CakNun.com
Sebuah lakon tradisi

Perahu Retak (16/17)

Cermin perselisihan

Jawa - Islam

di awal Kerajaan Mataram
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 7 menit
Naskah Drama Perahu Retak karya Emha Ainun Nadjib.

Enam belas

(Justru kelompok Ki Marsiung yang mendatangi para santri)

MARSIUNG : Aku dengar kalian memintaku agar datang ke sini dan mempertanggungjawabkan perbuatanku. Perbuatan apa he? He? Perbuatan apa?

ANAK BUAH MARSIUNG : Kami ini laki-laki! Dan kami menantang orang-orang yang mudah-mudahan juga laki-laki!

PARA SANTRI : Kami hapal bagaimana cara seorang betina meyakin-yakinkan diri bahwa ia adalah laki-laki!

MARSIUNG : Kalau begitu buktikan dengan berkelahi!

(Muncul Warok Wongso Jolego, sebentar kemudian muncul juga Ki Carik Sukadal)

JOLEGO : Ya! Berkalhi!

SUKADAL : Warok Wongso Jolego! Apa urusanmu dengan persoalan ini?

JOLEGO : Berkelahi!

SUKADAL : Berkelahi itu perkerjaan anak kecil. Kita orang tua mestinya menahan diri.

JOLEGO : Marsiung itu sudah besar!Terutama kepalanya!

SUKADAL : Di pihak mana kamu berdiri?

JOLEGO : Tidak di pihakmu!

MARSIUNG : Bandit! Sejak kapan kaum warok berdiri di sisi kaum santri?

JOLEGO : Sejak musang itu menerkam anak-anak ayam dari belakang!

SUKADAL : Lho, bagaimana Ki Warok ini katanya membela para santri. Tapi kok menghina mereka?

JOLEGO : Menghina bagaimana?

SUKADAL : Ki Warok menyebut merka anak ayam.

(Terdengar suara Raden Mas Kalong dari kejauhan)

KALONG : Ayo laki-laki! Sejak kapan laki-laki mengungkapkan diri hanya dengan mulut?

JOLEGO : Sabar, Nakmas Kalong. Kami masih harus ,erundingkan siapa di antara kamu yang paling berhak meminumm darahyang sebentar lagi mengucurdari leher Marsiung!

MURTADLO : Aku paling berhak memenggal kepalanya. Tapi biarkan tak usah aku yang meminum darahnya. Itu akan mengotori anak turunku kelak.

MASRIUNG : Ayo silahkan! Silahkan!

(Nyi Demang sendangsih akhirnya mengetahui pertemuan yang tidak atas izinnya itu hamper hilang kesanarannya)

SENDANGSIH : Diam semua, bintang-binatang! Apa gunanya matahari terbit setiap hari, apa gunanya waktu bergulir dan kearifan hidup bertaburan di angkasa, kalau kalian tetap saja akan berkelahi dan berkelahi!

SUKADAL : Maafkan, Nyi Demang. Telah kucoba dengan mengerahkan seluruh kesabaran untuk meredam mereka, tapi nampaknya jiwa bintang memang sudah menguasai manusia.

MARSIUNG : Nyi Demang! Seandainya para santri ini tidak datang mengganggu rayat kita, tentu malam ini aku bercengkerama dengan cucuku di rumah.

JIMAN : Dan kalau cucu sudah tertidur, Ki Marsiung akan pergi ke rumah Pak Janu untuk mengganggu anak gadisnya.

MARSIUNG : Druhun!

TIWUL : Apa Ki Marsiung melamar aku saja untuk istri kedua?

WULUH : Aku juga mau, asal istri pertama KI Marsiung diceraikan.

KIJING : Tapi terlebih dahulu serahkan kepala Ki Marsiung kepada kami sebagai ganti nyawa Sahil!

PARA SANTRI : Hutang nyawa, tagih nyawa!

JOLEGO : Kalau soal menagih, akulah ahlinya!

SENDANGSIH : Diammmm!

(Kemudian muncul Ki Tumenggung Cekal Bhirowo dan Karang Gumantung sambil tertawa lirih tapi menusuk)

KARANG : Kepada siapa kalian mengih?

MARSIUNG : Biarlah mereka menagih kepadaku….

CEKAL : Tutup mulutmu!

(Marsiung dan anak buahnya sangat kaget oleh kedatangan dua Tumenggung itu. Langsung menunduk-nunduk dan menyembah)

KARANG : Kalau tak punya hutang, kenapa membayar hutang?

PARA SANTRI : Marsiung hendk membayar hutang, karena sadar ia memang punya hutang!

CEKAL : Tidak takut kepada Tuhankah para santri kalau dari mulut mereka meluncur kebohongan yang tak bisa mereka buktikan?

JOLEGO : Yang paling awal dihukum Tuhan adalah pembohong yang menuduh orang lain bohong.

KARANG : He, Jolego. Menyun! Mana kawanmu Gagang Subendo? Apakah ia sakit demam karena ketakutan?

JOLEGO : Ia justru mengobati Ki Mondoroko yan mungkin sakit-sakitan. Tanganku pun sudah gatal untuk mengobati sakit Tumenggung….

(Tiba-tiba muncul Nimas Jambuwangi sambil menggerundal)

JAMBUWANGI : Aku bosan. Terus terang aku busan. Ternyata memang sama sekali tak ada yang menarik pada laki-laki.

Memalukan. Memalukan. Aku perempuan, berani memakai pakaian laki-laki. Tak seorangpun dari laki-laki yang berani mengenakan pakaian perempuan. Padahal nyalinya betina.

Sekarang aku yang mengatur!

Kau Murtadlo, silahkan tanding lawan Marsiung. Anak buah kalian silahkan gulat dan saling pukul-pululan. Lantas dua Tumenggung licik itu biar diladeni oleh Ki Warok Wongso Jelogo dan….

SUBENDO : (Muncul) Jatahku! Dia jatahku!

JAMBUWANGI : Bagus! Nyi Demang Sendangsih biarlah duduk di situ bersama Kakangmas Kalong, untuk menilai setiap pertarungan.

Dan kau Carik Kadal, tak usah melawan siapa-siapa. Ada dua sebab. Pertama, kau sudah akan terkencing-kencing sebelum bertanding. Kedua, aku sendirilah yang akan mencicang tengkukmu untuk diseret ke Mataram, karena kaulah yang membunuh santri Sahil!

(Semua bereaksi)
(Ternyata Carik Sukadal gemetar dan menunduk-nunduk)

SUKADAL : Aku tidak membunuhnya. Sumpah. Demi segala Jin Karang Kajiman. Sahil itu mbalelo melawan Ki Marsiung, sehingga aku terpaksa bertindak. Ini darurat. Darurat.

JAMBUWANGI : Aku juga akan mencincang pokalmu secara darurat….

KALONG : Sabar Nimas! (Menghampiri Kadal)

Orang tu jangan dibentak-bentak. Di samping jantungnya lemah, nyawanya juga gampang copot.

(Merangkul Carik Kadal)

Aku mohon Ki Carik Kadal tak usah berwajah pucat pasi seperti itu. Percayalah bahwa apapun saja yang terjadi, segala sesuatunya akan berlangsung tenang, tenteram, tenang, tenteram, tenang, tenteram……

(Tiba-tiba sekali, entah apa yang dilakukan oeh Kalong. Dengan lenguhan kecil dari mulutnya, tubuh Carik Kadal tiba-tiba lunglai dipelukan Kalong. Dengan tertawa kecil, perlahan-lahan anak muda itu kemudian melepaskannya dan menggeletakannya di tanah)

(Setelah suasana hening sesaat, Ki Marsiung memekik-mekik sejadi-jadinya dengan gerakan orang mengamuk. Tapi kalong segera menghampiri, menangkap satu tangannya, menekan suatu bagian lengannya — semua itu berlangsung sangat cepat, sehingga Marsiung lunglai dan teronggok ke tanah)

(Ketika anak buah Ki Marsiung hendak bereaksi, Jambuwangi menuding mereka sambil menatap tajam sehingga mereka tak berani bergerak setapakpun dari tempatnya)

(Juga tampak Warok Surobendo dan Wongo Jelogo dengan riang gembira dan temperamennya khas mengepung, menghalangi dan mempermainkan Tumenggung Karang Gumantung dan Cekal Bhirowo yang hendak berbuat sesuatu atas meninggalnya Carik Kadal)

JAMBUWANGI : Kalong, Kalong! Kenapa kakang lakukan itu?

(Mendadak terdengar tembang Palaran yang secara amat cepat bagaikan menyihir seluruh suasana)

KALONG : (Tampak kebingungan. Antara rasa lega melampiaskan sesak perasaannya, tapi juga ragu dan agak takut)

Ayo! Ayo! Siapa lagi? Ini Kalong, yang berdiri dengan dada tengadah!

Ayo kemari semua! Para Tumenggung yang tolol! Para priyagung Kerjaan beserta Danyang-Danyang Laut Kidul! Pusaka-pusak keramat! Dukun-dukun, angina, badai, naga dan banjir – semua dan siapa saja yang pernah berpikir untuk menggunakan rakyat kecil untuk alas kaki. Ini dada tengadah! Kalung! Ini kedua tanganku menantang kalian semua!

JAMBUWANGI : Kakang…..

(Tampak sayup-sayup di kejauhan sosok tubuh Syech Jangkung melakukan gerkan-gerakan yang mencerminkan amarah, hysteria, rasa keterjepitan, juga keragu-raguan)\

(Sesudh sosok itu lenyap, Kalong semakin dikuasai amarah. Sesekali berusaha menenangkan diri, tapi sesaat kemudian ia menghentakan suaranya dan hendak menghambur menuju dua Tumenggung. Tapi Jambuwangi menghadangnya)

JAMBUWANGI : Kakang! Jangan lakukan sesuatu yang kau tidak sungguh-sungguh paham, Kakang!

(Ke berbagai tempat ia menghadang Kalong)

Kau lihat siapa aku! Siapa aku! Lihat juga apa yang bias kau lakukan atasmu!

Aku kakak seperguruanmu, Kalong!

KALONG : (Teredam sedikit perasaannya. Menengkan diri)

Buakan, Jambu. Kau adalah adikku… Aku tak bias menggerakan tanganku atas aduikku…..

JAMBUWANGI : Aku murid Syech Jangkung, Kalong! Dan aku bisa melakukan segala sesuatu yang murid Syech Jangkung mampu melakukan! Ayo, mari, Kalong, mari kulayani!

JANGKUNG : (Muncul bersam Kiai Tegalsari)

Biarkan ia mempermalukan Gurunya, Janbu!

KALONG : (Berjalan ke sana ke mari, menunduk)

JANGKUNG : (Menggeram)

Biarkan ia memamerkan kekuatannya untuk membunuh seekore tikus. Hmmmm! Gemagah! Mbagusi! Picisan!

Biarkan ia mencoreng muka Gurunya di hadapan Ki Mondoroko dan setiap perjuangan anti kekerasan di tlatah Mataram.

(Terasa pergolakan jiwa Syech Jangkung)

Retak! Retak! Sekarang retak sudah!

(Syech Jangkung membara. Berhamburan ke sana ke mari, menggeram, berteriak, mendesah, melakukan gerakan-gerakan dengan tekanan besar dan memberat)

Retak! Retak!

(Di tengah lalu lalangnya, Syech Jangkung menghampiri Marsiung, memegangnya, menyembuhkannya dati totokan Kalong, sehingga Jogoboyo itu kemudian sehat kembali, berdiri, menggerak-gerakan tangan dan tubuhnya dengan gagah, sehingga Syech Jangkung membentaknya hingga orang itu< terjatuh kembali dan ditinggalkan oleh Syech Jangkung.

Syech Jangkung berlalu menjauh (exit), dibuntuti oleh Kiai Tegalsari)

(Raden Mas Kalong membeku di sebuah sudut, diawasi oleh Nimas Jambuwangi)

SUBENDO : Aku tidak punya Guru. Aku tidak akan pernah terlibat dalan persoalan-persoalan cengeng antara murid dan Gurunya. Kalau kucabik-cabik nyawa Tumenggung ini, tak akan ada yang mempersalahkanku!

CEKAL : Ayo! Ayo! Kalau badan warok-warok liar macam kalian ini akan kucampakkan di pategalan dan dicacah-cacah oleh burung-burung gagak, aku bukan hanya tak dipersalahkan, tapi bahkan akan mendapat pengharagaan nasional.

JOLEGO : Guruku adalah bumi dan langit! Guruku adalah pertimbangan dan kesetimpalan. Dan aku tahu perlakuan para Tumenggung ini atas daerah-daerah jajahannya sudah teramat menyakitkan!

KARANG : Aku ladeni! Mari, mari….

TEGALSARI : Ya, mari, mari Ki Tumenggung berdua. Sini, sini….

(Dua Tumenggung tak beranjak oleh panggilan Kiai Tegalsari, sampai kemudian Syech Jangkungmembentak mereka – Sini! Sehingga keduanya spontan berlari ketakutan menuju ke arah Kiai Tegalsari dan Syech Jangkung)

(Syech Jangkung kemudian duduk berperang melawn dirinya sendiri di sebuah pojok)

SUBENDO : Kiai! Kenapa Kiai merebut ransum kami?

TEGALSARI : Mereka berdua ini Tumenggung yang belum matang. Nanti Ki Warok bisa sakit perut kalau makan mereka.

JOLEGO : Kami lapar, Kiai, kami lapar!

TEGALSARI : O, kelak anak cucu kita memang ada yang selalu merasa lapar kalau belum makan manusia, makan kehidupan orang lain, makan hak-hak rakyat….tapi sebaiknya jangan Ki Warok yang menjadi pelopornya.

SUBENDO : Kami tidak makan Tumenggung, Kiai. Kami sekadar ingin mengunyah-ngunyah keserakahan mereka!

JOLEGO : Ngrokoti kebiasaan mereka yang sombong kepada orang kecil!

TEGALSARI : Bagaimana kalau Ki Warok berdua kuundang ke Pesantrenku untuk melakukan pertandingan melawan kedua Tumenggung ini, disaksikan oleh semua santriku?

SUBENDO : Sekarang, Kiai, sekarang!

TEGALSARI : Tentu, Aku yakin kaum warok memang selalu sanggup bangun dari kejatuhannya. Tapi aku ajak, cobalah menikamti kesabaran dan kesengan, Ki Warok.

SUBENDO-JOLEGO : Waaa! Waaa!

TEGALSARI : Murtaflo dan anak-anakku semua, segera selenggarakan pemakaman Ki Carik Sukadal.

PARA SANTRI : Ya, Kiai.

TEGALSARI : Anakku Jambuwangi.

JAMBUWANGI : Ya, Kiai.

TEGALSARI : Atas perkenan Gurumu, aku minta kau pergi ke Balai Kademangan bersam Nyi Sendangsih. Segera aku menyusul kalian untuk merundingkan segala sesuatu yang bersangkutan dengan meninggalkannya Carik Kadal.

JAMBUWANGI : Ya, Kiai.

(Nimas Jambuwangi menghampiri Nyi Demagn Sendangsih, menggandeng tangannnya dan berlalu)

TEGALSARI : Ki Jogoboyo!

MARSIUNG : (Tertunduk-tunduk) Ya, ya, Kiai….

(Ki Marsiung dan Murtadlo berdua mengangkat jenazah Ki Carik Sukadal, berlalu diiringi para santri yang lain serta anak buah Ki Jogoboyo Marsiung)

TEGALSARI : Ki Warok dan Ki Tumenggung berdua.

Sejarah bangsa kita sedang memasuki babakannya yang baru. Mataram dan agama baru yang dipeluknya sedang diuji. Apakah mereka akan melangsungkan perkawinan dan bekerjasama yang seimbang dan adil, ataukah akan saling menjadi musuh di belakang kegelapan masing-masing.

SUBENDO : Pakaian kami memang gelap, Kiai. Tapi hati kami silahkan buktikan. Begitu bukan, Adi Wongso Jelogo?

(Mereka berdua tertawa)

JOLEGO : Tapi kita jangan sombong, Kakang. Ki Tumenggung berdu ini juga bisa berkata : Pakaian kami memang indah gemerlap Kiai, sebagaimana jiwa kami…..

(Tertawa lagi makin keras)

CEKAL : Adi Karang Gumantung. Adakah telinga Adi mendengar suara lembu melenguh?

KARANG : Tidak, Kakang. Yang terdengar di telingaku malah anjing menggonggong.

SUBENDO-JOLEGO : Biarkan anjing menggonggong, beruan tetap berlalu!

(Meledak tertawa mereka)

TEGALASARI : Ki Warok dan Tumenggung berdua. Seandainya kelak yang bersaing dan berusaha saling menguasai adalah Jawa dengan Islam seperti Ki Warok dengan Ki Tumenggung sekarang ini, mungkin malah baik, sebab masyarakat yang sehat adalah yang memiliki dua kekuatan yang seimbang dan saling mengingatkan.

Tapi apa yang kelak terjadi tidak demikian. Yang Jawa tidak benar-benar Jawa, yang Isalam bukan sungguh-sungguh Islam. Yang Jawa memanfaatkan Jawa, yang Isalam menyalahgunakan Islam.

Musuh nilai Jawa terletak pada jiwa orang Jawa sendiri, dan musuh Islam bersemayam dalam diri orang Islam sendiri. Menjadi tidak jelas mana Jawa mana Islam. Juga tidak jelas mana Mataram. Yang jelas hanyalah sejumalah penguasa yang mengatasnamakan Jawa, Isalam dan Mataram untuk kepentingan kekuasaannya semata-mata. Oeleh karena itu, mari, Ki Warok dan Ki Tumenggung kuundang ke Pesantrenku. Kuundang untuk saling belajar kembali. Belajar bergaul, belajar bekerjasama, belajar menemukan titik temu di tegah perbedaan-perbedaan. Mari. Mari.

(Kiai Tegalsari melakukan satu kali tepuk tangan, yang membuat dua Warok dan Tumenggung itu terpana. Kemudian ia merangkul mereka untuk pergi)

TEGALSARI : Syech! Sungguh tidak gampang menjadi penggembala!

JANGKUNG : Sungguh gampang menjadi bebek atau musang yang menerkam-nerkam.

(Kiai Tegalsari, dua Warok dan Tumengung berlalu. Meninggalkan Syech Jangkung dan Raden Mas Kalong yang termangu-mangu)

Lainnya

Tikungan Iblis (Bagian 1/5)

Tikungan Iblis (Bagian 1/5)

Dulu kita bertanya kepada Tuhan: kenapa Engkau ciptakan manusia, yang toh pasti akan merusak bumi dan suka menumpahkan darah.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Tikungan Iblis (Bagian 5/5)

Tikungan Iblis (Bagian 5/5)

Aku, Iblis, bukan temannya Setan, bukan Mbahnya Setan, tidak segolongan, tidak separtai dan tidak seiman dengan Setan.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik