CakNun.com

Di Balik Perayaan Konsumerisme

Mukadimah Sinau Bareng #23 Simpul Maiyah Mafaza, 6 Februari 2022
Mafaza
Waktu baca ± 2 menit

Dekade terakhir, kehidupan dunia penuh dengan gemerlap konsumerisme. Ditambah kemudahan yang muncul dengan ketersediaan fasilitas e-commerce, konsumen dimanja dengan kemudahan akses berbelanja hanya dengan gadget di tangan. Tak hanya tentang pemenuhan kebutuhan primer, nyatanya iklan yang membanjir di platform jual-beli online justru didominasi oleh barang-barang kebutuhan sekunder, bahkan tersier. Belum lagi kebudayaan nongkrong di café atau sekadar hangout di kalangan anak muda, ternyata juga berdampak pada meningkatnya budaya konsumerisme.

Hangout zaman sekarang bukan lagi sekadar mengambil motor atau sepeda seadanya lalu menuju sebuah tempat untuk sekadar berbagi cerita. Lebih dari itu, kata hangout menjelma sebuah ajang eksistensi yang juga didukung oleh wahana media sosial seperti Instagram, TikTok, ataupun yang semacamnya. Keterpaparan dari konsumerisme juga didukung oleh mereka yang mengaku selebgram atau penggiat media sosial. Konten-konten yang menunjukkan jumlah saldo, jenis mobil yang dimiliki, atau di mana mereka staycation.

Tidak dipungkiri konsumerisme juga memiliki sisi positif seperti menumbuhkan ragam komoditas baru yang secara langsung juga membuka penyediaan lapangan pekerjaan baru. Tetapi konsumerisme juga berdampak sebaliknya. Tak sedikit dari golongan yang konsumtif memaksakan diri mereka untuk memenuhi nafsu belanja hingga terjebak pada pinjaman online baik yang legal maupun ilegal.

Mengurangi konsumsi bukan hanya penyesuaian antara supply dan demand yang baru, tetapi juga kesadaran terhadap perlindungan iklim. Tercatat mulai tahun 2014, produksi pakaian dunia mencapai lebih dari 100 miliar produk. Produksi ini menghasilkan 92 juta ton limbah tekstil. Budaya konsumerisme fashion nyatanya mempunyai dampak yang cukup signifikan terhadap produksi limbah. Belum lagi dengan jumlah air yang digunakan dalam industri tersebut.

Sosiolog Jean Baudrillard meredefinisikan fenomena cultural materialism ini sebagai hiper-realitas dan simulacra. Gempuran konsumerisme melalui berbagai medium mencekoki konsepsi kenyataan hyper sehingga mayoritas konsumen tidak tahu bedanya mana alam ‘nyata dan yang tidak’. Media turut mencekoki yang menarik massa untuk pemahaman tunggal bahwa produk yang bagus terkait fashion misalnya adalah yang ada di televisi, handphone, atau film-film bioskop. Simulasi yang disebarkan melalui corong media utama oleh para pesohor, artis dan bintang iklan memaksakan kita untuk dalam dunia simulacrum yang kendali dipegang dari ‘tangan-tangan tak terlihat’.

Sebuah pertanyaan cukup essensial muncul. Berapa sebenarnya barang yang kita butuhkan untuk mendukung kehidupan kita? Fenomena frugalisme dan minimalisme muncul di berbagai belahan bumi lain seperti Eropa dan Jepang. Dalam titik ekstrem, ketidakseimbangan ketersediaan dana dan hasrat eksistensialisme akan memunculkan fenomena seperti La Sapeur di Kongo. Di Belanda orang-orang kaya tidak malu untuk berebut baju di pasar loak IJ Hallen di bekas geladak kapal itu atau di kringloop took awul-awul yang tersebar di berbagai kota. Di Jepang, orang mempraktikkan gaya hidup minimalis untuk sesederhana mungkin menyediakan ketercukupan sandang dan pangan. Fenomena-fenomena ini bertentangan dengan ide konsumerisme yang sekarang popular sekaligus menjadi alternatif untuk mengelola kehidupan.

Lainnya

Topik