bahwa Rasulullah adalah sosok yang sangat menyayangi binatang. Para Sahabat pun mewarisi sifat sayang kepada hewan ini dari Rasulullah. Dalam sebuah riwayat, dikisahkan, suatu ketika Amirul Mukminin Umar bin Khattab sedang duduk di samping unta yang sakit. Ia duduk sembari menangis kemudian berkata, “Demi Allah, aku tidak mengerti apa yang tengah terjadi padamu. Aku sungguh takut; kelak Allah akan menanyaiku tentangmu dan meminta pertanggungjawabanku pada Hari Kiamat”.