Hilangnya Kenikmatan Sikap “Kewajaran Hidup”
Pernahkah kita merenungkan sejenak bahwa ada kekhasan atmosfer ketika kita masih kecil — yang sudah tidak bisa kita rasakan ketika dewasa? Betapa rindunya kita untuk bernostalgia merasakan ‘rasa bermain’ seperti kita masih kecil dulu. Sedangkan untuk mengulanginya kita sudah kesulitan. Entah apa yang membuat kita rindu dan mau meluapkan rasa rindu itu tapi tidak bisa.
Itulah kehidupan yang membuahkan pengalaman yang asyik untuk dihikmahi. Menjadi kerugian besar bagi kita jika kita tidak mau belajar dari pengalaman sehingga kehilangan kenikmatan hidup. Kenikmatan hidup itu bukan soal rasa enak atau senang kepada sesuatu — melainkan kemampuan untuk tetap ajeg, tenang, dan tenteram terhadap setiap hal yang kita alami dan rasakan. Kita mengalami dan merasakan sepahit, setidak enak, dan sesakit apapun kondisi batin dan jiwa kita jangan sampai tenggelam kepada keadaan sehingga tidak bisa mengendalikan diri — seperti badan tanpa ruh.
Kenikmatan hidup itu lahir dari aktifnya ruh yang terus kita olah melalui cara kita menenangkan diri dan renungan yang melahirkan kesadaran yang mencerahkan. Memang sulit, tetapi itulah justru tantangan yang harus kita lalui — sebagai bentuk cara kita mengkhalifahi diri sendiri.
Atmosfer ‘rasa bermain’ ketika kita masih kecil selalu kita rindukan ketika kita menginjak dewasa tetapi justru menemui kegalauan, kekecewaan, kejenuhan dan bahkan frustrasi kepada keadaan yang kita hadapi. Apakah ada yang hilang dari ketika kita masih kecil dengan ketika kita sudah dewasa seperti sekarang ini? lantas apa yang hilang?
‘Rasa bermain’ itu sudah tidak bisa kita rasakan lagi ketika menghadapi keadaan dewasa ini? Sedangkan hati butuh kuda-kuda sikap ‘rasa bermain’ supaya kita tetap bisa menikmati keadaan walau terkadang merasakan sakit terjatuh karena kita sungguh-sungguh menjalani sesuatu — seperti ketika kita total bermain bola terjatuh karena terserimpung atau karena dijegal lawan bermain. Nyatanya ketika merasakan sakit karena terjatuh pada waktu bermain bola itu tidak membuat kita kehilangan kenikmatan ‘rasa bermain’.
Apa pada dewasa ini, sebagaimana yang disampaikan Mbah Nun pada SastraLiman Sinau Bareng Melalui Buku “M” Frustrasi, kita kurang bisa me-manage urusan mana yang seharusnya hanya patut kita pikirkan dan hal mana yang seharusnya kita masukkan ke hati. Pada acara Sinau Bareng itu Mbah Nun menceritakan pengalaman beliau bahwa jika dulu rasa lapar bisa beliau nikmati sehingga lapar itu puitis. Sedangkan sekarang menurut beliau lapar menjadi keterkekangan. Mbah Nun mampu menjadikan rasa lapar yang menjadi teman sehari-hari bersama teman sastrawan dan seniman lain dulu adalah suatu kenikmatan yang berasal dari kewajaran hidup. Pada malam itu Mbah Nun bercerita bahwa dulu pernah mengalami lapar karena tidak makan beberapa hari. Beliau melanjutkan bercerita bahwa dulu waktu bulan puasa, ketika menginjak waktu sahur Mbah Nun dan Pak Eko Tunas, yang tinggal serumah dengan Mbah Nun, kebingungan mencari makanan untuk sahur bagi penghuni rumahnya. Sebab, waktu itu Mbah Nun tinggal bersama ketiga temannya termasuk Pak Eko Tunas.
Mbah Nun pada waktu itu berhasil mendapatkan empat nasi bungkus untuk sahur hasil dari ngebon kepada ibu penjual nasi bungkus pinggir jalan. Tak ayal saking senangnya Mbah Nun dan Pak Eko ketika mendapatkan bungkusan nasi itu riang gembira sambil joget-joget. Di tengah berjoget itu Pak Eko terserimpung kakinya sendiri dan terjatuh. Nasi bungkus yang dibawanya ikut terjatuh dan nasinya tumpah berceceran di jalanan, hanya satu bungkus yang selamat. Pada situasi seperti itu, Mbah Nun dan Pak Eko bukannya mengeluh tetapi justru tertawa dan menertawakan ‘penderitaan’ yang dialaminya. Sebab menurut Mbah Nun itulah kewajaran hidup. Kewajaran hidup untuk tetap menemukan kenikmatan terhadap situasi apapun yang kita alami.
Kuda-kuda sikap batin dan kesadaran tentang “kewajaran hidup” ini yang penting dan kita butuhkan pada situasi yang semakin menjadikan kita frustrasi kepada keadaan. Sikap menjadikan setiap keadaan yang kita hadapi dan alami sebagai “kewajaran hidup” yang harus kita hadapi dan alami ini menjadikan kita tetap tatag, tidak menyerah terhadap keadaan dan yakin total kepada Allah. Sebab menurut Mbah Nun hanya kepada Allah kita bisa berharap dan yakin menolong apapun yang kita butuhkan. Sehingga yang perlu kita cicil pada situasi seperti sekarang ini adalah meningkatkan iman kita kepada Allah, agar kita tidak takut dan bersedih hati terhadap keadaan apapun yang kita lalui dan alami.
Surabaya, 6 Februari 2022