Mensyukuri Hidup dan Kehidupan yang Berjiwa
Khususon ila Mbah Nun Ya Allah:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
قُلۡ اَعُوۡذُ بِرَبِّ الۡفَلَقِۙ
مِنۡ شَرِّ مَا خَلَقَۙ
وَمِنۡ شَرِّ غَاسِقٍ اِذَا وَقَبَۙ
وَمِنۡ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِى الۡعُقَدِۙ
وَمِنۡ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ
Artinya: Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar), dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan (perempuan-perempuan) penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya), dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki.” (QS: Al-Falaq)
Pertama saya ingin mengucapkan Sugeng Ambal Warso untuk Mbah Nun yang pada hari ini, 27 Mei 2022 genap berusia 69 tahun. Tulisan ini sengaja ditulis sebagai ucapan syukur bahwa Allah masih kerso memberikan nikmat berupa kehadiran Mbah Nun dan Maiyah. Mugi Allah Swt. masih menyayangi Maiyah dengan memberikan umur panjang untuk Mbah Nun, memberikan kesehatan, melindunginya dari berbagai mata dan pandangan jahat agar bisa menemani Jamaah Maiyah dan masyarakat Indonesia. Amin.
Kedua, mengapa tulisan ini saya awali dengan bacaan surah Al-Falaq? Tidak lain karena kegalauan saya, ketidakberdayaan saya, ketakutan saya setelah Mbah Nun menyampaikan permisalan ketiadaan beliau di dunia ini. Di usia beliau yang tidak lagi muda, saya benar-benar ketakutan, galau dan merasa belum siap jika Allah tidak mempertemukan jasadiyah beliau dengan jamaah Maiyah. Maka surat Al-Falaq ini adalah obat penenang, pelipur lara dan penumbuh keyakinan bahwa Allah memberikan obat untuk hati saya, jiwa saya yang sedang dirundung kesedihan melihat wajah beliau yang tidak sedang baik-baik saja.
Beberapa waktu lalu beliau meminta bantuan doa kepada jamaah Maiyah dengan melafalkan “ya Latif” nama Allah yang Maha Lembut. Beliau meminta kelembutan Allah untuk semua hal yang terjadi. Sependek pemahaman saya, jika wirid kelembutan Allah dilafalkan maka pasti ada “kekerasan” Allah yang sedang beliau hadapi. Semoga bantuan wirid kita (jamaah Maiyah) membantu membukakan jalan Allah untuk memberi kelembutan atas kekerasan yang terjadi, sehingga Mbah Nun tetap bisa membersamai, ngancani Jamaah Maiyah dan masyarakat Indonesia untuk ngangsu kaweruh.
Ketiga, Kemarin malam Majelis Maiyah Bangbang Wetan mengadakan rutinan tawasulan yang rutin dilaksanakan di komplek makan Mbah Sholeh (Sunan Ampel) di hari lahirnya Mbah Nun, Rabu Legi. Ketika tawasulan sedang berjalan dengan niat nyambung roso dengan beliau, pada titik puncak mahalul qiyam, tidak ada yang bisa membendung air mata saya untuk nyuwun syafaat Nabi Muhammad Saw. untuk Mbah Nun, kelembutan Allah Swt. untuk Mbah Nun dan doa Al–Falaq saya untuk Mbah Nun. “ Mbah Nun Ya Allah, Mbah Nun Ya Rasulallah” hanya itu yang saya lafalkan di tengah para jamaah yang sedang melafalkan mahalul qiyam. Kebiasaan menyelipkan doa di tengah para jamaah ketika melafalkan mahalul qiyam tidak saya lakukan untuk malam kemarin, entah hanya nama beliau yang saya ingat di tengah riunya bacaan shalawat. Semoga, semoga, dan semoga Allah selalu menjaga, melindungi beliau.
Niat sambung roso dengan Simbah ini adalah niat untuk merasakan suka-duka, pahit-getirnya menjadi manusia yang manusia. Berusaha madep mantep meskipun diremehkan, diasingkan, dibuang, dirampas haknya, tidak diberi keadilan. Penuntun jalan hidup yang berjalanan, diperjalankan, meresapi sanad pengalaman beliau sehingga bisa menjadi nubuwwah; belajar mensyukuri atas apapun yang diberikan Allah, ridla dengan kehendak-Nya dan Ikhlas melalui semua jalan yang diberikan-Nya.
Keempat, saya ingin mentadaburi puisi Umbu Landu Paranggi yang berjudul “Melodia”, puisi yang menurut saya adalah sebuah melodi kehidupan yang dituangkan beliau untuk merasakan CINTA ALLAH. Puisi ini yang menjadi “mantra” saya, ruang sambung roso kepada Mbah Umbu dan Mbah Nun dalam mensyukuri hidup dan kehidupan yang berjiwa, mensyukuri 69 tahun melodi kehidupan Mbah Nun, mensyukuri Cinta Mbah Nun untuk Jamaah Maiyah dan Indonesia, menyukuri kesetiaan beliau menemani Jamaah Maiyah dan Indonesia, menyukuri tiap nafas beliau, mensyukuri, mensyukuri, dan mensyukuri adanya Guru Bangsa EMHA AINUN NADJIB. Sekali lagi sugeng Ambal Warso, Mbah Nun.
Melodia
cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan
karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan
baiknya mengenal suara sendiri dalam mengarungi suara-suara luar sana
sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja
karena kesetiaanlah maka jinak mata dan hati pengembara
dalam kamar berkisah, taruhan jerih memberi arti kehadirannya
membukakan diri, bergumul dan merayu hari-hari tergesa berlalu
meniup seluruh usia, mengitari jarak dalam gempuran waktu
takkan jemu-jemu napas bergelut di sini, dengan sunyi dan rindu menyanyi
dalam kerja berlumur suka duka, hikmah pengertian melipur damai
begitu berarti kertas-kertas di bawah bantal, penanggalan penuh coretan
selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam deras bujukan
rasa-rasanya padalah dengan dunia sendiri manis, bahagia sederhana
di ruang kecil papa, tapi bergelora hidup kehidupan dan berjiwa
kadang seperti terpencil, tapi gairah bersahaja harapan impian
yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan
Sidoarjo, 26 Mei 2022