Wirid Dlu’afa untuk Sang Begawan
Keterasingan, keterpencilan, keterpinggiran atau mungkin terkadang juga kesepian Komunitas Dipowinatan, Dinasti dan KiaiKanjeng hanyalah oleh dan dari mainstream lingkungan kebudayaan modern Indonesia. Tidak oleh kehidupan ini sendiri. Semesta yang dihamparkan dan kehidupan yang dicahayai oleh Tuhan amat luas tak terhingga bagi sesiapa saja manusia yang lelaku-nyawiji dengan Kang Murbeng Dumadi atau yang Ia sendiri memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah yang kita menjunjung-Nya dengan gelar Subhanahu wa Ta’ala.
Kalau Allah sendiri tidak berkenan memperkenalkan diri dan nama-Nya kepada kita, manusia dan makhluk apapun tidak punya tool, alat atau ilmu, penggalah atau daya-capai apapun untuk tahu nama-Nya. Apalagi dzat-Nya, karakter-Nya, asma-Nya serta apapun saja tentang Ia. Itulah sebabnya kita membungkuk-bungkuk menghaturkan matur sembah agunging panuwun kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw, dan kemudian KiaiKanjeng mengajak dan menyebarkan ekspresi shalawat dan cinta kepada beliau ke seluruh Indonesia dan dunia.
Kelak di sorga kita cari buku dokumentasi untuk membaca catatan para Malaikat Raqib dan Atid tentang siapa yang merintis penghidupan kembali shalawat, pepuji beserta tembang-tembang alam kedaerahan ke seluruh Indonesia dan dunia. Sebab Indonesia dan dunia sendiri tidak punya kegembiraan atau keperluan untuk mengetahui dan mencatat itu sebagai bagian dari warna, hawa serta cahaya paradabannya.
Aslinya saya, apalagi para Pathak warak Dipowinatan dan Dinasti serta preman-preman KiaiKanjeng, sama sekali bukan Ahlus-Shalawat. Bukan ahli shalawat dan memang sama sekali bukan ahli apapun. Yang kami tumbuh suburkan sebatas kesetian untuk mensyukuri betapa luasnya rahmat Allah, menjunjung tinggi apresiasi terhadap kasih sayang-Nya atas kehidupan kami yang awam dan berada di kerendahan dalam peta peradaban modern di muka bumi. Andaikan ada keahlian, mungkin sekadar ketangguhan untuk tidak melampiaskan nafsu, ketahanan untuk tidak mengejar-ngejar apapun yang Allah tidak menyuruh kita mengejarnya. Andaikan ada keahlian, mungkin sangat bersahaja: sanggup hidup miskin dalam kesyukuran, mampu hidup bersahaja dalam keikhlasan tanpa iri dan dengki kepada siapapun. Tetapi tidak ada di antara kami yang pakar ilmu, ahli agama atau sarjana-sarjana apapun dengan toga-toga dunia.
Kami adalah kaum yang ketelingsut atau ditelingsutkan oleh buku sejarah dunia. Tetapi fokus KiaiKanjeng adalah “innallaha Sami’un Bashir”, “Khabirun bima ta’malun”. Allah Maha Mendengar dan Melihat. Allah Maha Mengabarkan apa yang kita perbuat.
Almarhum Prof Dr Kuntowijoyo adalah salah satu Begawan Ilmu, Sosiolog kelas satu, Mufassir Agama, yang “ngaruhké” Dinasti dan KiaiKanjeng, dengan rentang dan eskalasi kegiatan sosialnya, yang kultural maupun yang spiritual. Salah satu naskah teater beliau berjudul “Topeng Kayu” dipentaskan oleh Dinasti divisi teaternya. Bambang Indra Basuki, adik beliau, adalah salah satu sahabat kami di Persada Studi Klub-nya Umbu Landu Paranggi di mana saya tirakat lelaku puisi kehidupan.
Ketika suatu hari Allah memperjalankan beliau ke dalam keadaan sakit parah, dan saya menengok beliau di RS Sardjito UGM Bulaksumur, Bu Susi istri beliau bercerita bahwa beliau mendengar dua orang tokoh yang tadi bezoek nyeletuk di antara mereka; “Wah ini seandainya sembuh pun akan hlhoh…”. Maksudnya Pak Kunto akan kehilangan banyak muatan dari pikirannya dan ekspresi mental maupun fisiknya akan menurun jauh sedemikian rupa.
Mendengar itu yang muncul di hati saya adalah amarah besar dan ketidakikhlasan. Andaikan saya punya kepantasan untuk ditemani oleh Malaikat Jibril, pasti sudah saya usulkan suatu tindakan mukjizaty yang radikal atau destruktif dan mengerikan bagi penista manusia, apalagi manusia itu adalah pak Kunto yang sangat saya cintai dan takdzimi.
Tetapi yang saya bisa lakukan hanyalah merespons Mbak Susi dengan menyatakan bahwa kalau diperkenankan, nanti malam kami akan ke rumah beliau di pinggiran Ringroad Utara Yogya, bersama-sama teman-teman KiaiKanjeng dan Sanggar Salahudin, untuk mengaji bersama, berdzikir, berhizib dan mendoakan Pak Kunto agar Allah menganugerahinya yang terbaik.
Dan malamnya kami benar-benar datang. Kami berkumpul bersila menghampar di pojok halaman rumah beliau. Tetapi saya bukan Ahlud-dzikri, bukan Ahlul-wird, bahkan tidak pantas disebut Ahlul-‘ibadah pun. Kami hanya dlu’afa, sekumpulan orang-orang lemah, yang mencoba mengeluh kepada Allah tentang orang yang mustadl’afin, sahabat kami sekeluarga yang dilemahkan oleh kata “hloh” tadi.
Kami berkumpul di rumah Pak Kunto untuk menyatakan kepada Bu Susi dan semua keluarga Pak Kunto bahwa kami sangat berprihatin karena sangat mencintainya. Tidak terutama karena Pak Kunto termasuk di antara sangat sedikit Senior Yogya yang “care” kepada nDipo, Dinasti dan KiaiKanjeng. Tapi karena kepribadian beliau, karya-karya dan integritas beliau dalam bebrayan kesenian di Yogya. Kami membaca-baca bersama setahu-tahu kami. Alfatihah, Ayat Kursi, “wamakaru wamakarallah wallahu Khoirul mekirin”, “Wama romaita idz romaita walakinnallaha roma” dll.
Tidak lantas Allah mengabulkan sejauh membuat beliau pulih 100% seperti semula. Tetapi saya menyaksikan sendiri malam-malam di kamar kerja beliau, Pak Kunto masih mengetik tulisan dengan satu tangan dan irama yang sangat lambat dan energi yang sangat terbatas. Tapi Pak Kunto tidak berhenti kreatif, tidak berhenti jernih, tidak berhenti objektif dan berkarya.
Orang yang mengatakan “hloh” itu kelak menjadi tokoh politik nasional yang saya dan semua teman-teman tidak merasa malu andaikan menjadi orang seperti itu: keras, hitam putih, “brangasan”, “grusah-grusuh”, tancap sana tancap sini seakan-akan tidak pernah belajar ilmu komuniasi, balaghah, ushlub was-siyasah, “bilhikmah walmau’idlatin hasanah”.