Lebaran, Mudik, Reuni, dan Syawal
Hari Raya Fitrah telah tiba. Banyak istilah dipakai dalam memaknai hari raya fitri ini. Ada yang bilang lebaran berasal ari kata lêbar, bukan lébar, bar: selesai. Kalau memakai istilah ‘lebaran’, maka Idul Fitri akan bermakna ‘selesai’ (puasa Ramadhannya) kemudian menyambut hari raya dengan sukacita serta riang gembira. Terbayang menu khas lebaran. Ketupat dengan sambal docang, dan sambal krecek. Atau lontong opor dengan segala macam asesorinya berupa sambal kreni, bubuk kacang serta krupuk udang!
Artinya, ‘lebaran’ di sini merupakan semacam ekspresi kegembiraan setelah lepas dari sebuah ‘kewajiban’ atau ‘kondisi yang mengekang’ dan kemudian lepas dari situasi itu. Lebaran juga kemudian bermakna sebuah ‘festivity’ dengan ketemu sanak saudara, orangtua, kawan lama, kawan sepermainan di kampung dan tak ketinggalan dihiasi dengan acara makan-makan. Ini adalah bentuk lebaran budaya yang terjadi di wilayah kita. Tentu baik dalam konteks silaturahmi dalam balutan kemesraan dalam keluarga dan masyarakat.
Mudik (melakukan perjalanan kembali ke udik), adalah rangkaian dari lebaran yang berkonotasi pulang ke kampung halaman. Ada image macet di tol, ada image kelelahan dan nantinya akan ada fenomena macet serta hiruk pikuk lautan manusia di tempat wisata. Tengok saja bagaimana macetnya jalan tol dari Jakarta menuju ke timur (ke daerah). Kalau orang Jakarta bilang menuju ke Jawa. Kata ‘Jawa’ ini bukan bermakna geografis tetapi lebih bermakna sosiologis-kultural. Makanya para pemudik yang berasal dari wilayah di luar Jakarta terutama dari Jawa Tengah dan Jawa Timur diistilahkan pulang ke Jawa. Kalau di Yogya pada H+1 dan seterusnya, kemacetan terjadi di sepanjang jalan Parangtritis (ke arah pantai) dan juga sepanjang jalan Wonosari (akses jalan ke pantai-pantai di wilayah Gunungkidul) yang memang elok. Ini baik dalam hal geliat ekonomi masyarakat.
Jangan lupa, waktu mudik lebaran ini dimanfaatkan juga untuk ber-reuni. Mulai dari reuni masa kuliah, reuni dengan teman masa SMA, teman SMP, bahkan reuni dengan kawan-kawan SD. Acara reuni ini diselenggarakan di tempat-tempat wisata, rumah-rumah makan, di café-café bahkan di hotel-hotel mewah. Sehingga, kalau tidak sejak awal pesan tempat, pasti nggak kebagian tempat untuk melakukan acara reuni. Tentu acara ini juga diwarnai tawa dan senda gurau akan kenangan-kenangan indah masa lalu.
Saya menanyakan fenomena ini kepada diri sendiri. Lama saya merenung tanpa memperoleh jawaban. Kemudian saatnya saya ditagih sama Yai Helmi, akhirnya saya tulis saja.
Syawal adalah sebuah momentum untuk ‘menceritakan’ kembali perjalanan Ramadhan mulai dari awal, tengah ataupun akhir Ramadhan. Ibarat perjalanan mudik sekeluarga dari ibukota saat ini (baca: Jakarta) lewat jalan darat non tol ke kampung halaman di Wonogiri. Pasti di sepanjang perjalanan akan melewati daerah-daerah dan kota-kota yang lengkap dengan karakteristik masing-masing daerah.
Kalau lewat jalur selatan, maka akan ketemu kota Bogor lengkap dengan cerita tentang kota Bogor. Mulai dari nama lain yaitu Buitenzorg, yang terjemahan bebasnya adalah kota yang damai, kemudian ciri khasnya adalah kota yang selalu mendapati hujan sepanjang tahun sehingga disebut kota hujan. Bogor adalah kota yang mempunyai istana kepresidenan, dengan makanan khasnya yaitu asinan Bogor, dan segudang cerita lainnya. Lepas kota Bogor naik ke puncak lewat Cipanas dengan pemandangan yang indah, kemudian lewat Cianjur, daerah penghasil beras yang juga disebut kota gudang beras.
Demikianlah daerah demi daerah dilalui lengkap dengan cerita daerah tersebut apakah itu legenda, cerita kepahlawanan, makanan khasnya maupun budaya khasnya.
Demikian pula perjalanan bulan Ramadhan, bulan yang selalu kita rindukan hadirnya serta kita tangisi manakala pergi. Maka di saat Syawal ini waktunya untuk menceritakan kembali perjalanan Ramadhan, lengkap dengan pernak-perniknya, bukan masalah bukbernya di mana, dengan siapa, dan makan apa. Bukan masalah telat sahurnya, bukan pula masalah kerja sambil terkantuk-kantuk. Akan tetapi bagaimana Ramadhan ini membasuh tubuh kita dan jiwa kita. Memberi ketenangan pikiran kita, ruh kita dan tentu tak lupa pengaruh terhadap tubuh kita.
Tentu puasa akan berpengaruh terhadap tubuh kita, tergantung bagaiman kita menyikapi ibadah puasa ini secara fisik. Apakah benar-benar ‘puasa’ dengan berkurangnya frekuensi, volume, dan jenis makanan yang menghasilkan sebuah resultante berupa penurunan berat badan dan meningkatkan physical fitness. Ataukah kita hanya menggeser waktu makan, bahkan menambah volume serta jenis makanan? Seperti yang terjadi di sebuah populasi di Jedah, Arab saudi, dan barangkali di sebagian masyarakat kita, yang menghasilkan fenomena naiknya berat badan, di akhir bulan Ramadhan.
Syawal adalah saat-saat kita kembali menceritakan perjalanan Ramadhan, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari hari. Perjalanan indah Ramadhan. Nikmatnya lapar. Tenteramnya jiwa ini. Sunyinya diri ini, sehingga porsi kedekatan dengan Allah jauh lebih banyak. Itulah yang perlu kita ceritakan di dalam bulan Syawal ini.
Jadi, tidak perlu terlalu sedih ditinggalkan Ramadhan, asal kita selalu membawa Ramadhan dalam jiwa kita. Kita hiasi kehidupan kita sehari-hari sesudahnya dengan napas Ramadhan. Kita jadikan hari-hari ini dan hari berikutnya, bulan ini dan bulan bulan berikutnya sebagai ‘Ramadhan’.
Ramadhan sepanjang masa.
Yogyakarta, April-Mei 2022