Etika Mendengar, Melihat, Menghayati
Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (Al-Isra’: 36)
Jelas, perkembangan teknologi membuat peristiwa apapun dengan cepat dapat tersebar kepada siapa saja di mana pun. Penyebaran peristiwa membawa informasi. Dengan kemajuan teknologi memungkinkan untuk penyebar informasi memuat apapun keinginannya di dalam informasi. Di satu sisi, penyebaran informasi ini sangat baik jika tidak ada keterpihakan dengan salah satu yang terlibat dalam peristiwa. Sisi lainnya, jika informasi disebarkan untuk menutupi kegagalan atau ketidakmampuan dalam tata kelola sehingga suatu peristiwa terjadi, maka akan celaka. Masyarakat akan gamang dalam menilai peristiwa. Akhirnya muncul sikap biarkan peristiwa berlalu, tidak ada yang salah, tidak ada yang mesti dibenahi, semua sedang baik-baik saja.
Kegaduhan dan kebisingan di lapisan masyarakat menjadi sebuah keniscayaan. Menutup telinga, mata, mengabaikan rasa tidak mungkin. Kita berada di sekitarnya atau bahkan di dalam pusarannya. Jelas sudah firman di atas, ketiga perangkat tersebut akan dimintai pertanggungjawaban. Bagaimana merespon peristiwa dengan presisi pun harus menjadi keniscayaan. Setidaknya ada dua hal dari petunjuk Allah Swt. di atas. Pertama, tidak mengikuti dari pihak yang tidak mengetahui duduk suatu persoalan. Kedua, terus-menerus belajar untuk menjadi tahu atas ketidaktahuan.
Mbah Nun pernah berpesan untuk anak-cucunya di Maiyah untuk tidak gampang gumunan, kagetan. Ini merupakan bekal awal guna mentransformasi dari ketidaktahuan menjadi tahu. Setelah tahu alangkah baiknya untuk menyebarkan pengetahuan kepada seluruh lapisan masyarakat. Mengurai kegaduhan menjadi ketenangan. Edisi September 2022 dijadikan momentum untuk kembali melingkar merawat nalar, menjaga kondisi ruhani, dan tetap beretika dalam mendengar, melihat, dan menghayati.