CakNun.com

Ruang Cembung Keterhubungan Sosial

Majelis Ilmu Bangbang Wetan Surabaya edisi April 2022
Amin Ungsaka
Waktu baca ± 5 menit

Menjelang hari-hari terakhir puasa Ramadlan dan libur Hari Raya, Majelis Ilmu Bangbang Wetan mengadakan rutinan edisi April, pada Hari Rabu (27/4) di Kayoon Heritage, Jl. Embong Kemiri 19-21, Genteng, Surabaya.

Dok. Bangbang Wetan

Rutinan kali ini mengangkat tema “Paraonah Alajârâh”. Suatu tema tentang kemaritiman yang berarti perahunya akan berlayar. Tema tersebut sengaja diangkat untuk menjadi keberangkatan Sinau Bareng Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA (Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan ITS), Pak Suko Widodo, Cak Meimura (Seniman Surabaya), Heraldha Savira (Duta Baca Jawa Timur), Mas Joko Susanto, S.IP., M.SC (dosen Departemen Hubungan Internasional Unair), dan kebetulan hadir juga Cak Armuji (Wakil Walikota Surabaya).

Pada sesi awal mbabar tema, Heraldha Savira, yang akrab dipanggil Ning Shasha ini, berbagi pengalaman menyuarakan semangat dan budaya membaca. Ning Shasha menceritakan pengalaman berada di Paguyuban Cak dan Ning Surabaya, Raka dan Raki Jawa Timur, dan terakhir menjadi satu-satunya Duta Baca Jawa Timur, yang selama ini keliling ke sekolah-sekolah dan komunitas pemuda dari berbagai latar belakang.

Ning Shasha berharap budaya membaca tidak menjadi keterpaksaan dan aktivitas yang membosankan sehingga anak lebih memilih bermain gadget. Ning Shasha berharap anak-anak merasakan bahwa aktivitas membaca menjadi suatu kenikmatan sebagai salah satu pilihan bermain yang menyenangkan.

Karena anak cenderung suka pada dunia ilustrasi, maka menurut Ning Shasa yang kita sodorkan kepada anak adalah buku yang beraneka gambar dan warna. Tujuannya supaya anak senang dan mempunyai rasa ingin tahu lebih sehingga tertarik membaca buku bacaan anak yang lain. Tujuan besar dari Duta Baca adalah mengentaskan masyarakat dari terjebak dalam berita hoaks yang disebarkan di media sosial, disebabkan kurang khasanah membaca.

Orkes Keroncong Mitra Surabaya membawakan nomor Pandangan Pertama untuk mengiringi para narasumber berjalan dari transit menuju panggung untuk duduk bersama jamaah, membedah tema dan berbagai pengalamannya.

Ruang Publik Terciptanya Keakraban Sosial

Pak Suko memantik diskusi dengan menyatakan bahwa kita sedang kehilangan keakraban sosial. Keakraban sosial memudar karena selama lebih dari dua tahun kita dilarang berkumpul karena pandemi. Keakraban sosial perlu dibangun kembali karena Surabaya ini adalah kota plural dan meeting point dari berbagai latar belakang suku dan daerah.

Tidak ada orang rukun sehebat Surabaya, dan perlu diketahui menurut Pak Suko Indonesia lahir dari Surabaya. Dari Penilih-lah Semaoen, Kartosuwiryo, dan Soekarno lahir dan dididik oleh HOS Tjokroaminoto, yang kelak menjadi pejuang kemerdekaan dan memimpin Indonesia.

Budaya Surabaya menjadikan masyarakatnya bebas menyuarakan pendapat dan ekpsresi. Misalnya, kalau melihat perempuan cantik, di Surabaya ada idiom, “bapake arek iku sunat nang endi?” Candaan tersebut melahirkan ekspresi keakraban di antara masyarakatnya.

Majelis Ilmu Bangbang Wetan ini menurut Pak Suko menjadi salah satu ruang publik untuk menciptakaan keakraban sosial, yang dibangun setiap bulan.

Belajar Konsep Ruang dari Laut

Menuju bahasan tema, Mas Acang berbagi pengamatan bahwa karya batik Madura terutama lahir dari istri para nelayan yang sedang menunggu suaminya pulang berlayar. Para istri nelayan memilih membuat batik untuk meneguhkan nilai kesetiaan menunggu suami pulang nelayan. Begitu juga dengan sang suami ketika akan pergi melaut, dia harus siap mati dan pasrah terhadap hasil yang didapatkannya ketika berlayar.

Kesiapan para nelayan untuk mati karena mereka tidak pernah tahu kondisi yang akan dihadapi ketika berlayar, dan kepasrahannya kepada Tuhan akan mendapatkan hasil yang akan dibawa pulang, menjadikan manusia pesisir terkesan keras.

Mas Acang meneguhkan keyakinan jamaah dengan mengajak bahwa kalau memang perahu kita sudah akan berlayar, maka kita harus mempersiapkan dengan baik dengan memilih dan memilah apa yang perlu dibawa dalam perjalanan hidup kita.

Sebagai ruang publik, menurut Pak Daniel, maritim itu visi ruang bukan visi komoditi. Ruang itu konsep yang agak complicated. Sama halnya pelajaran Fisika yang complicated, maritim sebenarnya adalah pelajaran ruang dan waktu. Ketika kita membahas ruang sekaligus waktu, isu penting dalam ruang itu adalah mobility dan connectedness (keterhubungan).

Kalau dalam teori ruang, ruang publik seperti Majelis Ilmu Bangbang Wetan membuat ruang semakin cembung. Ruang semakin cembung artinya semakin positif dan mengurangi jarak. Kalau ruang itu cekung akan menimbulkan jarak.

Mengembangkan Kemaritiman

Dimensi ruang dapat kita rasakan ketika kita berada di Pelabuhan Ujung dan mencoba masuk ke kapal. Kita merasakan keheningan dari riuh rendah aktivitas orang-orang di daratan. Menurut Pak Daniel kita selama ini kurang mengapresiasi konsep ruang yang ada di laut, dan kita selama ini lebih fokus pada komoditi ikan, tambang, kopi, dan kelapa sawit. Kita selama ini lupa ada aspek dalam ruang trade dan commerce. Itu yang menjelaskan kenapa Belanda dahulu fokus pada penguasaan maritim, sehingga menguasai perdagangan. Maka waktu VOC menjadi kongsi dagang terkaya di dunia pada zamannya dan ekonomi kita baru bisa menyamai Belanda sekitar tiga tahun yang lalu. PDRB-nya sekitar seribu triliun.

Dok. Bangbang Wetan

Mengingat negara kita yang besar dan beraneka ragam sumber daya alamnya, menurut Pak Daniel kita mestinya bergerak ke konsep ruang atau bercara pandang ruang. Contoh negara yang sukses bercara pandang ruang adalah Belanda dan Singapura. Kedua negara itu wilayahnya kecil tetapi kaya. Karena mereka mampu memanfaatkan posisi di ruang wilayah negaranya.

Pak Daniel mengajak belajar dari pengalaman Suramadu yang menurutnya pembangunannya terjadi karena kesalahan konsep memandang. Dipikir dengan membangun jembatan Suramadu, Madura akan lebih dekat dengan Jawa. Kenyataannya malah lebih jauh. dilihat dari segi keterhubungan, pulau Madura ketika dihubungkan dengan jembatan membuat ruang Jawa Timur menjadi cekung.

Dampak ekonomi regional bagi penduduk Madura tidak terbukti meningkat. Jadi kesalahannya ada pada logika manusia pulau besar, ketika melihat selat sama dengan sungai. Di ruang cekung, jembatan itu memang dibuat untuk menyelesaikan masalah jarak. Tetapi jembatan ruang cembung yang menghubungkan antar pulau justru tidak menyelesaikan masalah jarak. Karena itu, kita harus tahu bedanya sungai dengan selat. Sungai itu arus airnya satu arah dari hulu sampai hilir, sedangkan pada selat arus airnya bisa ulang-alik karena tidak ada perbedaan ketinggian.

Surabaya yang semestinya menjadi pusat maritim ini perlu lebih fokus meningkatkan teknologi perkapalan, yang menjadikan ruang Jawa Timur tidak berubah. Sehingga pulau Madura dan Jawa bisa dihubungkan secara dinamis, dengan memanfaatkan layanan teknologi perkapalan.

Jadi kita harus kembali ke cara berpikir pulau besar yang sebagian diwariskan oleh Belanda yang sukses menguasai kemaritiman dan sekaligus perdagangan. Jadi kita bersama ITS yang memiliki Teknik Perkapalan yang diresmikan oleh Bung Karno pada Tahun 60-an ini, membangun misi utama mengembangkan kemaritiman.

Kembali ke konsep ruang, ruang publik seperti Majelis Bangbang Wetan ini manfaatnya adalah meningkatkan keterhubungan dari keterpecahan yang diakibatkan misalnya oleh kecurigaan dan ketidakterbukaan di antara masyarakat Surabaya. Sehingga Majelis Ilmu Bangbang Wetan ini menurut Pak Daniel menjadi self organized learning environment. Satu lingkungan belajar yang kita organisir secara mandirii. Jadi konsep learning Sinau Bareng ini menjadi bagian dari cara kita menghadapi hujan deras informasi di internet.

Cak Armuji, Wakil Walikota Surabaya yang turut hadir malam itu, mencoba menjembatani proses Sinau Bareng Majelis Ilmu Bangbang Wetan bisa kembali lagi ke pelataran komplek Balai Pemuda, tempat sejarah panjang lahir dan hidupnya Majelis Ilmu Bangbang Wetan yang sudah berjalan 15 tahun.

Menurut Cak Ji, semenjak dibangunnya alon-alon Surabaya di komplek Balai Pemuda, yang menjadi tempat berkumpulnya pemuda dari berbagai latar belakang, semestinya harus dilengkapi dengan hadirnya lkembali Majelis Ilmu Bangbang Wetan untuk melengkapi kegemaran para pemuda Surabaya selain berkumpul di sana sekaligus mendapatkan ilmu baru yang semoga bermanfaat.

Surabaya, 28 April 2022

Lainnya

Reportase Bangbang Wetan Agustus 2014

PENGGIAT Maiyah yang sekaligus ‘panitia’ acara maiyahan rutin Bangbang Wetan Surabaya, Dudung, mengawali forum malam itu dengan menyapa jama’ah sekaligus bersilaturahmi memanfaatkan momentum perayaan Hari Raya Idul Fitri.

Arbangi Kadarusman
Arbangi K.

Topik