CakNun.com
Sebuah lakon tradisi

Perahu Retak (11/17)

Cermin perselisihan

Jawa - Islam

di awal Kerajaan Mataram
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit
Naskah Drama Perahu Retak karya Emha Ainun Nadjib.

Sebelas

(Perhatian Tumenggung Cekal Birowo dan Karang Gumantung serta Warok Gagang Subendo dan Wongso Jolego terpusat kea rah datangnya suara tembang itu)

JOLEGO : Syech Jangkung!

SUBENDO : Apakah itu tembang kematian untuk meremas jantung keduaTumenggung yang bertangan sangat kotor itu?

(Ternyata kemudian muncul Syech Jangkung bersam Kiai Tegalsari)

TEGALSARI : (Ke sebuah arah) Jiman dan Kijing!Cepatlah kalian krmabali ke Trembesi. Katakan kepada teman-temanmu, juga kepada Kalong dan Jambu, bahwa kami akan segera tiba untuk menuntaskan kecurangan itu!

JIMAN-KIJING : Ya Kiai! (Terdengar langkah kaki mereka).

JANGKUNG : Hei kamu dua Tumenggung! Kami ini sudah sangat tua untuk tahu bahwa tugas para pemimpin adalah membukakan jalan. Tapi kami masih terlalu muda untuk mengerti bahwa ternyata tugas para penguasa adalah menutup jalan!

TEGALSARI : Tapi kami berterima kasih kepada Mataram yang telah mengajarkan kepada kami bagaimana menjalankan kecurangan dan kebetinaan.

JANGKUNG : (Membusungkan dada, menegakkan leher dan merentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi)

Kiai! Di dalam diriku ada seekor binatang yang amat buas dan sangat kuat. Perjuangan hidupku sejak masa mudakau sampai hari terakhir hidupku kelak, adalah memenjarakan binatang itu di dalam dadaku. Akulah Hanuman yang menghimpit Rahwanaku sendiri di antara dua gunung. Yang satu nurani atau iman, yang lainnya akal sehat atau kesadaran.

(Menggeram)

Alangkah nikmatnya mencekik dua Tumenggung itu. Alangkah sedap mencucup darah mereka dan mengunyah-ngunyah daging mereka. Kemudian menginjak-injak sisanya agar menyatu dengan lintah dan cacing—cacing yang toh merupakan hakekat hidup mereka.

Kiai! Kalau kuingat para priyagung, kalau melintas di benakku bagaimana mereka bisa melenyapkan nyawa siapapun yang mereka sukai.

Kiai!Kiai! Hanumanku bagai kehilangan alsan untuk tidak mengizinkan Rahwana lepas melesat dari himpitandan pasti melumatkan segala yang harus dilumatkan. Dan seandainya itu kulakukan, aku Tuhan tidak akan memaafkanku, tetapi setidaknya Ia memahamiku!

(Berteriak bagai membelah langit, kemudian terduduk lunglai)

SUBENDO : Ayo lakukan, Syegh, Lakukan.

JOLEGO :Bersama kami. Bersama kami.

SUBENDO : Kalau kita masuk sel penjara Tuhan bersama-sana.

JOLEGO : Kita mungkin menangis di sana. Tapi setidaknya geram hati kita terhadap dunia yang tak tahu diri ini telah kita lepaskam.

SUBENDO : Kami para warok ini tentulah bukan turunan atau pengikut para Wali Agung pendiri Kesultanan Demak. Tetapi sejelek-jelek, pantang untuk menjadi bebek-bebek yang dicambuk oleh punggawa-punggawa Nyai Roro Kidul.

TEGALSARI : Ki Warok berdua.Tenteramkan hati kalian berdua. Sebab Sywgh Jangkungpun menenteramkan hatinya, Hanya saja caranya yang memang aneh.

JOLEGO : Kami tidak tega Syech yang kujunjung tinggi ini memukul dirinya sendiri pada saat yang semestinya ia memukul orang yang memang pantas dipukul.\

TEGALSARI : Ki Tumengung. Inilah tetumbuhan dari benih-benih yang Mataram taburkan. Benih pertentangan yang akan berlangsung berabad-abad lamanya. Benih yang kelak akan berkembang menjadi pohon-pohon besar, yang akan tetap hidup meskipun kelak Mataram tidak akan bernama Mataram.

SUBENDO : sebentar, Kiai. Yang kiai maksudkan dengan pohon itu apakah pohon Trembesi, nangka, jati, keningar, ataukah pohon waringin?

JANGKUNG : Itu tergantung zamannya, Ki Warok.

JOLEGO : He! Syech sudah tersenyum kembali.

TEGALSARI : Aku sudah bilang, ia selalu tenteram, meskipun angsarnya panas, Ki Warok.

JANGKUNG : Pohon raksasa itu akarnya merambah tanah, daun-daunnya menutupi hampir seluruh kebun, sehingga tetumbuhan lain amat sedikit yang bisa tumbuh di sekitarnya.

SUBENDO : Betapa inginnya aku menebang pohon itu sekarang juga.

JANGKUNG : Yang dua itu bukan pohon, Ki Warok. Mereka hanya ranting kecil yang bisa patah sendiri oleh tiupan angin.

TEGALSARI : Eman-eman tangan perkasa Ki Warok berdua kalau harus berurusan dengan ranting-ranting kecil. Padahal kalau mereka berdua ini mati, pohon yang ditanami oleh Mataram ini akan makin berkembang menjadi-jadi. Akan terjadi pertarungan amat panjangpanas maupun dingin, yang aku tidak bisa menemukan kapan dan dimana ujungnya.

CEKAL : Maafkan kami, Kiai dan Syech yang kami hormati. Betapa tololnya otak kami. Dan barangkali itulah sebabnya tak satupun dari kata-kata Kiai dan Syech yang berhasil kami pahami….

JANGKUNG : Diaaam! (Membentak sangat keras. Berdiri, menghampiri kedua Tumenggung dan menuding mereka).

Pergi. Kalian pergi. Supaya tak kuludahi muka busuk kalian dengan ludah api. Pergi!!!

(Terbirit-birit lari kedua Tumenggung itu berlari)

Lainnya

Perahu Retak (16/17)

Perahu Retak (16/17)

Mataram dan agama baru yang dipeluknya sedang diuji. Apakah mereka akan melangsungkan perkawinan dan bekerjasama yang seimbang dan adil, ataukah akan saling menjadi musuh di belakang kegelapan masing-masing.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik