Zaeta, Bidadari Surga (3)
27 April, 8:52 pm
Malam hari sesudah praktek, saya mendapat berita meninggalnya Zaeta, dari ibunya. “Dok, Zaeta sudah pergi….”
Haaaaah, sungguh kaget saya.
“Kapan, Bu? Di mana (meninggalnya)?”
“Senin, 3.40, di estella,” jawab Bu Shinta singkat.
Saya diam cukup lama, membayangkan Zaeta yang lembut, manis, putih, rambutnya hitam legam, anaknya murah senyum, tak banyak bicara, dan hanya matanya yang banyak bicara.
“Surga sudah pasti di tangannya,” kata saya kepada Bu Shinta.
“Aamin, Ya Robbal ‘Alamin.”
“Maaf, Bu. Dua minggu ini saya bertugas di poliklinik, sehingga saya tidak tahu perkembangan di bangsal,” balas saya.
“Zaeta menunggu Dokter datang… (emoticon menangis)”.
Aahhh, tenggorokan saya tercekat. Saya tidak bisa berkata-kata. Saya diam beberapa lama, membiarkan air mata meleleh. Baru saya bisa membalas DM ibunya.
“Ah, andaikata saya dikabari pasti saya usahakan datang, Bu. Mohon maaf, Bu. Al-Fatihah untuk Zaeta,” lanjut saya.
“Saya mau DM Dokter nggak enak. Yaa dokter, Zaeta kangen sama Dokter, selalu menunggu Dokter yang kontrol. Tapi gak papa Dokter, sudah jalannya Zaeta pergi.”
Hati saya bertambah hancur, remuk redam, tercabik-cabik, saya telah membuat Zaeta menunggu. Tubuh saya lunglai tak bertenaga. Kenapa saya begitu bebal dengan feeling saya. Saya memang selalu teringat dan terbayang-bayang Zaeta, namun saya terlalu rapuh untuk menuruti hati saya untuk ketemu Zaeta. Saya menyesali diri sendiri.
Saya membongkar file file yang berisi selfie dengan Zaeta. Saya bombardir IG story saya dengan foto-foto saya dan dia.
Di sini saya tambah menunduk, betapa saya tak tahu banyak tentang penyakit ini. Betapa kita sangat terbatas dengan rahasia-rahasia Allah tentang masalah kesehatan. Yang kita tahu kalau infeksi karena bakteri diberi antibiotik. Kalau ada patah tulang harus direposisi. Lha kalau infeksi karena virus, medis belum bisa berbicara banyak. Jangankan mau memberesi Covid-19, sedangkan untuk mengobati demam berdarah saja belum ada obat anti virus demam berdarah!
Sungguh saya merasa sangat bodoh di hadapan rahasia Allah yang sangat besar ini. Jangan ngomong tentang jiwa manusia, wong ngomong tentang raga saja enggak bisa jangkep, gagu dan gagap! Jangan pula ngomong tentang Ruh manusia, karena Allah sendiri berfirman dalam Al-Isra’:85.
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.
Jadi, jangan petentang-petenteng, mentang mentang dokter terus merasa lebih tahu dari siapapun juga, merasa lebih mengerti tentang apapun juga, oooh saya tertunduk. Malu!
Sayup-sayup terdengar lagunya Carpenters, I Won’t Last a Day Without You dari playlist saya. Salah satu lagu kesukaan di acara saya zaman muda dulu. Acara muter lagu-lagu lama di acara ‘Old Time Memory’ ketika masa kuliah dulu. Ada kata bijak yang sering saya sitir ketika saya siaran di Gayam 24 dulu. Kata bijak itu terlalu menyentuh saya, dan selalu mengingatkan saya akan tiga hal, yaitu ilmu, seni, dan agama.
Dengan Ilmu, hidup akan lebih mudah,
dengan seni, hidup akan lebih indah, dan
dengan Agama, hidup akan lebih terarah
Saya harus lebih rajin membaca (iqra’), saya harus lebih sering bersentuhan dengan seni dan sastra, dan saya harus nyantri agar sedikit nambah ilmu agama saya. Ahhh Zaeta, terimakasih. Engkau telah menyadarkanku, dan sesungguhnya engkau adalah guruku sebenar-benarnya. Ibu Sinta memberi banyak penuturan tentang ini.
Ada hal yang membuat saya selalu sedih yang amat dalam ketika Ibu Sinta menuturkan:
“Kalau pas ada pemeriksaan dokter (di poliklinik), dia (Zaeta) selalu mengharapkan yang memeriksa adalah dr Eddot…” (Bu Sinta terisak lama).
“Dia sangat berharap.., dan dokter yang ditunggui adalah dr Eddot’ selalu….”
“Pada waktu mondok pun Zaeta selalu berharap bahwa yang visit adalah dr Eddot….”
“Sampai saat terakhir hayatnya pun Zaeta kangen sama dr Eddot….”
Saya kembali terdiam dan meleleh air mata saya.
Kenapa sampai saya tidak tahu? Begitu bebalnya kah saya sehingga saya tidak merasakan apa yang Zaeta rasakan. Sungguh memang saya tidak tahu. Walaupun kadang dalam hati dan pikiran sering terlintas wajah Zaeta yang polos, lembut penuh kasih.
“Maaf Dokter saya menyesal sekali, saya tidak bisa mempertemukan Zaeta dengan Dokter, bahkan sampai akhir hayatnya saya tak bisa mempertemukan. Karena saya merasa tak enak, merasa akan mengganggu Dokter, merasa tidak sopan atau apa kalau menghubungi Dokter.”
“Setiap kali dokter Eddot datang, dia selalu ceria, dia selalu semangat”
“Sampai (saat-saar) terakhir itu kutanya… Dia ingin sekali ketemu Dokter, tetapi aku nggak tahu apakah aku akan mengganggu atau tidak, maka aku nggak mau hubungi Dokter,” demikian tutur Bu Sinta.
“Pada saat-saat akhir, Zaeta mengaku sudah tidak kuat lagi, sudah capek dengan transfusi, yang tak kunjung sembuh-sembuh.”
“Zaeta adalah sosok yang selalu ceria, supel, pinter, dia nggak manja. Walaupun dalam keadaan sakit dia selau ceria. Kami sebagai orangtua berusaha semaksimal mungkin untuk membahagiakannya”
“Seminggu terakhir sebelum kepergian Zaeta menghadap sang Khalik, dia kelihatan murung. Zaeta merasa tak kuat, Zaeta menyerah. Tetapi dia selalu minta ingin sembuh… Ingin sembuh….”
Ada satu kalimat Bu Shinta ketika menceritakan Zaeta kepada saya. “Saat kepergiannya dia wangiii sekali, seperti saat lahir….” Saya merinding mendengarkan penuturan Bu Shinta tentang kondisi Zaeta pada waktu meninggal.
Saya memberanikan bertanya lagi. “Ibu, apakah ada hal-hal tertentu yang dilakukan Zaeta sehingga dia kuat menjalani semua ini?”.
Ibunya kemudian menjawab lewat text WA dan saya copy.
“Zaeta sll semangat ingin sembuh.. dia ingin sekali pergi ke Bekasi menemui sodara2 nya… Itu yg membuat dia semangat di awal2 sakit. Saya sll mengajari Zaeta tuk sll berdoa. Tp di 1 bulan terakhir dia sdh mulai menyerah dgn sakit nya… sealalu sering nangis.”
Zaeta, Dokter kangen!!