Time’s Flying
Ketik kita sampai pada titik tertentu dalam perjalanan waktu, dan kemudian menengok beberapa tahun ke belakang, maka kita akan bergumam ‘time is flying….’
Demikian juga ketika barusan menerima komen dari teman SMP di medsos saya. Rasanya baru kemaren saya duduk di bangku SMP, lengkap dengan prestasi dan ‘keusilan’ saya.
Kemaren sesudah ikut gowes bareng-bareng dengan sahabat-sahabat, saya unggah foto medali dengan lambang kampus tercinta di depan Gedung Pusat. Acara gowes bareng kemaren diadakan dalam rangka ulang tahun sekolah saya yang ke-72. Maka gowes kemaren, minimal harus menyelesaikan jarak 72 KM, untuk memperoleh medali.
Ratna, teman saya SMP berkomentar terhadap foto unggahan saya.
“Itu juga kampusku…” katanya.
“Ah haaaa…. Daaan hari ini (kampusku) berulang tahun,” balas saya.
“Happy Birthday UGM…. Bersyukur banget pernah ada di sana…” Ditambah dengan lambang ‘hati’ di akhir kalimat Ratna.
“Ternyata kita selalu dalam satu almamater… Sejak SMP,” balas saya. Sejak di SMP 2, SMA 1 dan di Universitas, ternyata Ratna dan saya satu almamater. Hanya saja waktu di Universitas saya ‘dituntun’ masuk ke Fakultas Kedokteran, sedang Ratna masuk ke Fakultas Psikologi.
Pembicaraan berlanjut dengan cerita kegiatan Ratna yang sekarang lagi nemenin si bontotnya di Bandung yang mau Kolikium.
Magda Ratna Kemala, nama yang saya ingat. Ketika SMP Ratna duduk di belakang saya. Nama panggilan waktu SMP adalah Magda. Ada juga yang memanggilnya Ratna. Secara fisik memang tidak masalah duduk di barisan belakang. Karena tinggi badannya jauh melebihi tinggi badan saya yang kelihatan cuilikkk, mungil. Bisa dimaklumi karena masih juga mengalami makan beras tekad (beras yang dibikin dari ketela, kacang, dan jagung) masih juga mengalami makan gogik (sejenis pakan unggas) terutama bebek, dengan sayur jantung pisan, ambil di kebun. Makan telor mesti nunggu kapan ada kendurian. Itu pun satu telor dadar dibagi lima (karena kami 5 bersaudara). Maka bisa dipahami kenapa saya tidak menonjol secara fisik. Karena asupan yang di bawah standar. Dan itu berimbas kepada nilai mata pelajaran olah raga saya yang tak pernah melebihi angka ‘6’ di rapor SD dan SMP. Kapan-kapan saya ceritakan indahnya masa kecil saya.
Kami kemudian menyudahi obrolan.
“Semangat ya, semoga si bontot sukses (kolikiumnya)…. Jadi inget SMP klas 3 yang duduk di belakangku,” kata saya.
Ratna menyahut, “Inget nggak siapa orang yang suka ngumpetin tas, buku anak yang duduk di belakangmu itu?”
Dalam hati saya berteriak…. Ooh my God! Masih inget juga Ratna dengan keusilan saya. Entah kenapa saya memang usil. Bahkan mungkin sangat usil. Bukan hanya tas dan buku Ratna saja yang saya sembunyikan, yang kemudian saya tertawa-tawa dalam hati ketika melihat Ratna kebingungan mencari tas dan bukunya. Kadang saya sembunyikan di laci meja guru, kadang juga saya letakkan di balik papan tulis di depan kelas. Mungkin sebagai seorang psikolog Ratna bisa menganalisa keusilan saya kepadanya.
Keusilan saya yang lain adalah main-main dengan ballpoint yang saya letakkan di depan meja saya. Ballpoint saya pegangi dan ujungnya mengarah kepada punggung siswa yang duduk di depan saya. Kemudian saya sentil sedikit sehingga mengenai punggungnya dan karena risih, maka bergerak-geraklah sehingga menghasilkan coretan-coretan tak beraturan di punggung baju putih seragam sekolah itu. Saya ingat betul, yang duduk di depan saya adalah Indah dan Watik. Dan sampai sekarang menjadi bahan pembicaraan kita kalau reunian. Ada banyak keusilan saya yang diceritakan teman-teman waktu ketemu reunian tersebut. Bahkan kemudian saya menemukan hubungan antara kenakalan atau keusilan tersebut adalah bagian dari kecerdasan, tapi kalau kekurangajaran adalah bagian dari kriminal.
Saya usil tetapi juga ‘sembada’ karena mulai semester awal kelas satu sampai akhir kelulusan SMP, selalu naik panggung untuk menerima penghargaan juara kelas. Ada 2 orang lain yang selalu ‘bersaing’ yaitu Ika, seorang insinyur pertanian, dan Titis, dokter anak yang sekarang sekantor dengan saya.
Saya bernostalgia ke belakang untuk merefleksi dan membuat kontemplasi, apakah situasi sekarang yang saya hadapi lebih baik atau lebih buruk. Plus atau minus. Untung atau rugi. Ini poinnya. Tentu ada perbedaan situasi yang sangat mendasar. Cerita keusilan saya ini berlangsung ketika saya masih sekolah, dengan segala macam situasi dan dinamikanya. Sedangkan saya sekarang dalam posisi menyekolahkan anak-anak saya. Walaupun untuk urusan belajar, saya selalu berguru kepada siapa saja yang saya temui. Pasien mungil, tukang sapu, tukang parkir maupun tukang antar surat.
Keusilan, kenakalan, tetapi bukan kekurangajaran. Itulah yang ada pada diri saya pada waktu itu. Saya mesti merenung dan banyak dialog dengan diri saya sendiri untuk melihat rapor saya di akhir tahun ini. Saya akan sowan Yai Helmi untuk mendiskusikan bab rapor saya ini. Karena sebagai Yai GGreferensi beliau sungguh saya butuhkan.
Barangsiapa hari ini lebih baik daripada hari kemarin, maka ia adalah orang yang beruntung. Barangsiapa hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia adalah orang yang merugi. Dan barangsiapa hari ini lebih buruk daripada hari kemarin, maka ia adalah orang yang terlaknat.