CakNun.com
In Memoriam Mas Bambang Susiawan

Yang Sendirian menuju Sang Maha Sendiri

Teater Nabi Darurat Rasul Ad-Hoc, Taman Budaya Yogyakarta, 2 Maret 2012.
Foto: Adin (Dok. Progress).

Satu-satunya kepastian dalam kehidupan hanyalah kematian. Kita semua manusia sangat sibuk dengan berjuta-juta kemungkinan. Dihembus kesana kemari oleh probabilitas. Dibanting dan diinjak-injak oleh ketidakpastian. Didera dan dipermainkan oleh lalu-lalang relativitas. Dan semua derita dalam ketidakpastian itu tidak cukup menjadi bekal untuk memperoleh satu saja pun kepastian.

Kemarin siang tiba-tiba saja sahabat kita Mas Bambang Susiawan ditelan oleh kepastian itu. Tanpa kita bisa berbuat apa-apa. Tidak punya peluang untuk mengantarkannya. Mas Bambang nilap semua sahabat dan handai taulannya. Sekarang kita semua termangu-mangu dengan hanya bisa mengenangnya dalam sepi dan duka.

Mas Bambang menelusuri lorong sunyi kehidupan ini sendirian. Mas Bambang menempuh jalan riuh rendah ini dengan sepi. Dan kini ia dipanggil ditimbali oleh Yang Maha Sendiri, dan ia pun sowan sendiri. Di usia senjanya sehari-hari ia mengerjakan pekerjaan yang terbaik pada nilai hidup manusia, ialah merawat Ibundanya. Beberapa waktu yang lalu Mas Bambang nguntapke Ibundanya dipanggil oleh Tuhan, kini ia melakukan hal yang sama tanpa seorang pun mengantarkannya. Hati kita para sahabatnya disirami gerimis air mata, dalam kesenyapan, kesunyian, dan derita yang asing.

Derita. Bukan sengsara. Senyap. Bukan tersiksa. Allah sendiri karena Ia sendiri maka menciptakan makhluk-Nya. Kita dikunfayakuni dari tiada menjadi ada, dengan hajat supaya Ia bisa menemani yang bukan diri-Nya, meskipun sejatinya semuanya adalah diri-Nya juga.

Bahkan Tuhan Maha Bersabar kepada sebagian manusia yang tidak menemukan kebutuhan untuk ditemani oleh-Nya. Sehingga sebagian manusia lainnya justru menemukan bahwa hanya Ia temannya, karena begitu banyak sesama manusia yang mengkhianatinya. Begitu lazim manusia tega hati dan berbuat kejam untuk menista saudaranya sesama manusia. Terutama ketika manusia memasuki Dunia Maya, yang ternyata berisi kekejaman dan kebrutalan yang lebih nyata dari segala yang nyata.

وَلَا تَكُن لِّلْخَائِنِينَ خَصِيمًا

Dan janganlah kamu menjadi penantang orang yang tidak bersalah, karena (membela) orang-orang yang khianat.”

Seolah-olah firman Allah ini justru menginformasikan bahwa makhluk manusia ciptaan-Nya memiliki kecenderungan besar untuk berkhianat kepada sesama mereka.

Mas Bambang adalah teman saya bermain Gaple di Patangpuluhan, dua puluh tahun sebelum era Kadipiro. Tepatnya, Mas Bambang adalah musuh gaple saya. Ia berpartner dengan Godor Widodo yang mengurusi Teater Perdikan sekarang. Sedang partner saya adalah Pakde Nuri, manusia sepi dan mulia sebagaimana Mas Bambang. Mudah-mudahan sekarang mereka berdua sudah dipertemukan oleh Tuhan di alam transisi sebelum sorga dan napak tilas main gaple sebagaimana di masa keemasan Patangpuluhan dulu.

Mas Bambang sejak akhir era 1970-an bergabung di Teater Dinasti yang diasuh oleh Mas Fajar Suharno. Ia, dalam pandangan terminologi ilmu teater, seorang “aktor tipologis”. Bukan “aktor psikologis”. Ia harus memerankan figur atau karakter yang sesuai dengan kepribadian otentiknya. Jadi lakon teater yang memerlukan Mas Bambang untuk suatu keperluan karakteristik tertentu.

Ketika Dinasti mengalami metamorphosis, dan di Patangpuluhan saya mengakomodasi sebagian mereka dan mendirikan kelompok yang diberi nama “Dinasti Ampas”, Mas Bambanglah yang paling senior. Beliau yang menyutradarai. Sempat bikin lakon “Mas Dukun”. Tampil di TVRI Yogya. Juga sempat pentas di Bulungan Jakarta, dituanrumahi oleh Teguh Karya yang juga sutradara film sangat penting dan terkenal.

Kemudian zaman berlalu dengan penuh gerunjalan-gerunjalan jalanan yang kami lalui, tetapi Mas Bambang tidak pernah hilang. Mas Bambang tidak pernah tidak bersama kami. Mas Bambang adalah kesendirian dalam kebersamaan kami. Mas Bambang adalah pelaku penting dari kesetiaan kebersamaan kami dalam menjunjung teater, salah satu suluk thariqat yang kami jalani. Sampai memasuki era Maiyah, Mas Bambang jebas-jebus ke Kadipiro. Bahkan sempat pentas monoplay di hadapan Jamaah Maiyah.

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ
قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ

Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab:

Betul Engkaulah Tuhan kami, kami menjadi saksi. Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami Bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini keesaan Tuhan.”

Mas Bambang mungkin tidak termasuk responden dari dialog di firman ini. Mas Bambang tidak perlu ditanya atau dipertanyakan kesujudan hidupnya di hadapan Allah. Mas Bambang tidak perlu ditagih untuk memenuhi janjinya. Karena seluruh dan sepanjang hidupnya ia tekun memenuhi janji dan membayar hutangnya kepada Allah.

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
فَادْخُلِي فِي عِبَادِيوَادْخُلِي جَنَّتِي

Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.”

Mas Bambang adalah hamba Allah di antara kami yang paling tenang. Tidak terpesona oleh gegap gempita dunia. Tidak mendaftarkan hidupnya di pasar kaputalisme. Tidak bisa disentuh oleh bulldozer nafsu kekuasan manusia. Tidak terpesona oleh jenis kemewahan duniawi apapun sebagaimana mungkin banyak di antara kami yang terpesona. Mas Bambang hidup paling sederhana, paling “bawah” dari stratifikasi sosial ekonomi. Paling bersahaja secara budaya. Dan paling sumeleh batinnya.

Mas Bambang adalah telaga yang airnya sangat tenang dengan udara yang selalu sejuk. Mestinya sudah sejak dini hari kehidupan ia bersemayam di tepian “Telaga Haudl” yang Kanjeng Nabi menyebutnya.

Lainnya

Di Tengah Topo Ngrame

Di Tengah Topo Ngrame

Diam-diam saya iba kepada Mbah Nun. Di tengah topo ngrame-nya — umat memanggil terus-menerus. Mencari-carinya. Mbah Nun memang ruang sambat yang nyaman.

Membuka Kode Kemakmuran

Membuka Kode Kemakmuran

Suatu hari Cak Dil, Adil Amrullah, sahabat saya di Majalah Kuntum dan di Harian Masa Kini serta pernah bersama-sama mengasuh rubrik sastra Insani Harian Masa Kini, berkata kepada saya, ”Sebaiknya kalau Jum’at setelah Jumatan ini ada yang sedekah makan siang untuk para jamaah Jum’at.