Ballada Bu Limah
“Kok menggelikan bagaimana, Pak Mataki?” – tanya salah seorang rekannya.
“Lho, bagaimana sampeyan ini” – jawab Pak Mataki – “Dalam seminar itu para ahli sibuk mengecam kaum wanita yang hanya bisa menjadi ibu rumah tangga, mencuci pakaian suami dan anak-anak, masak di dapur, sambil siap kapan saja suaminya butuh pelampiasan biologis…”
“Ya, terus, apanya yang menggelikan?”
“Wanita mana yang dimaksud itu? Di desa kita ini kaum wanita ya di sawah ya di rumah ya ke luar rumah, ya masak di dapur, ya cuci pakaian, ya memanjat pohon kelapa, ya beranak, ya jualan di pasar, ya menyusui, menceboki anaknya ya berdagang keliling. Kaum wanita di desa kita ini termasuk “wanita karier” ataukah “ibu rumah tangga”? Coba lihat Bu Limah itu misalnya….”
Salah seorang guru yang rupanya pernah kuliah beberapa tahun di kota, memotong “Itu tidak aneh dan tidak menggelikan, Pak Mataki! Memang dalam kerangka pengertian tentang wanita karier yang dimaksud bukanlah kaum wanita dalam komunitas agraris, melainkan kaum wanita perkotaan yang budayanya priyayi dan ekonominya kelas menengah. Kalau wanita petani seperti di desa kita ini sejak berabad-abad yang lalu ya berfungsi tidak hanya sebagai konco wingking atau pendamping suami belaka, melainkan juga bekerja di luar rumah. Bedanya lapangan kerja mereka ya tetap agraris, berbeda dengan lapangan kerja di dunia modern industrial, sehingga akibat-akibat sosialnya juga berbeda”.
“Justru itulah yang menggelikan” – sahut Pak Mataki – “Para peserta seminar di kota itu merasa bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat modern yang asyik mengecam pola-pola budaya yang mereka sebut tradisional di mana wanita hanya menjadi ibu rumah tangga. Tradisional yang mana? Malahan konsep modern Dharma Wanita itulah yang meletakkan Ibu-Ibu hanya sebagai pendamping suami, tidak sebagai manusia yang mandiri status sosialnya. Yang menggelikan adalah bahwa orang-orang modern itu merasa sedang mengecam kita-kita orang kuno, padahal mereka semestinya meniru kita-kita yang di desa!”
Pak Guru Mataki memang selalu meledak-ledak dan melontarkan semacam emosi khusus kalau sudah bicara soal dunia modern dan dunia tradisional. Sebab ia mengalami sangat banyak bidang betapa pengertian modernitas itu disalahpahami atau bahkan dimanipulasikan sedemikian rupa, justru untuk kepentingan golongan tertentu.
Ia kemudian mengemukakan perihal Bu Limah. “Coba lihat Bu Limah itu” – katanya – “Dia adalah contoh soal wanita dan manusia modern sejak masyarakat kita disebut belum modern. Bahkan sampai hari ini pun lapisan masyarakat seperti di desa kita ini dianggap belum modern hanya karena kita tidak memiliki fasilitas-fasilitas seperti di kota. Namun dengan penuh kebanggaan kita akan katakan kepada siapa saja tamu yang datang kemari bahwa setidaknya kaum wanita di dusun kita sudah lama menjalani hidup modern dalam konteks seperti yang disebut dalam soal wanita karier”.
“Bu Limah itu enam belas kali melahirkan, sehingga sampai usianya mencapai setengah abad ia hampir tidak pernah memiliki hari yang bebas dari keharusan menggendong bayi dan menjaga perkembangan anak kecilnya. Tetapi siapakah yang memotori kumpulan Ibu-Ibu untuk membuat koperasi, Usaha Bersama, kursus ketrampilan? Menjadi juru kunci pelebaran lapangan kerja? Membuat pengajian-pengajian? Mendatangi rumah hampir setiap orang di desa untuk menanyakan kepada penghuninya apakah ada problem yang ia bisa membantunya? Menangani konflik-konflik? Menjadi ibu semua orang? Bahkan ngoprak-oprak kaum laki-laki agar mengaktifkan organisasi peribadatan, olahraga, pertalian sosial ekonomi di antara mereka? Bahkan terus terang saja, kalau ibu-ibu PKK atau Karang Taruna harus ikut berpameran di kecamatan atau kabupaten, bisakah mereka mampu menghadirkan sesuatu kalau tidak ‘meminjam’ hasil usaha-usaha yang dimotori oleh Bu Limah?”
“Tapi maaf Pak Mataki” – Guru lainnya menyela – “Menurut pendapat saya Bu Limah itu tidak bisa dikategorikan sebagai wanita karier…”
“Maksud Bapak?”
“Wanita karier itu wanita yang bekerja keras meningkatkan prestasi pribadinya. Sehingga tanda-tanda wanita karier biasanya adalah bahwa ia kaya, setidak-tidaknya memiliki kemandirian ekonomi. Lha Bu Limah itu sama sekali tidak kaya. Maaf ya…”
“O, kalau itu yang kau maksudkan, aku sangat setuju” – jawab Pak Mataki – “Karier Bu Limah memang lebih merupakan prestasi sosial daripada prestasi pribadi. Ia tidak berjuang untuk kejayaan dirinya sendiri. Ia menghabiskan umurnya, tenaga, pikiran dan cintanya untuk kepentingan para tetangganya sedesa, kalau perlu melebar ke desa-desa sebelah. Bu Limah adalah orang yang benar-benar menerapkan slogan berjuang demi bangsa dan negara, sementara banyak wanita atau pria karier di dunia yang merasa modern itu sebenarnya menggunakan segala fasilitas bangsa dan negara ini demi kemajuan dan kepentingan pribadinya dan keluarganya saja. Maaf juga.”