Frustrasi adalah Kesadaran Khalifatullah
Dalam acara SastraLiman bulan ini, Sabtu (05/03/2022) di rumah Maiyah Kadipiro, ada dua yang ditawarkan. Dua tawaran itu adalah “naik perahu” dan dengan “rasa frustrasi” M.
Membedah buku antologi puisi M Frustrasi karya Emha Ainun Nadjib, berasa naik “perahu”.
Naik perahu? Iya, naik “perahu Nuh”. Naik perahu keseimbangan hati dan akal sehat. Di tengah gelombang banjir — mainstream — sakit jiwa.
Penyelenggara menampilkan lima orang narasumber. Di antara lima orang narasumber, barangkali Eko Tunas yang mampu mengeksplorasi sekaligus mengeksploitasi rasa “frustasi” M, sehingga membuat ratusan audiens “terwabah frustrasi”.
Eko Tunas adalah salah satu sahabat Emha Ainun Nadjib dari dua sahabat berinisial E lainnya, yang tergabung dalam Empat E, yakni Emha Ainun Nadjib, Eko Tunas, Eha Kartanegara, dan Ebiet G Ade.
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap kapabilitas presentasi mencerahkan empat narasumber lainnya, Eko Tunas malam itu, selain berstanding-up comedy, berkhotbah, juga berteaterikal yang muaranya adalah menyodorkan “rasa frustrasi” M.
M di sini adalah Emha Ainun Nadjib. Betapa Cak Nun belia yang masih berumur 20 tahun di era tahun 70 an kala itu, sudah mampu menemukan “rasa frustrasinya”. “Rasa frustrasi” terhadap dirinya, terhadap kehidupan sosial masyarakatnya, terhadap pemerintahnya, terhadap nilai-nilai, terhadap apapun, bahkan terhadap Tuhannya.
“Rasa frustrasi” M terhadap Tuhan, terefleksi pada salah satu puisi esainya yang dibacakan secara magis oleh salah satu aktor teater andal negeri ini yakni Djoko Kamto.
Sebentar, puisi esai? Amboi puisi esai!
Sementara di era yang sama, produk karya seorang WS Rendra yang lebih senior, trade mark-nya adalah puisi pamflet.
Puisi esai Cak Nun, mengingatkan saya tentang situasi kontroversial dan silang pendapat yang pernah terjadi di kalangan teman-teman sastrawan Kalimantan Selatan pada tahun 2014. Saya sempat “ngglutheh” bersama mewahnya suasana debatable itu.
Sementara puisi esai Cak Nun sendiri ternyata hidup damai aman-aman saja, fine-fine saja. Tidak ada yang protes. Dan itu sejak era 70-an. Hingga tiba di SastraLiman malam itu, kini.
Barangkali acara SastraLiman yang membincang buku antologi puisi M Frustrasi malam itu adalah yang paling mengundang “gemuruh magis”. Benar-benar menghadirkan ghirrah. Spirit. Semangat. Pencerahan. Sekaligus pengendapan. Sublim. Dan hingga mlungsungi.
M Frustrasi sendiri, adalah sebuah catatan panjang, runut, puitis tentang penegasan bahwa M adalah seorang manusia. Hamba Allah. Khalifatullah. Tak lebih.
Penegasan M itu serius. Sangat serius. Sehingga M merasa perlu membuat teks atau “catatan frustrasinya” yang lumayan panjang. Butuh sekitar 45 menit bagi Mas Seteng dalam menuntaskan bacaan teks tersebut.
Oleh karena itu M adalah manusia, maka M bisa saja mengalami rasa frustrasi. Walaupun di saat yang sama juga merasakan rasa sebaliknya. Bahkan rasa yang berbeda secara bersamaan.
Iya, M adalah manusia. Ia berhak frustrasi. Marah. Depresi. Pesimis. Bahkan ia berhak merasa kalah. Ia berhak itu.
Namun M juga sadar, ia tak sendiri. Masih ada Tuhan. Ada Rasul-Nya. Kekasih-Nya.
Maka M berlaku realistis. Ia akan frustrasi sefrustrasi frustrasinya, bila ia hanya mengandalkan dirinya semata. Bila ia mengandalkan yang bukan Tuhan maupun Rasul-Nya. Itulah essensi khalifatullah.
M memang mesti mengalami frustrasi, untuk kemudian agar mampu tiba pada kesadaran mekanisme maqam khalifatullah.
Barangkali narasi pada paragrap di atas, yang memicu pertimbangan M sekaligus menjawab pertanyaan publik, kenapa M memilih idiom: frustrasi.