Panggungharjo Desa Min Haitsu laa Yahtasib
Memperingati capaian usia ke-76, Kelurahan Panggungharjo menggelar ”Malam Puncak Peringatan 76 Tahun Kalurahan Panggungharjo tadi malam, Jumat (23/12/02), bertempat di Kawasan Budaya Karangkitri Panggungharjo Sewon Bantul. Acara ini juga merupakan bagian dari acara ”Gelar Budaya Karangkitri”.
Salah satu agenda utama Malam Puncak ini adalah Kalurahan Panggungharjo me-launching Kawasan Budaya Karangkitri, Sekolah Akar Rumput (SEKAR), Buku Serial Jagongan Selapanan, dan Batik Panggungharjo. Untuk launching ini, Pak Lurah Wahyudi Anggoro Hadi memohon kesediaan Mbah Nun untuk hadir, meresmikan, dan memberikan doa untuk keberkahan Kalurahan Panggungharjo. Selain itu, masyarakat Kalurahan Panggungharjo juga diajak menikmati persembahan konser musik Letto.
Kalurahan Panggungharjo adalah model ideal desa berprestasi. Kawasan ini rajin menggondol prestasi nasional dan internasional. Dari desa anti korupsi hingga desa top pelayanan publik. Nama Panggungharjo harum di mata khalayak. Bahkan menjadi percontohan konsep merdesa sebenarnya.
Di antara keberhasilan langgam kepemimpinan, Lurah Panggungharjo jamak memperoleh angkat topi. Ia berlatar belakang apoteker jebolan Program Studi Farmasi UGM. Sentuhan sistem birokrasi besutannya acap membawa berkah. Persona Pak Lurah, begitu masyarakat memanggilnya, memboyong lentera harapan bagi pengembangan kawasan perdesaan.
Zaman ketika manusia ibarat “serpihan-serpihan” atas hasrat atau nafsu, Pak Lurah berhasil keluar dari kemelut macam itu. Ia berhasil menjadi manusia yang jangkep, utuh, kaffah. Jauh dari potret manusia fakultatif, Pak Lurah, menurut Mbah Nun, berhasil menjadi ahsani taqwim, sebagaimana maksud Tuhan menciptakan dahulu.
“Kita doakan, Mas Wahyudi ini oleh Allah dijaga diselamatkan dan karyanya dilestarikan oleh penerusnya. Amin Ya Rabbal alamin,” ucap Mbah Nun.
Hemat Mbah Nun, sosok seperti Pak Lurah ini selalu ada di setiap ranah. Dari urusan teknologi, pertanian, sampai kebudayaan. Persoalannya, orang seperti itu kerap tersingkir oleh sistem yang kurang menumbuhkan kreativitas dan inovasi.
Mbah Nun juga berharap agar model Panggungharjo menular ke berbagai tempat di Nusantara. Model ini bukan berarti meniru sama persis. Namun, spirit merdesanya menjalar ke berbagai wilayah melalui karakteristik masing-masing.
“Semoga Allah akan memperlebar karomah Panggungharjo ini ke seluruh Jawa Tengah, DIY, Jawa, dan Nusantara,” doa Mbah Nun.
Menyitir Al-Qur’an surah At-Talaq Ayat 3, Mbah Nun melanjutkan, Panggungharjo adalah yarzuqhu min haitsu laa yahtasib. Kutipan ini menunjukkan pemberian rezeki untuk rakyat Bantul dan Panggungharjo dari wilayah yang tak diperhitungkan.
“Jadi, [Panggungharjo] ini adalah desa min haitsu laa yahtasib. Desa yang oleh Allah ditandur dewe, disirami dewe, dicukulke dewe, diwohke dewe. Dan mudah-mudahan Allah nandur lebih banyak lagi Panggungharjo di seluruh Indonesia. Amin Ya Rabbal Alamin,” ungkap Mbah Nun.
***
Desa sebagai unit sosial sesungguhnya menghimpun pengalaman kolektif masyarakat di dalamnya. Pengalaman itu biasanya sekadar bersarang di benak pikiran. Kalau pun dibagikan kerap hanya melalui tutur tinular. Jarang ada desa punya kesadaran produksi pengetahuan.
Tanpa mengurangi daya magis tradisi kelisanan, Desa Panggungharjo menyodorkan keunggulan literat. Desa ini punya tradisi literasi cukup intensif. Yakni membikin buku satu bulan sekali.
“Panggungharjo dalam rangka mengonstruksikan pengalaman-pengalaman jadi pengetahuan, itu setiap bulannya menerbitkan satu buku. Itu tradisi keilmuan yang melampaui tradisi keilmuan universitas, Mbah,” tutur Pak Lurah kepada Mbah Nun.
Motivasi Pak Lurah sederhana. Selama ini apa yang disebut sebagai warisan konotasinya tanah atau objek bendawi. Padahal, sehimpun pengetahuan di dalam pengalaman kolektif merupakan warisan berharga.
“Relasi kuasa kita itu sangat lekat dengan relasi pengetahuan. Siapa yang punya pengetahuan dia yang berkuasa. Dan rakyat hari ini dibuat tidak punya pengetahuan. Pengetahuan kita dan data kita disimplifikasi pemerintah menjadi data statistik. Dan data statistik itu menjadi alat kendali pemerintah terhadap rakyatnya.”
“Data-data kita dihimpun, dikomodifikasi, dieksploitasi habis-habisan oleh swasta sampai kemudian Instagram lebih tahu kebiasaan kita daripada kita sendiri,” jelas Pak Lurah lebih lanjut.
Pemerolehan pengetahuan melalui publikasi tulisan diharapkan mengembalikan otoritas kekuasaan kepada masyarakat. Langkah ini disadari betul oleh Pak Lurah. Ia menyadari betapa publish or perish — menulis atau binasa — merupakan keniscayaan zaman, terlebih di era maha data seperti sekarang.
“Pemberdayaan [masyarakat] sudah tidak lagi mencukupi. Yang kita butuhkan adalah pemberkuasaan melalui aktualisasi pengetahuan warga desa. Ini harapan kita yang menjadi sumbangsih warga desa Panggungharjo kepada Indonesia untuk kembali punya daulat agar berelasi secara setara kepada pemerintah maupun swasta. Nyuwun estu dan berkah panjengenan sami. Matur nuwun,” tutup Pak Lurah.