Cacar Monyet
Belum lama hangat berita tentang hepatitis misterius, dan kasusnya juga semakin bertambah di negeri ini dan di seantero jagat, kita disibukkan lagi dengan berita tentang Cacar Monyet (monkeypox) yang mulai diidentifikasi sebagai wabah baru yang mulai melanda negara-negara non-endemik seperti Amerika, Australia, dan Eropa. Diduga penyebarannya melalui para pelancong. Jadi, tidak ada salahnya kita perlu berhati-hati dan jangan sampai meremehkan dan berakibat kecolongan.
Penyakit cacar monyet ini mirip dengan penyakit cacar (orthopoxvirus) yang telah dinyatakan dapat diberantas di seluruh dunia pada tahun 1980, termasuk di Indonesia. Penyakit cacar ini diberantas dengan kerja keras insan kesehatan pada kurun waktu tahun 60-70-an, sehingga kita bisa terbebas dari wabah cacar ini. Dengan tekad yang besar dan alat-alat yang sederhana, di antaranya dengan memakai termos yang dibikin dari batang pisang (karena keterbatasan penyediaan termos yang layak) sebagai pengangkut vaksin cacar, petugas kesehatan bergerilya melakukan vaksinasi cacar ini ke masyarakat.
Kalau di dunia anak-anak, dunia yang saya geluti, di mana anak-anak adalah guru saya, maka yang sekarang harus diberesi adalah cacar air (chicken pox). Kalau bahasa Jawa penyakit ini disebut dengan ‘cangkrangen’. Sebuah fenomena penyakit yang diawali demam 1-2 hari dan dibarengi dengan tanda-tanda infeksi virus pada umumnya, yaitu sakit kepala, nyeri otot, rasa lelah, dan nafsu makan berkurang. Kemudian muncul lepuhan yang berisi cairan bening dengan dasar warna merah di badan.
Bahaya penyakit ini adalah komplikasi yang ditimbulkannya. Penyakit cacar air yang dibiarkan meradang tanpa pengobatan memadai dapat menyebabkan pneumonia (radang paru) viral. Ini disebabkan karena virus cacar dapat masuk ke dalam aliran darah dan kemudian menginfeksi paru-paru. Pneumonia viral merupakan penyebab utama kematian pada orang dewasa yang terkait komplikasi cacar air. Komplikasi lainnya dari penyakit cacar air adalah peradangan hati atau hepatitis. Kondisi ini biasanya tidak menimbulkan gejala dan akan membaik dengan sendirinya. Namun, dalam beberapa kasus komplikasi bisa berujung pada kondisi yang memberat. Komplikasi lainnya adalah infeksi di sistem saraf dan otak. Inilah yang harus kita waspadai.
Cacar monyet kurang menular daripada cacar dan menyebabkan penyakit yang tidak begitu parah. Berbagai spesies hewan telah diidentifikasi rentan terhadap virus cacar monyet, yaitu tupai tikus, dormice, primata non-manusia, dan spesies lainnya. Cacar monyet pertama kali diidentifikasi pada manusia pada 1970 di benua Afrika, tepatnya di Republik Demokratik Kongo pada seorang anak laki-laki berusia 9 tahun di wilayah di mana cacar telah dieliminasi pada 1968. Sejak itu, kasus cacar monyet telah dilaporkan pada manusia di beberapa negara Afrika lainnya.
Penularan dari hewan ke manusia (zoonotik) dapat terjadi dari kontak langsung dengan darah, cairan tubuh, atau lesi kulit atau mukosa dari hewan yang terinfeksi. Makan daging yang tidak dimasak dengan baik dan produk hewani lainnya dari hewan yang terinfeksi merupakan faktor risiko yang mungkin. Penularan dari manusia ke manusia dapat terjadi akibat kontak dekat dengan cairan pernapasan, lesi kulit orang yang terinfeksi, atau benda yang baru saja terkontaminasi. Penularan melalui partikel pernapasan biasanya memerlukan kontak tatap muka dalam waktu lama. Hal inilah yang menjadikan petugas kesehatan mempunyai risiko lebih besar untuk tertular. Penularan juga dapat terjadi melalui plasenta dari ibu ke janin (yang dapat menyebabkan cacar monyet bawaan) atau selama kontak dekat selama dan setelah kelahiran.
Masa inkubasi cacar monyet biasanya dari 6 hingga 13 hari dan ada juga yang sampai 21 hari. Periode infeksi adalah periode pertama dan disebut periode invasi berlangsung antara 0-5 hari yang ditandai dengan demam, sakit kepala hebat, limfadenopati (pembengkakan kelenjar getah bening), nyeri punggung, mialgia (nyeri otot), dan asthenia yang hebat (kekurangan energi). Pembengkakan kelenjar getah bening adalah ciri khas cacar monyet dibandingkan dengan penyakit lain yang awalnya mungkin tampak serupa (cacar air, campak, cacar).
Periode kedua disebut periode erupsi kulit biasanya dimulai dalam 1-3 hari setelah munculnya demam. Ruam cenderung lebih terkonsentrasi di wajah dan ekstremi dibanding dengan di badan. Lesi di wajah sebesar 95% kasus, lesi di telapak tangan dan telapak kaki (dalam 75% kasus). Ditemukan juga lesi di selaput lendir mulut (70% kasus), alat kelamin (30%), dan konjungtiva (20%), serta kornea. Ruam berkembang secara berurutan dari makula (lesi dengan dasar rata) menjadi papula (lesi keras yang sedikit terangkat), vesikel (lesi berisi cairan bening), pustula (lesi berisi cairan kekuningan), dan krusta yang mengering dan rontok. Jumlah lesi bervariasi dari beberapa hingga beberapa ribu. Dalam kasus yang parah, lesi dapat menyatu sampai sebagian besar kulit terkelupas. Inilah mengapa penyakit ini ditakuti.
Lalu bagaimana pencegahannya? Vaksinasi diketahui 85% efektif dalam mencegah cacar monyet dan kalaupun terkena penyakit ini maka penyakitnya akan lebi ringan. Sangat penting untuk selalu mengingatkan akan prinsip-prinsip kebersihan diri dan meningkatkan kesadaran akan faktor risiko dan mendidik masyarakat tentang langkah-langkah yang dapat mereka ambil untuk mengurangi paparan virus adalah strategi pencegahan utama cacar monyet.
Ibnu Sina (980-1037) yang di dunia Barat dikenal dengan nama Avicena adalah seorang ilmuwan, dokter, dan filsuf legendaris asal Persia lebih menyukai tindakan preventif itu daripada kuratif. Dalam bukunya yang berpengaruh, Al Qanun fi Thib, Ibnu Sina kemudian menguatkan aspek spiritual dan fisik secara simultan dalam langkah preventif itu.
Pada awal Juni 2022 dilaporkan Lebih dari 30 negara non-endemis telah melaporkan kasus cacar monyet (monkeypox), dengan lebih dari 550 kasus yang terkonfirmasi dan diduga sebagian besar menyebar di wilayah Eropa.